Mohon tunggu...
Komodo Lawyers Club
Komodo Lawyers Club Mohon Tunggu... Jurnalis - Labuan Bajo, Manggarai Barat,NTT

KLCNews dan Investigator

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bupati Edi merumahkan TKD, keputusan tersebut perbuatan melawan hukum?

5 Januari 2022   18:30 Diperbarui: 12 Januari 2022   12:50 2160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jon Kadis, S.H., Penulis & Sekjend Komodo Lawyers Club 

Semua tindakan apapun yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan dalam konteks hidup berbangsa adalah berdasarkan peraturan yang ada.

Di Labuan Bajo Bupati Edi merumahkan TKD (Tenaga Kontrak Daerah). Itu sangat terasa pada awal tahun 2022 ini. Itu saya baca di media sosial dan menjadi bahan pembicaraan viral di beberapa group Whatsup. Alasan Bupati Edi adalah efisiensi. Nah, tentang TKD beserta alasan efisiensi inilah yang menjadi bahan yang belum habis dibicarakan itu. Saya menangkap kesan bahwa arti efisiensi dalam obrolan tersebut adalah semata-mata tentang penggunaan pendapatan & pengeluaran (baca 'uang').

Bupati melakukan itu karena efisiensi, itu betul. Saya lihat bahwa efisiensi di situ adalah berdasarkan arti dalam Peraturan Pemerintah no.49/2018 tentang Larangan TKD (selanjutnya disingkat PP), ia diberi kewenangan untuk wajib mengeksekusinya. Selain menjalankan perintah hukum, juga adalah hak prerogative sebagai Kepala Daerah untuk melaksanakan PP itu. Dan hal itu harus dilakukan oleh semua Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/ Walikota) di Indonesia.

Dilihat dari sisi arti efisiensi yang berhubungan dengan pendapatan & pengeluaran (uang), maka hal itu bisa disebut tidak efisien. Tetapi ketika aturan hukum sebagai payungnya, maka pandangan dari sisi uang ini bisa terkorbankan. Korban di sini bukan berarti "sebuah kesalahan", tapi memang otomatis tergilas. Ketergilasan itu tidak mengakibatkan seorang Kepala Daerah disebut telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Ingat, alasan PP untuk hal ini adalah 'efisiensi pemerintahan', dan ingat pula, bahwa arti efisiensi pemerintahan itu luas, bukan hanya soal uang semata. Di dalam arti ini bisa terkandung kualitas sumberdaya manusia dalam pemerintahan, ketahanan bangsa untuk kehidupan negara pada masa berkelanjutannya, dan lain-lain. Jadi, TKD yang tergilas itu bukan karena kesalahan Kepala Daerah, karena ia sebagai eksekutor PP plus hak prerogativenya terhadap TKD. Bukan juga kesalahan TKD itu sendiri, tetapi berhenti terhormat karena Peraturan Yang Terhormat yang telah disetujui oleh Lembaga Yang Terhormat, yaitu DPR di Senayan.

Pada tahun 2023 Pemerintahan RI harus bersih dari TKD

Seperti saya katakan di awal bahwa semua tindakan apapun yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan dalam konteks hidup berbangsa adalah berdasarkan peraturan yang ada. Kata yang populer adalah "hukum sebagai panglima", yang harus ditaati. Dan siapapun yang melanggar termasuk oknum di dalam pemerintahan itu sendiri harus dihukum. Karena semua warga sama kedudukannya di hadapan hukum, tanpa kecuali (Equality before the law). Dalam pemerintahan Presiden Jokowi kita lihat cukup banyak catatan tentang itu.

Demi efisiensi dalam pengelolaan Negara, Pemerintah akan membersihkan pemerintahan ini dari TKD pada tahun 2023.  Tahun-tahun sebelum final itu para Kepala Daerah diberi kesempatan untuk melakukan penyesuaian. Itu semua karena PP no.49/2018 tadi, pada pasal 96 menetapkan sebagai berikut : 1. Pejabat Pembina Kepegawaian ("PPK") dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN. 2.Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah yang melakukan pengangkatan pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK. 3.PPK dan pejabat lain yang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tapi masih ada tenaga kontrak musiman untuk proyek jangka pendek, Pekerja Antar Waktu Tertentu, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 35 Tahun 2021.

Di Kabupaten Manggarai Barat pada untuk tahun 2022 ini, Bupati Edi melakukan kewenangan menerapkan PP  dengan "merumahkan" TKD itu. Tindakan itu jelas berdasarkan hukum yang berlaku seperti saya sebutkan di atas tadi. Sebab rasa-rasanya ia tidak mau terjebak lagi dalam jeratan hukum yang secara pribadi pernah dialaminya sewaktu aktif sebagai anggota DPRD Mabar pada masa lalu, supaya tidak terulang lagi sebagai napi 'kan? Atau supaya tidak masuk bui seperti pendahulunya 'kan? Mengapa saya berasumsi demikian?  Karena secara psikis, ketika seseorang mengalami benturan pada jalur yang pernah dilalui, maka ia akan sangat hati-hati melewatinya lagi, dan ia punya nyali untuk lebih cepat tapi tetap cermat dalam perhitungan untuk keselamatan. Atau jika si pengendara yang pernah terdepan mengalami 'kecelakaan', maka pengendara di belakangnya sangat hati-hati mentaati rambu-rambu supaya tidak mengalami seperti dia yang pernah di depan itu. 

Saya pahami hal ini ketika memperoleh satu pengalaman belum lama ini. Suatu ketika adik sepupu saya dan saya bareng naik kendaraan melalui jalur "neraka tanpa aspal" di wilayah Manggarai Barat. Dia nyetir. Laju kendaraan cukup ngebut supaya tepat waktu tiba di tempat tujuan.  Saya was-was. "Selama nyetir mobil di Bali dan Jawa, apakah sudah pernah tabrakan?", ia tanya saya. "Puji Tuhan, belum pernah terjadi!" kata saya. "Oo.. berarti belum jago ! " reaksinya sambil ketawa. "Saya pernah nyetir mobil, tabrak pohon, bagian depan hancur berantakan. Ongkos perbaikan mahal. Tapi kakak saya malah bilang, 'esok kau nyetir mobil lagi, dan saya yakin kau akan save terus karena pengalaman ini membuatmu sangat hati-hati", lanjutnya.  Adik sepupu saya itu betul. Saya resapi. Saya pikir bahwa hal demikian juga terjadi pada Bupati Edi, ya 'kan? Pingin cepat Mabar maju, tetapi tetap cermat untuk keselamatan diri maupun 'penumpang'.

Hanya yang saya sesalkan adalah penasihat hukumnya di dalam sana pada thn 2021, untuk tindakannya terhadap TKD. Maaf, mungkin penasihat hukum di dalam sana saat itu bersikap ABS(Asal Bapak Senang) pada bos, sehingga bos kecolongan mengebiri income TKD pada tahun itu, atau mungkin saking semangatnya sebagai bupati baru tapi sungguh protektif sehingga ia tidak mendengarkan penasihat hukumnya. Sebagaimana diketahui dari berita mediaonline, bahwa pada tahun 2021 terjadi pengebirian income bulanan para TKD dari Rp.1,9 juta menjadi Rp 1 juta, kemudian ada lagi kenaikan dari Rp 1 juta menjadi Rp.1,5 juta. Pertanyaan publik waktu itu adalah : kemana Rp 900 ribu? Ketika terjadi lagi kenaikan dari Rp 1 juta menjadi Rp 1,5 juta, pertanyaannya sama, kemana Rp 400 ribu? Tindakan ini seperti "potong tidur" pada saat TKD sedang berjalan sesuai penetapan APBD yang sedang berlaku. Tindakan inilah yang disayangkan.
 
Pada awal Januari tahun ini, publik peduli Mabar mulai ramai lagi omong tentang ini; di warung kopi, di pertemuan hajatan keluarga, dalam diskusi-diskusi, group medsos dan seterusnya. Di ruang itu terjadi perdebatan, bahkan tampak lebih sengit daripada sidang dengar pendapat di ruang DPRD, sampai-sampai ada yamg berdiri sambil jarinya tunjuk kesana kemari. Cukaminyak (busyet). 

Sepanjang pengalaman saya di ruang publik tentang bahan obrolan TKD ini, dominan 'kesalahan" itu ditimpakan kepada Bupati Edi. Ia disebut telah mengingkari janji kampanye, kebijakan tidak populis, tidak manusiawi, tidak memiliki hatinurani, bahkan ia disebut pembunuh berdarah dingin, manusia TKD dan keluarganya bisa melarat dan mati kelaparan. Saya jumpai obrolan begitu. Jarang saya jumpai omongan untuk membantahnya, yah, karena keterbatasan saya juga, yaitu jarang berjumpa dengan sesama di dalam pemerintahan atau timsesnya dulu yang masih setia, yang mungkin mereka akan menginfokan argumentasi berbeda.

Dan dari ruang publik juga kami lihat bahwa DPRD Mabar adem-adem saja. Bagi mereka rupanya tidak ada masalah. Kalau hal itu adalah pelanggaran administratif dalam pelaksanaan kewenangan Bupati dalam penerapan aturan, tapi tidak terdengar RDP DPRD dengan Pemda, dimana mereka menyuarakan kritikannya sebagai mitra kritis lembaga eksekutif. Orang-orang TKD juga begitu, ngomong gaya curhat di ruang publik yang terkesan tidak ada solusi. Dan sampai hari ini juga para 'korban' TKD itu tidak terdengar menuntut haknya, semisal ia melakukan gugatan ke PTUN (Pengadilah Tata Usaha Negara). Apakah para TKD itu sudah menyadari betul bahwa tindakan Bupati Edi sudah benar menurut hukum, atau menjadi korban ketidakadilan tetapi tidak tahu kemana proses hukumnya? Atau sudah tahu "nasib akir" sebagai TKD seperti ini, dan hal itu diterima apa adanya. 

Karena hal-hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sampai di sini tindakan Bupati Edi itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Tidak ada proses perkara yang diajukan korban TKD, tidak terdengar berita bahwa Bupati diduga telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Tidak dipermasalahkan oleh DPRD sebagai mitra kritis lembaga Eksekutif tadi. Apalagi sampai hari ini para petugas pemburu terduga koruptor belum terdengar actionnya untuk hal ini, belum ada kabar berapa nilai kerugian uang negara karenanya. Biasa-biasa saja koq!

Alasan dari pengetahuan tentang apa itu APBD dan kondisi riil yang dihadapi

Meski saya tidak berhadapan langsung dengan "pembela" Pemerintahan Bupati Edi, tapi saya mencari alasan pembenarnya, yaitu demi kelangsungan bangsa dengan tetap berdasarkan peraturan yang ada dan kondisi riil secara nasional. Mencoba lebih kritis lagi, menukik lebih dalam mencari alasan sesungguhnya pada tahun 2021. Semoga saya benar. Alasan saya adalah pengetahuan tentang apa itu APBD (yah termasuk juga APBN-lah) dan kondisi riil yang juga terjadi di wilayah ini.

Dokumen APBD itu adalah tempat mencatat anggaran pendapatan dan biaya, yang akan diterima dan yang akan dikeluarkan. Di situ dicatat sumber uangnya dan pos-pos-pos pengeluaran. Pada saat APBD dibuat, stok riil uang cash di dompet si pembuat itu belum ada. Uang cash (tunai) baru ada bila uang dari sumbernya itu sudah diterima. Ketika sudah ada di 'dompet' barulah dipakai untuk pos-pos biaya yang sudah dicatat tadi seperti misalnya bayar gaji TKD, honor daerah sana sini.

Pada tahun lalu itu (2021) sebagian TKD dirumahkan, income dikebiri, dinaikkan lagi tapi tidak seperti semula. Kita semua tahu bahwa anggaran pendapatan dan biaya pada tahun berjalan itu sudah ditetapkan awal tahun 2021, dan itu sudah direncanakan bulan-bulan terakir tahun sebelumnya, 2020. APBD tahun 2021 ditetapkan oleh Pemda sebelumnya. 

Salah satu sumber pendapatan daerah itu adalah PAD (Pendapatan Asli Daerah), yang diperolah antara lain dari pajak usaha pada tahun 2021. Income TKD untuk sejumlah 2000-an orang itu sudah ditetapkan Rp.1,9 juta/orang misalnya. Bro, uang itu hanya angka dalam penetapan diatas kertas yang disebut APBD. Sekali lagi, itu angka "penetapan di atas kertas". Uang riil belum ada. Riilnya ketika ada penerimaan uang PAD pada tahun berjalan, tahun 2021 itu. Nah, Monster Covid-19 masih nongol tahun 2021 'kan? Para pengusaha "mendekam dalam kamar isolasi mandiri". Perkiraan Pemerintah Indonesia bahwa monster covid sudah tidak ada lagi pada tahun 2021 ternyata meleset. Monster covid itu madih unjuk gigi. Para pengusaha butuh waktu lama untuk bangkit. Aktivitas ekonominya mati suri. Lha, uang pajak untuk daerah? Bro, juga anjlok. Penerimaannya tidak mencukupi gaji 2000-an TKD. Angka diatas kertas APBD tadi menjadi impoten pada bulan-bulan berjalan. Bahasa Manggarai-nya, "bo lelon modok, landing toem gunan, lemelengkus gi". Lalu, dengan apa TKD digaji? Itulah masalahnya. Dirumahkan. Gaji dikebiri. TKD beserta keluarganya 'mati kelaparan?" Belum ada kabar kematian TKD karena kelaparan itu pada tahun 2021. Maaf, malah mungkin mereka kenyang karena sibuk panen porang dengan hasil rupiah jutaan ! Kenapa? Karena sebagian besar TKD kita memiliki tanah pertanian di desa 'kan? Sebagian besar dari mereka berasal dari desa dan sebagian besar hidup dari hasil pertanian itu selama jadi TKD.

Pertanyaan lanjutannya: apakah ada kerugian negara di situ karena tindakan Bupati? Anda tentu bisa menyimpulkannya. 

Tapi sekali lagi, tadi saya katakan 'semoga saya benar" untuk menukik di bidang ini. Tapi kalau anda bilang saya keliru, "Anda tunjukkanlah berapa kerugian negara pada masalah TKD itu, berapa yang meninggal karena kelaparan, dan hal-hal itu anda sampaikan kepada KPK atau ke lembaga yang menanganinya".

Saya tidak berada pada posisi menyoroti alasan politis pilkada atau pilcaleg pada kasus rekrut dan pemberhentian TKD ini, tapi fokus pada alasan hukum dan kondisi riil krisis masa pandemik.  Bahwa alasan politis tipu tapu supaya meraup suara agar lolos menjadi politisi misalnya, yah, saya tidak bicara tentang itu ya. Nah, apakah para mantan TKD itu menyesal atau justru memuji kelihaian mantan bos mereka yang jago mensiasati perjalanan bangsa pada situasi krisis pandemik sehingga mereka antusias lagi memilih untuk maju bupati Edi atau legislator mereka pada periode kedua atau berikutnya, aikn ga (tak taulah saya, bahasa Manggarai-nya).

Kembali ke judul tulisan ini : TKD dirumahkan Bupati Edi tahun 2022, perbuatan tersebut melawan hukum? Pertama, jawabannya 'tidak', karena tindakan tersebut berdasarkan peraturan sah dari PP no.49/2018 beserta hak prerogativenya. Jawaban kedua, bisa "ya", kalau TKD yang masih aktif tapi gajinya dipotong, TKD dirumahkan, melapor kepada Pengadilan (dalam hal misalnya PTUN) bahwa diri mereka sebagai korban ketidakadilan dari tindakan administratif tersebut, tentu disertai alat bukti yang meyakinkan. Nah, anda sendiri pilih mana dari dua jawaban ini?

* Sambil seruput kopi di Labuan Bajo. Selamat tahun 2022 dan salam damai dalam kebersamaan di bawah kolong langit Kabupaten Manggarai Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun