Fenomena semacam ini justru sudah menjadi hal yang biasa atau boleh dikatakan kita tidak akan pernah tahu apa yg terjadi di luar sana bila tidak bersuai dengan sosial media.Â
Lebih dari itu jika kita amati secara saksama kehidupan sehari-hari kita di domain yang berbeda (nyata dan virtual) terlihat begitu kontras.Â
Maka ini tidak mengherankan dengan kita berekspresi melalui alat penunjang (handphone) di sana banyak hal tersibak, memperlihatkan betapa ruang-ruang kehidupan sosial dan individu sudah melebur menjadi satu (tidak ada batas demarkasi)
Upaya untuk sekedar mencari kesenangan dan kegembiraan melalui sosial media bisa membantu kita sedikit demi sedikit menghilangkan kepenatan dari segala akitivitas sehari-hari.Â
Berbagi cerita, mendengar cerita pengalaman, membagikan tips terkait berbagai hal, keadaan ini yang menunjukan bagaimana dengan (aku atau kita), eksis dicurahkan semuanya lewat sosial media.Â
Tidak berhenti sampai di sini, terkadang orang-orang tertentu menjadi bablas, betapa kurang selektifnya, di mana  pada aspek tertentu tidak memikirkan privasi dirinya.Â
Seolah-olah itu sudah menjadi hal yang lumrah, bebas ekspresi model seperti ini membuat kita lupa menghargai privasi diri (ruang privat), jarang mempertimbangkan suatu aspek, dan lebih  mengedepankan jiwa narisistik yang mengebu-gebu
Di balik itu semua, ternyata menuai banyak pendapat, cara pandang orang-orang melahirkan sikap reaktif, baik yang bersifat positif maupun negatif.Â
Jelas tidak ada masalah di sini, bagaimana pun sulit atau bahkan mustahil bagi kita menyenangkan hati semua orang. Memaksakan sama halnya kita menyiksa diri.Â
Orang-orang yang sudah melewati jatuh bangun dalam hidup tentu punya pengalaman tersendiri mana kala harus menahan dan bersikap sabar dan tenang menerima semua reaksi entah itu yang membangun atau yang dapat menjatuhkan mental.Â
Dari semua itu kita bisa membaca bahwa orang-orang dengan sudut pandangnya menyikapi segala sesuatu oleh sikap subjektifitas dan persepsi (biasanya di awali dengan menurut aku).