Mohon tunggu...
K. Fatmawati
K. Fatmawati Mohon Tunggu... Desainer - Penjelajah

Desainer grafis yang berfokus pada keseimbangan lingkungan, pendidikan, tatanan sosial budaya, ilmu pengetahuan dan percepatan digital.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berperan dalam Eksploitasi Anak

7 April 2016   07:49 Diperbarui: 7 April 2016   07:57 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak pernah dengar tentang para preman dibalik badan pengemis anak-anak? Atau masih ada yang tidak tahu, kalau hampir semua pengemis yang tersebar di Indonesia ini selalu punya penadah? Iya, sebut saja agen distribusi pengemis.

Kalau kita, entah karena saking iba-nya pada anak-anak pengemis, memberi mereka uang. Dengan nominal Rp. 2.000,- atau bahkan Rp. 20.000,-, bisa dibilang kita sudah turut berperan aktif dalam melakukan eksploitasi anak. Pembaca harus tahu, pengemis sekarang hampir selalu marah-marah kalau diberi uang Rp. 500,- atau Rp. 1.000,-. Mungkin karena efek inflasi dan naik turunnya harga BBM. Tarif pengemis pun ikut naik-turun.

Pengemis anak-anak ini akan merasa senang karena terus mendapat uang sambil bermain (walau kadang dipukuli atau tidak diberi makan karena tidak mendapat uang sesuai target). Distributor pengemis pun juga jauh lebih bahagia dan akan mencari jauh lebih banyak anak, untuk dijadikan pengemis. Karena mereka mampu membeli anak dengan nominal jutaan-puluhan juta, jadi jangan anggap agen-agen ini miskin ya, kompasianer! Bisa jadi gaji harian mereka punya nominal yang sama dengan gaji bulanan kita hehehe

Banyak tidaknya uang yang diterima oleh pengemis anak-anak ini, akan menentukan perlu tidaknya dilakukan proses “rekruitmen” calon pengemis baru. Semakin banyak uang yang dihasilkan pengemis anak-anak, maka keuntungan semakin besar, pasar masih “basah”, dan artinya “pasukan” harus diperbanyak untuk mendulang keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukan tidak mungkin kalau modus pembelian/penyewaan anak ini berubah jadi penculikan anak. Bisa saja anak-anak, keponakan, atau cucu kita yang jadi korban perluasan pasar ini.

Efek domino yang ditimbulkan dari ketidakpedulian kita dengan anak-anak disekitar, tidak akan berakhir dalam beberapa tahun saja. Tapi bisa berkelanjutan, karena terlanjur jadi kebiasaan dan telah mengakar sampai sulit dibasmi.

Solusi yang harus dicari bersama adalah bagaimana caranya aturan hukum tentang kekerasan dan eksploitasi anak ini diterapkan, dalam kondisi budaya yang ada di Indonesia? Jangan sampai, kita sebagai masyarakat yang melek informasi, kita malah punya peran besar dalam melakukan kekerasan dan eksploitasi anak.

Selamat beraktivitas, kompasianer!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun