Â
Kali ini saya ingin mengulas bagaimana kuatnya pengaruh sosial media, akhirnya kita perlu tahu dan mesti sadar bersama-sama bahwa kita hari-hari ini hampir tidak pernah luput dari berbagai macam aplikasi yang hadir.Â
Ini bukan lagi bicara "seandainya" melainkan justru berlimpahnya aplikasi yang tersedia dapat memudahkan kita untuk mengerjakan suatu project agar lebih cepat dan tidak menguras energi.Â
Tidak bisa dibayangkan bagaimana misalnya sehari saja tidak menggunakan alat pintar ini (Hp). Sulit memang bila kebiasaan ini sedikit di beri jeda alih-alih merasa biasa-biasa saja dan tidak masalah lantas pertanyaannya apakah kita sungguh sanggup?
Diakui atau tidak sudah begitu banyak waktu kita habiskan dalam berselancar di media sosial, entah itu mencari informasi yang penting atau sekedar membrowsing hal-hal tidak semestinya (unfaedah).Â
Benar bahwa dalam banyak hal, sosial media sangat membantu kita untuk mengupdate berita terbaru, memberitahu, mengabarkan situasi dan kondisi terkini terkait apa-apa saja yang terjadi hari ini. Tentu kita menginginkan hal-hal seperti ini bukan? Â
Oleh karenanya masing-masing orang perlu memeluk sisi positif serta kebijaksanaanya dalam bersosial media. Saya termasuk pengguna aktif sosial media, bukan apa-apa ( update status dll) ketika di saat saya aktif.Â
Namun yang membuat saya tertarik adalah orang-orang yang mana kadang kala menulis kalimat lucu, pedis, sedikitnya bernunasa ejekan namun terkesan unik sehingga mengundang gelak.Â
Facebook. Jejaring dunia maya yang tidak ada batasnya, punya ribuan teman. Sebanyak itu apakah kita tahu persis orang-orangnya? Singkatnya, sekali klik (tambahkan teman lalu di konfirmasi) entah seperti apa setelah berteman relasi yang terbangun selanjutnya justru itu kembali orang-orangnya.
Kegandrungan kita terhadap teknologi memang tidak ada habisnya, ruang publik dunia Maya diwarnai segala macam konten dan ini pun tersebar di aplikasi (baca: tiktok) yang banyak memuat video, meme, maupun dalam bentuk kata-kata.Â
Menariknya, konten-konten yang ada lebih menonjol pada video-video yang bersifat menghibur (sisi positif dari pengamatan saya dalam FYP).
Fenomena semacam ini justru sudah menjadi hal yang biasa atau boleh dikatakan kita tidak akan pernah tahu apa yg terjadi di luar sana bila tidak bersuai dengan sosial media.Â
Lebih dari itu jika kita amati secara saksama kehidupan sehari-hari kita di domain yang berbeda (nyata dan virtual) terlihat begitu kontras.Â
Maka ini tidak mengherankan dengan kita berekspresi melalui alat penunjang (handphone) di sana banyak hal tersibak, memperlihatkan betapa ruang-ruang kehidupan sosial dan individu sudah melebur menjadi satu (tidak ada batas demarkasi)
Upaya untuk sekedar mencari kesenangan dan kegembiraan melalui sosial media bisa membantu kita sedikit demi sedikit menghilangkan kepenatan dari segala akitivitas sehari-hari.Â
Berbagi cerita, mendengar cerita pengalaman, membagikan tips terkait berbagai hal, keadaan ini yang menunjukan bagaimana dengan (aku atau kita), eksis dicurahkan semuanya lewat sosial media.Â
Tidak berhenti sampai di sini, terkadang orang-orang tertentu menjadi bablas, betapa kurang selektifnya, di mana  pada aspek tertentu tidak memikirkan privasi dirinya.Â
Seolah-olah itu sudah menjadi hal yang lumrah, bebas ekspresi model seperti ini membuat kita lupa menghargai privasi diri (ruang privat), jarang mempertimbangkan suatu aspek, dan lebih  mengedepankan jiwa narisistik yang mengebu-gebu
Di balik itu semua, ternyata menuai banyak pendapat, cara pandang orang-orang melahirkan sikap reaktif, baik yang bersifat positif maupun negatif.Â
Jelas tidak ada masalah di sini, bagaimana pun sulit atau bahkan mustahil bagi kita menyenangkan hati semua orang. Memaksakan sama halnya kita menyiksa diri.Â
Orang-orang yang sudah melewati jatuh bangun dalam hidup tentu punya pengalaman tersendiri mana kala harus menahan dan bersikap sabar dan tenang menerima semua reaksi entah itu yang membangun atau yang dapat menjatuhkan mental.Â
Dari semua itu kita bisa membaca bahwa orang-orang dengan sudut pandangnya menyikapi segala sesuatu oleh sikap subjektifitas dan persepsi (biasanya di awali dengan menurut aku).
Meminjam istilah Herbet Marcuse bahwa kita tak ubahnya manusia satu dimensi, kita semacam terjebak dalam satu frame di mana kesenangan serta kebahagiaan dirumuskan dengan perspektif yang mendominasi, begitu kuatnya itu membius di sisi lain cara berpikir kita yang mengikuti logika kerumunan membikin kita kehilangan sifat otentik diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H