[caption caption="Anak bermain di Pantai Seminyak, Denpasar (Dok. Pribadi)"][/caption]
Ternyata dengan atau tanpa kita sadari, kita ini termasuk dalam pelaku eksploitasi anak. Mulai dari eksploitasi pada anak sendiri, anak-anak di lingkungan rumah, sampai anak jalanan.
Rasanya seperti tersedak isi buah kedondong, begitu saya mendengar pernyataan dari penyiar Radio Republik Indonesia ini, tiga hari yang lalu (5/4). Namun konten pembicaraan yang berkaitan dengan usaha Kementerian Sosial dalam melindungi hak anak di seluruh Indonesia ini, juga susah untuk diingkari.
Kalau mau ditanya, siapa yang mau mengaku kalau ternyata ia ini melakukan eksploitasi pada anak? Belum lagi masih banyak masyarakat kita yang masih menganggap hukuman (secara fisik maupun mental) merupakan proses pembelajaran bagi anak.
Jadi sebetulnya kalau mau ditelusuri, banyak sekali anak-anak yang menjadi korban kekerasan atau eksploitasi. Tapi ya tidak ada yang berani mengadu. Alasannya pun beragam mulai dari takut kena karma (karena melaporkan guru/orangtua), takut terkena sanksi sosial (diolok kawan karena cemen), dan yang parah ya karena sudah terbiasa.
Saya pun sayangnya, sering tidak punya nyali untuk membela anak-anak yang sedang mengalami kekerasan. Karena semua orang tampak biasa-biasa saja, dan menganggap itu normal. Palingan ada satu-dua orang yang menengok sambil geleng-geleng kepala. Saya pernah coba menegur, eh saya yang gantian diomeli hehe dibilang kalau lebih baik saya tidak ikut campur urusan orang.
Padahal anak-anak yang mengalami kekerasan domestik dan sekaligus salah pergaulan, seringkali tumbuh dengan kepribadian yang sangat keras, tidak pandai dalam bidang akademis, tidak punya motivasi, dan punya peluang besar untuk melakukan tindak kekerasan bahkan kriminal.
Tidak sedikit juga para korban kekerasan ini malah tumbuh menjadi pribadi yang mudah minder, penakut, stress, dan cenderung berbuat nekat (seperti menyakiti diri sendiri atau bunuh diri).
[caption caption="Anak-anak bermain di pantai, sambil menanti sunset. (Dok. Pribadi)"]
Selain kekerasan secara fisik, banyak anak yang juga mengalami kekerasan secara mental. Atau lebih tepat disebut dengan eksploitasi. Banyak contoh kasus seperti yang sudah sering kita dengar, yakni jual-beli-sewa anak untuk dijadikan pengemis atau joki. Alasannya sudah pasti faktor ekonomi. Dan karena faktor ini pula, si anak harus mengubur impiannya dalam-dalam.
Saya belum pernah dengar ada anak yang mengemis karena kesadaran diri mereka sendiri. Namun beberapa alasan seperti; membantu orangtua mencari nafkah, makan, dan karena sudah tidak punya siapa-siapa; itu sering saya dengar.
Siapa yang tidak pernah dengar tentang para preman dibalik badan pengemis anak-anak? Atau masih ada yang tidak tahu, kalau hampir semua pengemis yang tersebar di Indonesia ini selalu punya penadah? Iya, sebut saja agen distribusi pengemis.
Kalau kita, entah karena saking iba-nya pada anak-anak pengemis, memberi mereka uang. Dengan nominal Rp. 2.000,- atau bahkan Rp. 20.000,-, bisa dibilang kita sudah turut berperan aktif dalam melakukan eksploitasi anak. Pembaca harus tahu, pengemis sekarang hampir selalu marah-marah kalau diberi uang Rp. 500,- atau Rp. 1.000,-. Mungkin karena efek inflasi dan naik turunnya harga BBM. Tarif pengemis pun ikut naik-turun.
Pengemis anak-anak ini akan merasa senang karena terus mendapat uang sambil bermain (walau kadang dipukuli atau tidak diberi makan karena tidak mendapat uang sesuai target). Distributor pengemis pun juga jauh lebih bahagia dan akan mencari jauh lebih banyak anak, untuk dijadikan pengemis. Karena mereka mampu membeli anak dengan nominal jutaan-puluhan juta, jadi jangan anggap agen-agen ini miskin ya, kompasianer! Bisa jadi gaji harian mereka punya nominal yang sama dengan gaji bulanan kita hehehe
Banyak tidaknya uang yang diterima oleh pengemis anak-anak ini, akan menentukan perlu tidaknya dilakukan proses “rekruitmen” calon pengemis baru. Semakin banyak uang yang dihasilkan pengemis anak-anak, maka keuntungan semakin besar, pasar masih “basah”, dan artinya “pasukan” harus diperbanyak untuk mendulang keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukan tidak mungkin kalau modus pembelian/penyewaan anak ini berubah jadi penculikan anak. Bisa saja anak-anak, keponakan, atau cucu kita yang jadi korban perluasan pasar ini.
Efek domino yang ditimbulkan dari ketidakpedulian kita dengan anak-anak disekitar, tidak akan berakhir dalam beberapa tahun saja. Tapi bisa berkelanjutan, karena terlanjur jadi kebiasaan dan telah mengakar sampai sulit dibasmi.
Solusi yang harus dicari bersama adalah bagaimana caranya aturan hukum tentang kekerasan dan eksploitasi anak ini diterapkan, dalam kondisi budaya yang ada di Indonesia? Jangan sampai, kita sebagai masyarakat yang melek informasi, kita malah punya peran besar dalam melakukan kekerasan dan eksploitasi anak.
Selamat beraktivitas, kompasianer!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H