Mbah Hadiyana Atasangin, juga dikenal sebagai Mbah Hadiyana Natasangin oleh penduduk Desa Majalangu, merupakan figur sentral dalam penyebaran agama Islam di Kabupaten Pemalang. Khususnya, peran beliau dalam menerapkan nilai-nilai agama Islam di Desa Majalangu sangatlah penting. Nama "Mbah Hadiyana Natasangin" dikenang oleh masyarakat karena beliau adalah seorang waliyullah yang tidak hanya memberikan pengarahan spiritual, tetapi juga memberi nama kepada Desa Majalangu itu sendiri. Nama "Majalangu" yang diberikan oleh Mbah Hadiyana berasal dari ungkapan Bahasa Arab "man ja'a lahu" yang secara harfiah berarti "seseorang yang datang kepada Allah". Nama ini secara mendalam mencerminkan keagungan dimensi spiritual yang terkait erat dengan identitas dan eksistensi Desa Majalangu. Kehadiran Mbah Hadiyana Atasangin di Desa Majalangu memiliki dampak yang abadi dalam membentuk karakter dan esensi rohaniah masyarakat setempat.
Mbah Hadiyana Atasangin memiliki hubungan yang erat dengan Sunan Kalijaga, tokoh yang memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di Indonesia pada abad ke-15. Sunan Kalijaga dikenal dengan perjalanan hidup yang penuh dengan legenda dan peristiwa bersejarah. Salah satu tempat yang memiliki hubungan penting dengan Sunan Kalijaga adalah Desa Majalangu, di mana ia pernah singgah dalam perjalanannya. Jejak sejarah Sunan Kalijaga yang terkait dengan Desa Majalangu terabadikan dalam sebuah petilasan sumur yang digunakan untuk berwudhu. Petilasan sumur ini, hingga kini, berdiri sebagai saksi bisu dari kehadiran beliau di wilayah Desa Majalangu. Sumur tersebut menjadi simbol fisik dari nilai-nilai spiritual dan ajaran Islam yang diwariskan oleh Sunan Kalijaga kepada masyarakat setempat.
Menuju akhir hayatnya, Sunan Kalijaga wafat di Desa Kadilangu, yang terletak di Kabupaten Sukoharjo. Penamaan Desa Kadilangu memiliki hubungan yang erat dengan Desa Majalangu, tempat yang juga memiliki peran dalam perjalanan spiritual Sunan Kalijaga. Makna khusus terkandung dalam penamaan Desa Kadilangu adalah kata "kadi" dalam Bahasa Jawa yang merujuk pada "dari", menggambarkan bahwa Sunan Kalijaga pernah singgah di Desa Majalangu. Kadilangu merupakan tempat di mana Sunan Kalijaga menghembuskan napas terakhirnya, menjadi ciri yang tak terlupakan atas dedikasi beliau dalam menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Majalangu. Kenangan akan jasa-jasanya tetap abadi, melekat dalam sejarah, dan menjadi pengingat akan pengabdian beliau dalam menerangi jalan agama di dua desa tersebut.
Salah satu Pengabadian sejarah Mbah Hadiyana adalah khaul, yang pertama kali dilakukan oleh Gus Djamil di Desa Majalangu. Â Khaul ini diadakan secara rutin pada tanggal 15 Sya'ban setiap tahun bertempat di makam Waliyullah Mbah Hadiyana Atasangin Dusun Pekuncen Desa Majalangu, Kecamatan Watukumpul, Kabupaten Pemalang. Khaul ini membawa makna spiritual yang sangat mendalam bagi masyarakat setempat, dan menjadi bagian integral dari usaha Gus Djamil dalam meneruskan ajaran-ajaran dari Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
Gus Djamil merupakan keturunan seorang Kyai di Jawa Timur, Kisah Gus Djamil juga terkait erat dengan kisah Sunan Bonang. Dulu, Sunan Bonang mencari lokasi yang bernama Gedong Kosong (Tanah Kosong) untuk dijadikan Pondok Pesantren. Gedong Kosong adalah tanah yang dibangun Pondok Pesantren dengan jumlah murid yang terbatas, namun masing-masing murid memiliki kemampuan spiritual dan ilmu pengetahuan yang luar biasa, termasuk Sunan Kalijaga yang merupakan murid dari Sunan Bonang. Hal serupa terjadi saat Gus Djamil akan bersinggah di Desa Majalangu, ia mencari tanah yang Bernama Gedong Kosong, dari tirakat dan bimbingan dari Mbah Hadiyana Atasangin, beliau menemukan bahwa tanah Gedong Kosong berada di Wilayah Klantung, yang kemudian menjadi Pondok Pesantren Pertama di Desa Majalangu dengan jumlah murid yang sedikit.
Awalnya, pondok pesantren ini dikenal sebagai Pondok Pesantren Ikhyatul Maut, yang memiliki makna sebagai tempat yang menghidupkan hati yang telah mati. Nama pondok ini mencerminkan filosofi bahwa tempat ini memberikan peluang bagi orang-orang yang mungkin memiliki masa lalu buruk, seperti berandalan, preman, dan orang-orang berdosa, untuk berubah, bertaubat, dan mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri. Hal ini sejalan dengan kisah Sunan Kalijaga yang merupakan seorang berandalan, sebelum bertemu dengan Sunan Bonang dan dibimbing olehnya. Kini, Pondok Pesantren tersebut memiliki nama Pondok Pesantren Ahlussunah Wal Jama'ah. Dengan bimbingan spiritual Gus Djamil, pondok pesantren ini tumbuh menjadi pusat penting dalam penyebaran ajaran Islam dan nilai-nilai kearifan lokal di wilayah Majalangu dan sekitarnya. Gus Djamil sendiri kemudian menjadi sosok berpengaruh di wilayah Majalangu,Didukung oleh pengetahuan dan arahan spiritual dari Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, Gus Djamil memainkan peran kunci dalam menyebarkan ajaran Islam dan mempromosikan nilai-nilai moral di daerah tersebut.
Kontribusi besar Gus Djamil dan peranannya dalam menyelenggarakan khaul untuk Mbah Hadiyana Atasangin adalah contoh konkrit tentang bagaimana tokoh-tokoh penting ini bekerja bersama-sama untuk menyebarkan agama Islam dan memberikan manfaat spiritual kepada masyarakat.
Kisah-kisah ini mengilustrasikan bagaimana tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam bekerja bersama untuk menyebarkan agama dan mewariskan nilai-nilai spiritual dalam upaya memperbaiki masyarakat. Meskipun catatan sejarah mungkin belum sepenuhnya mengungkapkan identitas yang pasti, dampak spiritual dan warisan ajaran mereka tetap hidup dan memberikan manfaat bagi masyarakat hingga saat ini.
Biografi NarasumberÂ
Cipto Edi, seorang sosok yang lahir pada tanggal 9 Juli 1974 di Pemalang, mampu menjalani perjalanan hidup yang menakjubkan dan penuh inspirasi. Berangkat dari latar belakang yang sederhana, Cipto Edi tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang dipimpin oleh sang ayah, Muhammad Dahuri. Lahir di keluarga yang taat beragama, Cipto Edi telah membentuk fondasi kuat untuk perjalanan spiritual dan kehidupannya.
Kehidupan awal Cipto Edi ditandai dengan pendidikan formal di SD 2 Majalangu, menciptakan dasar bagi perjalanan pendidikannya. Namun, ia mengambil langkah lebih jauh dengan mengikuti pendidikan non-formal di Pondok Pesantren Api Tegalrejo Magelang selama 4 tahun dan Pondok Pesantren Tegalrandu selama 2 tahun sebelum kembali pada tahun 1994. Pengalaman di pondok pesantren ini melatihnya dalam pemahaman spiritual yang mendalam.
Ketertarikan Cipto Edi pada dunia spiritual dimulai sejak usia dini, dengan kebiasaan mandi malam di tengah malam. Ia merasa ini adalah bagian dari warisan keluarga dan tradisi spiritual dari bapaknya yang juga lulusan pondok Cirebon. Pada saat mondok, ia menjalani perjalanan musafir ke berbagai makam wali, mencari ketenangan dan pencerahan. Ia bahkan mampu menjalani tirakat mutih selama tiga tahun tanpa makan nasi.
Ketenangan dan ketenangan batin menjadi tujuan yang diinginkan oleh Cipto Edi dalam perjalanan hidupnya. Ia merasa terpanggil untuk menjadi musafir yang berkeliling dengan berjalan kaki ke makam-makam wali dalam pencarian ketenangan dan pengetahuan lebih dalam tentang dirinya sendiri. Perjalanan paling jauh yang pernah beliau lalui adalah Tanjung Karang (Bandar Lampung). Untuk mencapai tujuan ini, ia menjalankan tirakat mutih selama tiga tahun tanpa makan nasi. Jati diri yang diinginkan oleh Cipto Edi adalah untuk memahami dirinya sendiri dan mencapai pemahaman sukma. Ia telah menghadapi tantangan lapar dan perjalanan spiritual yang tidak mudah, tanpa mengalami tantangan yang sebenarnya dalam kehidupan materi. Baginya, tasbih menjadi simbol ilmu, "kantong segala ilmu" seperti kantong Semar. Selain itu, di tengah perjalanan hidupnya, Cipto Edi juga menjalani pekerjaan mengolah kayu menjadi minyak Nilam, bahan baku sabun dan kosmetik.Â
Dalam kehidupannya, Cipto Edi memperoleh inspirasi dari kehidupan Gus Rofiq Purworejo, yang tetap mengucapkan Allah dalam detak jantungnya. Ia juga memandang bahwa pendidikan agama adalah nomor satu, dan generasi muda perlu mengikuti jejak sejarah Mbah Hadiyana Atasangin dan Gus Jamil untuk menjaga tradisi khaul hingga akhir hayat.
Cipto Edi ingin mewariskan pelajaran berharga kepada generasi muda. Ia menekankan pentingnya pendidikan agama dan menggabungkannya dengan pendidikan formal. Ia juga berharap bahwa nilai-nilai khaul (kesederhanaan) yang dijunjung tinggi olehnya dapat dilestarikan hingga akhir hayat. Baginya, mengikuti jejak tokoh-tokoh spiritual seperti Mbah Hadiyana Atasangin dan Gus Jamil adalah kunci untuk menjaga keberlanjutan nilai-nilai tersebut.
Cerita hidup Cipto Edi telah mengilhami banyak orang, dan pengobatan serta ajaran spiritualnya dikenal melalui mulut ke mulut. Dengan semangatnya dalam menemukan makna dalam hidup dan tetap belajar, ia telah membawa pencerahan bagi banyak individu yang merasakan kedekatan dengan jiwanya. Dengan kisah hidup yang menginspirasi dan semangat yang tak tergoyahkan, Cipto Edi adalah contoh nyata bahwa kehidupan penuh makna dapat diwujudkan melalui dedikasi, semangat, dan pengabdian kepada nilai-nilai spiritual dan kebenaran.Â
Tim Penyusun
- Siti Fatimah
- Khisnatul Hidayah
- Na'ilatul Laela
KKN Angkatan 56 UIN K.H. Abdurrhman  Wahid Pekalongan Kelompok 50 Desa Majalangu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H