Mohon tunggu...
Kurnia Ridhowati
Kurnia Ridhowati Mohon Tunggu... -

Saya hanya pekerja biasa,sy org yg lebih menghargai usaha ketimbang hasil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kami yang Terpinggirkan

10 Januari 2010   08:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:32 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesawat yang saya tumpangi baru saja mendarat dengan mulus di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Setiap kepulangan dari luar negeri saya selalu merasa iri, lebih tepatnya cemburu. Ini sudah kesekian kalinya saya bertandang ke negara orang. Saya cemburu dengan keadaan orang-orang seperti saya yang berbeda di sana, dengan segala kemudahan yang mereka dapat. Sungguh berbeda dengan keadaan di sini, di Indonesia.  Bukan saja masalah fasilitas yang mereka dapat, tapi juga perihal perlakuan orang-orang terhadap mereka. Dengan mudahnya mereka pergi kemanapun mereka suka, dengan mudahnya mereka mendapatkan apa yang mereka mau.

Ya, bagi orang-orang yang berkebutuhan khusus atau orang-orang sering menyebutnya dengan penyandang cacat memang masih menjadi masyarakat yang entah ditempatkan pada nomor urut berapa di negeri ini. Kami harus berjuang lebih, kami dituntut untuk mempunyai kesabaran yang lebih dan dada yang lebih lapang untuk tetap bisa hidup di negeri ini.

Ini sebuah pengalaman nyata yang saya alami. Meski saya mempunyai pendidikan yang cukup tinggi untuk ukuran di Indonesia, namun untuk mendapatkan pekerjaan yang layak yang sesuai dengan standart pendidikan bagaikan mencari jarum dalam sekam, betul-betul sulit.

Sepertinya untuk mendapatkan pekerjaan disini, kemampuan dan pendidikan hanya bisa menarik perhatian kurang dari dua puluh persen saja dari para penyedia kerja, selebihnya penampilanlah yang menjadi perhatian utama.

Entah sudah berapa tes wawancara yang saya jalani untuk mendapatkan pekerjaan, dan selalu pertanyaan-pertanyaan "aneh" yang saya dapatkan. Lebih tepatnya pernyataan yang meragukan kemampuan saya, ataupun ungkapan-ungkapan halus yang menyatakan bahwa pekerjaan yang disediakan akan membuat saya sulit dan berjanji akan menghubungi saya kembali jika ada pekerjaan yang sesuai dengan keadaan fisik saya. Namun itu pastilah hanya janji manis belaka. Saya memang sengaja tidak pernah menyebutkan keadaan fisik saya pada resume atau curiculum vitae saya. Sudah hampir pasti kalau saya sebutkan keadaan fisik yang sebenarnya perusahaan-perusahaan tidak akan bersedia melakukan pemanggilan tes.

Sebagaimana manusia pada umumnya saya juga sempat mengalami putus asa, meski hal tersebut hanya berlangsung sesaat, saya terus mencoba dan mencoba sampai pada akhirnya saya mendapatkannya. Itu hanya pengalaman dalam satu bidang saja. Pekerjaan. Masih banyak pengalaman lain yang tidak mengenakkan saya pernah dapatkan.

Beberapa kali saya pindah kerja. Rata-rata dari mereka memperkerjakan dengan standart pekerjaan dan gaji dibawah standart pendidikan saya. Saya terpaksa harus menerimanya karena saya butuh uang untuk tetap hidup, selain itu hal yang terpenting adalah karena saya ingin mempunyai eksistensi. Saya ingin keberadaan saya diakui. Walaupun keadaan saya "tidak normal" sebagaimana "orang-orang normal" lainnya menyebutnya, namun saya tetap ingin dianggap sebagai manusia yang utuh, yang mempunyai harga diri dan martabat, yang juga ingin hidup sebagaimana layaknya "orang-orang normal" lainnya. Toh saya masih bisa berpikir dan menggunakan anggota tubuh saya untuk beraktifitas. Saya hanya membutuhkan kursi roda kamanapun saya pergi. Hanya itu saja.

Beberapa waktu yang lalu saya bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar dan ternama di negeri ini. Saya sengaja tidak ingin menyebutkan nama perusahaannya, karena saya tidak ingin kasus Prita Mulyasari akan menimpa saya.

Lagi-lagi ini pengalaman saya, setelah saya masuk menjadi karyawan di sana ternyata pekerjaan yang saya jalani tidak sesuai bahkan berbeda sama sekali dengan job description yang mereka informasikan pada saat perekrutan. Masalah gaji pun sangat jauh dibawah standart pendidikan saya. Sungguh saat itu saya merasa tertipu, namun saya tidak bisa berbuat lain kecuali bertahan, lagi-lagi karena urusan perut. Saya bertahan dan bertahan, namun perlakuan yang tidak manusiawi yang saya dapat. Bukan perlakuan fisik memang, tapi hinaan dan perendahan martabat saya sebagai manusia seringkali saya peroleh. Seorang yang mempunyai kedudukan yang cukup tinggi di kantor saya pernah mempertanyakan tentang kesehatan mental saya, hanya karena melihat keadaan fisik saya.

Hmm....betul-betul takhabis pikir saya mendengar semua itu, dan mungkin saja tidak percaya kalau saya tidak mendengar dan menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri. Seorang yang mempunyai pendidikan tinggi bisa berbicara seperti itu.

Setelah bertahan beberapa waktu lamanya saya berniat untuk mengundurkan diri. Hal tersebut terdengar sampai ke "atas". Huff....lagi-lagi penghinaan yang saya dapat. Seseorang yang mempunyai kedudukan yang sama tingginya, melontarkan pertanyaan kepada saya."Memangnya anda mau pindah kemana?. Managemen disini sudah cukup baik mau menerima karyawan dengan kondisi seperti anda. Coba anda lihat, jangankan di seluruh Indonesia, di Jakarta ini saja berapa persen perusahaan yang mau mempekerjakan orang dengan keadaan seperti anda."

Sekali lagi saya kaget. Itu nyata, seorang yang berpendidikan tinggi, mempunyai kedudukan tinggi ternyata mempunyai pandangan yang sangat picik. Sempat saya berpikir inikah wajah mereka-mereka yang berkedudukan tinggi di negeri ini, yang berpendidikan tinggi di negeri ini, kemana wawasan dan hati nurani mereka. Mengapa mereka masih saja picik. Saya memang tidak bisa menggeneralisir semua orang yang mempunyai kedudukan di negeri ini picik, tapi mungkin hanya sebagian saja dari mereka. Siapa yang tahu...?.

Kalau ditelaah memang ada benarnya ungkapan atasan saya tadi. Memang kalau bisa didata berapa persen perusahaan yang telah mempekerjakan orang yang berkebutuhan khusus di Indonesia. pastilah tidak sampai sepuluh persen dari seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Sangat disayangkan padahal belum tentu mereka tidak mempunyai kemampuan sebagaimana sebagian dari "orang-orang normal" lainnya berpikir tentang mereka. Setahu saya, mohon maaf kalau ungkapan saya ini salah, sebagian besar dari mereka yang mempunyai kemampuan lebih, dihargai oleh negara lain.

Dalam hal aksesibilitas di Indonesia pun bagi penyandang cacata sangatlah kurang. Masih banyak gedung-gedung perkantoran dan fasilitas-fasilitas umum yang belum memberikan kemudahan bagi mereka. Saya sendiri di kantor yang sebelumnya untuk masuk ke dalam gedung pun saya beserta kursi roda harus diangkat oleh tiga orang penjaga keamanan, karena pintu masuk gedung yang bertingkat-tingkat. Padahal setahu saya di negara-negara maju, apabila pengelola gedung tidak memberikan aksesibiltas atau kemudahan bagi penyandang cacat mereka dapat dikenai sanksi.

Untuk Indonesia sendiri telah mempunyai undang-undang bagi penyandang cacat, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Didalamnya terdapat perlindungan dan hak bagi penyandang cacat, diantaranya dalam hal aksesibilitas dan pekerjaan. Adapula tentang quota yang harus dipenuhi perusahaan untuk mempekerjakan penyandang cacat. Namun sebagaimana pada umumnya peraturan hanyalah sebatas peraturan, undang-undang hanyalah sebatas undang-undang. Bagaikan hiasan di atas kertas tanpa makna. Terlihat indah tanpa ada penerapan dan sanksi yang jelas bagi pelanggarnya.

Beberapa waktu yang lalu seorang teman berkebangsaan Swiss datang mengunjungi saya. Dia sempat melontarkan sebuah pertanyaan terhadap saya. "Apakah kamu enjoy hidup di sini?." "Ya saya enjoy". Saya menjawab dengan mantap. Di negeri ini saya lahir, di negeri ini saya dibesarkan, di negeri ini saya belajar tentang hidup, di negeri ini tempat tinggal dari seluruh keluarga saya. Apalagi...? Tidak ada alasan untuk saya meninggalkan semua ini.

Memang dalam hal pendidikan dan pekerjaan, orang-orang dari negara asing yang lebih menghargai saya, daripada orang-orang dari bangsa saya sendiri. Kalau ditanya apakah saya bangga?. Tentulah saya bangga, tapi kalau ditanya apakah saya puas, saya akan menjawabnya dengan tidak. Saya akan lebih puas kalau saya diterima dan dihargai oleh orang-orang dari bangsa saya sendiri. Seperti seorang anak kecil tatkala dia mendapati nilai rapornya bagus, maka dia akan merasa bahagia jika mendapat pelukan dari kedua orangtuanya, dia akan merasa nyaman dalam dekapan kedua orangtuanya daripada dalam dekapan orangtua sahabatnya.

Saya masih tetap ingin tinggal di sini. Di Indonesia. Sakit..?, bukankah sudah biasa saya merasakannya, sedikit hantaman hanya saya anggap sebagai latihan-latihan kecil untuk menjadi kuat. Kecewa...?, sudah biasa pula saya mendapatinya, kekecewaan adalah hal biasa dalam perjalanan hidup manusia. Sedih..?, ah itu akan hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Putus asa..?, hanya kadang-kadang mampir dan akan hilang secepat angin berhembus.

Apalagi..?, masih adakah alasan bagi saya untuk meninggalkan negeri ini. satu pelajaran berharga yang dapat saya petik dengan tinggal di Indonesia adalah saya menjadi orang yang lebih kuat, menjadi orang yang lebih sabar, menjadi orang yang lebih tabah dan mungkin juga saya menjadi orang yang lebih ulet dalam berusaha. Mungkin kalau saya tinggal di negara lain dengan segala kemudahan yang saya dapat, kemungkinan besar saya tidak dapat menjadi orang yang demikian. Enjoy saja, nikmati semua yang ada, meskipun itu sakit yang tiada terperi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun