Tahun ini, akan jadi yang pertama kali bagi saya, untuk melakukan pemilu di luar wilayah domisili. Saya awalnya berpikir, keberadaan e-KTP akan membuat proses lebih mudah, dan segala sesuatunya bisa diurus secara digital. Tapi perpindahan proses konvensional ke digital, itu memang tidak memakan waktu sebentar. Terutama jika sumber daya manusia juga tidak sigap.
Saya sampai di Komisi Pemilihan Umum Kota Denpasar, kurang lebih pukul 14.17 WITA. Mulanya saya berencana untuk hadir di hari Senin, tapi kawan yang terlebih dulu datang di pagi hari telah memberikan kabar - bahwa hari ini (Minggu, 17 Maret 2019) adalah hari terakhir pemberkasan.Â
Sesampainya di lokasi, sudah banyak yang menunggu. Parkir tampak berantakan, dan semua orang sudah menunggu di depan pintu KPU. Tidak ada yang tampak tidak sabaran, karena semua sudah menggenggam hiburan mereka masing-masing, smartphone. Hanya ada satu anak berbaju kuning, yang sibuk melihat langit-langit teras kantor ini.
Tidak ada nomor antrean, tidak ada kru KPU di teras depan yang bisa ditanya-tanya, dan juga tidak ada tulisan persyaratan maupun jadwal perihal proses pindah TPS yang tertempel di papan pengumuman.
Saat kantor dibuka, semua berebut masuk. Lalu ada beberapa yang masih bertanya-tanya tentang persyaratan, lalu banyak juga yang kebingungan mencari pena.
Tiga petugas jaga, juga berujar tidak lagi memiliki pena, karena sudah habis dibawa oleh pendaftar hari-hari sebelumnya. Jadilah banyak yang kebingungan mencari pinjaman. Banyak yang tidak tahu keberadaan proses pengisian formulir A5 - 1 halaman formulir, yang ditulis dua kali.
Satu lembar fotokopi KTP, Kartu Keluarga, dan cetakan bukti terdaftar sebagai pemilih (yang bisa didapatkan lewat situs lindungihakpilihmu.kpu.go.id atau aplikasi milik KPU). Syarat yang terakhir inilah, yang menjadi masalah besar bagi pemilih yang usianya tidak muda lagi.Â
Berikut percakapan yang sekilas saya dengar, saat sedang mengisi formulir:
"Datanya kurang, Pak dan Bu. Kurang bukti kalau bapak dan ibu ini terdaftar sebagai pemilih."
"Maksudnya gimana, Pak? Di mana saya bisa dapat itu?
"Bisa download aplikasi KPU di Google Play atau website lindungihakpilihmu.kpu.go.id"
"????"
"Bapak dan Ibu buka chrome (Google chrome), lalu masukkan situs tadi. Di print, lalu dikumpulkan di sini."
"Aduhh nggak ngerti, hari Senin besok, masih buka kan, Pak."
"Ya enggak, hari ini terakhir. Jam 4 sore, kami tutup. Kami juga hanya melayani area pencoblosan di Denpasar, bukan di daerah lain!"
Saya kira, Komisi Pemilihan Umum akan mengerahkan tenaga terbaiknya di ajang pesta demokrasi tahun ini (2019). Tapi untuk mencari informasi dari KPU Denpasar saja, saya kesusahan.
Twitter @KPUDenpasar malah lama tidak menyampaikan informasi sejak tahun 2016. Informasi terakhir yang ada di sana-pun adalah retweet dari akun @KPU_RI.  Akun resmi KPU Daerah Bali - @KPUDBali, juga tidak ditemukan informasi terkini perihal pindah TPS. Dua tangkapan layar ini, saya dapatkan di Minggu malam (17 Maret 2019), kurang lebih pukul 10:30 WITA.
Kecakapan petugas juga agak saya ragukan. Merokok saat melayani proses registrasi di meja resepsionis, padahal di mana-mana tertulis "Area dilarang merokok". Memakai headset di salah satu telinga, sehingga mengurangi kemampuan mendengar saat ditanya. Saya bertanya berkali-kali, tapi diabaikan, sampai harus berteriak demi didengar.
Rekomendasi
Keberadaan laptop atau komputer, printer, dan mesin fotokopi (beserta petugas, tentu saja), sangat diperlukan. Tidak semua masyarakat bisa mendapatkan informasi krusial dalam proses memilih pemimpin negeri.
Saya saja, baru mendapatkan informasi di hari Jumat, 15 Maret 2019, kemudian baru sempat datang ke KPU di hari Minggu. Saya pikir, menunjukkan e-KTP saja sudah cukup (karena saya kira, sistem informasi birokrasi di Indonesia ini, sudah siap untuk terintegrasi).
Lalu bagaimana dengan masyarakat yang kekurangan akses teknologi? Yang tidak tahu soal internet dan sebagainya, yang baru sempat ke KPU karena sibuk bekerja dari Senin-Sabtu.
Etika, adalah satu hal yang juga harus diperhatikan petugas KPU. Menjalankan birokrasi itu harus sabar, itu kenapa hanya orang terbaik yang terpilih untuk mengisi posisi tersebut.
Masyarakat membayar pajak, demi memberikan dukungan untuk sistem birokrasi yang lebih baik dan memudahkan. Bukannya malah membuat masyarakat kapok dan akhirnya malah mencoreng nama instansi.
Di luar itu, kebersihan kantor harus diperhatikan. Ruangan resepsionis harus tertata dengan baik, agar masyarakat percaya bahwa surat suara mereka berada di tangan yang tepat dan profesional. Lampu KPU Denpasar juga harus diperbaiki, agar tidak membahayakan. Banyaknya sarang burung, membuat beberapa wadah bola lampu cukup membuat was-was.Â
Semua yang berkunjung ke KPU, adalah mereka yang masih punya harapan, kepercayaan, dan keinginan terlibat dalam menentukan pemimpin-pemimpin yang nanti mengendalikan arah Indonesia. Oleh karenanya, jika kita memang ingin maju, proses yang ada juga harus berorientasi pada masa depan. Yang bahu-membahu dengan masyarakat, saling memudahkan, dan terintegrasi secara digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H