“What now? Little prick.” Gumam Juliet. Panel semi holo-display dipancarkan langsung dari DiV. Sesuai dengan desain pendahulunya, DiV menggunakan piranti keras khusus; berupa 'visor' semikonduktor dive glass untuk mengonversi spektrum cahaya diluar daya tangkap mata manusia sebagai input, lalu memrosesnya menjadi tatap muka interaktif sebagai output.
Pesan ditinggalkan dalam bentuk video message. Terlihat wajah seorang remaja pria berusia sekitar 16-19 tahun dengan etnisitas campuran antara Jerman dan Yahudi, kurang lebih sama seperti Juliet. “Hi, Sis! I left this message not to pull some prank on you, I swear! Please call me as soon as you are available. I repeat, I'm direly serious this time, do contact me when you can!”
“Just unbelievable! Perfect timing that little scoundrel. Not even the President of the U.S. could waste my time, not you!” Juliet berkata tanpa ada lawan bicara untuk merespon, dia hanya ingin mengekspresikan emosi sementara.
Dia melesakkan perangkat DiV yang sedang dalam proses decryption ke dalam tas Hermes untuk ditukar dengan seperangkat DiV lain. Entah berapa jumlah alat tersebut di dalam tasnya; atau mungkin bahkan ada ribuan benda lain saling tumpah tindih di sana, hanya Tuhan yang tahu.
“DALI, arrange my flight schedule to Indonesia. I'm going to attend a meeting there.” Perintah Juliet pada perangkat DiV lain yang diambilnya dari dalam tas.
“Processing Request. Please specify E.T.A. for your selected destination and unit of Airliner.”
“DALI, I'm going to land on Surabaya Airport at seventeen o'clock with our corporate private airliner.”
“Processing Request. You are going to embark immediately to Juanda Airport with one unit of Alter Private Airliner, E.T.A. is 19:35 UTC + 7, expected delay of half an hour due to ongoing air traffic and unidentified variables. Please confirm to proceed further.“
“DALI, yes, I should be going now.” Deru jet engine mulai terdengar dari hangar. Setiap gedung fasilitas utama Alter Inc. dilengkapi dengan private hangar; khusus untuk penerbangan kilat ke berbagai tujuan dalam waktu 24/7, bukan untuk sembarang karyawan, hanya pekerja dengan Alter Access Clearance kelas A keatas dapat mengantongi tiket untuk meluncur di udara dengan kecepatan maksimum mach III,hampir secepat SR-71 “the Blackbird” minus kemampuan stealth. Seorang pria paruh baya dengan seragam pilot menyesap secangkir kopi setelah mendengar aktivasi mesin jet secara otomatis; sinyal untuk keberangkatan. Setiap unit Alter Airliner mampu terbang sampai tujuan dengan auto-pilot, namun sesuai standar operasi, satu orang pilot dan satu ko-pilot harus bertugas di pos masing-masing untuk menjamin kelancaran penerbangan. Juliet berjalan dengan langkah cepat disertai asisten. Gaya berjalannya lebih cepat dari New Yorker walking gait, mengesankan, bagaimana dia menjejak tanah dengan ujung high-heel setinggi lima sentimeter secepat hampir dua meter per detik tanpa terjatuh atau terlihat konyol. Untung, si asisten juga turut berevolusi untuk mengikuti ritme berjalannya. Dua, tiga, empat kepala menoleh ke arah mulut hangar saat suara khas Juliet mulai menusuk gendang telinga; dia berbicara dengan perangkat DiV terpasang di kepala, tanpa menyadari suaranya menyaingi deru mesin pesawat. Semua pekerja senior Alter memberinya label sebagai “the Queen Bitch” karena beberapa faktor, seperti; berbicara dengan pekikan keras di hangar tanpa ada satupun kru berani untuk mengintervensi, kru terakhir yang melakukannya menamatkan kariernya sendiri di ruang pengadilan sebagai ganjaran. “Good evening, Miss Philead.” Sapa salah satu pilot. Juliet berlalu di hadapannya begitu saja tanpa membalas.
“Good evening, Mr. Homme, I'm on behalf of Miss. Philead would like to inform you that we should head to Surabaya, Indonesia, immediately.” Kata si asisten dari Juliet.
“Affirmative, we are ready to depart.” Sang pilot memberikan gestur konfirmatif dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengah sejajar dengan pelipis. Si asisten membalas dengan senyuman lalu berlari kecil mengejar Juliet ke dalam kabin pesawat.
Jam digital di kokpit menunjukkan waktu 20:20, jika perjalanan lancar, pesawat itu membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam untuk tiba di tujuan.
“Excuse me, did you address it to myself?” Tanya si asisten dengan ragu.
“Yes, of course, there's no one else to talk to.” “Oh, I follow, do you want me to do something?”
“For god's sake, can anyone but Darren act naturally upon me?”
Si asisten, wanita muda dengan karier yang menurut standar publik cukup menjanjikan, tidak lagi semulus impian setelah menyadari bahwa dia bekerja di bawah pimpinan seorang wanita lain dengan temperamen yang menurutnya bisa disejajarkan dengan Gordon Ramsay. Satu kesalahan kecil kemungkinan besar bisa berbuntut panjang bila dilakukan tepat di momen sensitif.
“Well, naturally I'd default to formal conduct, simply due to the fact that you are my superordinate, unless you want me to drop it, though, under some unexpected occasion.”
“There was once an occasion, much like this one, I recalled I had been with my father's liaison in some sort of private plane, when I was seventeen. Could you believe that? My seventeenth birthday!” Si asisten terkejut tiba-tiba atasannya menyinggung ayahnya atas alasan pribadi. “He promised me that upon my seventeenth birthday, he'd show up, to sing me some stupid birthday jingles. But he didn't keep his promise. Instead I had to listen to his liaison explaining the nature of his intricate dealing. What kind of dealing was that? Unbelievable!”
Serba salah, si asisten berusaha bersimpati untuk memastikan bahwa dia memang mendengarkan ocehan dari atasan. “But-”
Sebelum lawan bicara sempat mengatakan opini, Juliet memotong, melanjutkan ocehan. “What you'd do if you were in my shoes during that occasion?”
“Honestly? Honestly I'd resent my dad for failing to keep his end of promise. But, of course I can't put any judgment like that while I knew my dad working his best to improve the living of his family.”
“Fair enough.”
“I beg pardon, but your father, Professor Philead, is a venerable profile. I believe he is working on something to do his family a great favor.”
“What do you mean? Him, making amends to us?” Juliet berhenti sejenak untuk memertimbangkan beberapa hal yang berputar di pikiran. “Hmm, probably, but I'm not sure it was under his own initiative to do so.”
Si Asisten tersenyum, menganggukkan kepala. “Anyway, have you been to Indonesia before?”
“Once, yes, but it was some sort of complicated predicament.” Sepasang alis mata si Asisten turun ke jembatan nasal, dahi mengerut, mengesankan keinginan untuk melupakan segera apa yang telah dia bicarakan.
“Personal matter? Ah, do tell me then.”
“I wished I didn't have to do so, but since you inquire it yourself...,” Si Asisten menyadari Juliet mulai mengetuk-ngetukan jari di tangan kursi penumpang. “It was a jumble of personal matter and it was quite grave, I basically arranged my own funeral there.”
“How so?”
“Well, first of all, I'm not a drug addict, but I assume anyone, mostly youths on my generation at least have tried to smoke weed once in their lifetime.”
Senyuman terlihat dari bibir Juliet, entah apa implikasi dari senyuman tersebut.
“We heard of Madura Island on some ads, said to provide the best dried weed available on market. It was simply tantalizing to us, foolish youth. So we came there under the casual guise of 'tourist on summer vacation' and before we know it, we nearly lost our life.”
“Let me guess, under captivity of gang members? Bearing the symbol of a blood droplet over rippling waves? It's Samudra Merah, wasn't it?” Juliet mengucapkan dua patah kata dalam bahasa Indonesia, terdengar seperti 'Samoodra Marah'.