the pessimist sees a train speeding at him, hell for leather,
and the machinist sees three idiots sitting on the tracks.
— German joke
Mana yang paling efektif dan efisien untuk menyelesaikan masalah? Kekuatan kebaikan, atau persenjataan lengkap?
Jawabannya? Bergantung dengan apa yang dihadapi.
Mahatma Gandhi menggunakan strategi “tanpa kekerasan” untuk menarik simpati publik dalam melawan kekuatan persemakmuran Persatuan Kerajaan; tapi apakah strategi yang sama mampu menyelamatkan bangsanya apabila dihadapkan pada kekuatan tanpa ampun seperti Nazi Jerman? (M. Gandhi pernah menulis surat pada A. Hitler, mengalamatkannya sebagai “Dear Friend” dengan tujuan untuk melunakkan hati sang Tiran agar menghentikan kekerasan; tak berhasil).
Oke, kembali ke PM Winston Churchill. Setelah Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara (UK) menyelamatkan wajahnya sendiri dari kezaliman Nazi Jerman, akhirnya pemilu untuk menentukan PM berikutnya diadakan setelah 10 tahun tertunda karena kondisi PD II. Betapa mengejutkannya, ketika partai yang dipimpin oleh Winston Churchill yaitu Partai Konservatif, kalah dari Partai Buruh (House of Commons; 197 kursi vs. 393 kursi) meskipun jasanya dianggap sangat berpengaruh saat masa genting perang melawan Adolf Hitler.
Kenapa bisa begitu?
Rakyat Inggris berkata, orang yang memimpin perang kurang cocok untuk membangun bangsa mereka bangkit dari puing-puing bencana perang; mereka butuh rumah, butuh pekerjaan, butuh makanan, dan mereka pikir, Partai Buruh paling mampu menjalankan amanat tersebut.
Moral ceritanya? Apa pesan utamanya?
Terlepas dari peran dan jasa individu, kontinum persepsi mengenai siapa yang jahat dan yang baik, relatif dengan kondisi dan situasi setiap subyek yang terlibat di dalamnya. Dalam kasus di atas tadi, meskipun PM Winston Churchill menjadi pahlawan negara dengan semua tanda jasa yang bisa disematkan, rakyat Inggris tidak memilihnya kembali sebagai pemimpin negara; Mahatma Gandhi mengambil kesempatan, yang bagi sebagian besar orang dianggap konyol dan naif, untuk meluluhkan hati der Führer; sedangkan para korban di kamp pengungsi Dresden tak berdaya menghadapi “strategic bombing” pihak Sekutu dengan dalih untuk menekuk kekuatan Poros hingga menyerah tanpa syarat.