Mohon tunggu...
Kevin Tjoa
Kevin Tjoa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekeliruan Logika Wakil Rakyat

18 Februari 2018   17:11 Diperbarui: 18 Februari 2018   17:58 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inersia. Hukum newton yang pertama ini mungkin menjadi yang paling cocok untuk menggambarkan salah satu lembaga pemerintahan terbesar yang dimiliki republik ini, Dewan Perwakilan Rakyat. Anak teranyarnya yang baru saja pada awal ahad lalu tepatnya Senin 12 Februari 2018 lahir ke dunia perundang-undangan Indonesia, revisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPRD, dan DPD), sudah langsung mendapatkan sebuah hantaman keras yang mengancam nyawa dan keberlangsungan hidup "si bayi" DPR. 

Apapun yang diperbuat oleh DPR, apapun produk yang dihasilkan, pada akhirnya para wakil rakyat yang berdiam di Senayan tidak akan pernah lepas dari segala macam kritik dan sinisme masyarakat. Wajar memang mengingat dari seluruh lembaga pemerintah yang berfungsi di republik ini posisi DPR berada di urutan buncit dalam hal kepercayaan, yaitu sebesar 51% bersanding dengan perusahaan swasta (49%) dan parpol (35%).

Revisi UU MD3 memang penuh kontroversi. Namun, sebelum membahas kontroversi yang berkembang ada baiknya kita mengetahui apa yang sebenarnya direvisi oleh DPR. Ada 14 poin perubahan dalam UU MD3 yang disahkan dalam sidang paripurna tanpa mengikutsertakan PPP dan NasDem yang memilih walk out. 

Disahkan menjadi kata penting dalam kasus ini yang menandakan Pemerintah (presiden dan jajarannya) telah menyetujui revisi UU MD3 jilid III selama pemerintahan Jokowi-JK. Untuk melihat terlebih dahulu apa saja poin revisi UU yang dianggap hanya untuk kepentingan politik pragmatis ini berikut adalah daftarnya secara singkat sebagaimana disampaikan ketua Baleg DPR, Supratman Andi.

  • Penambahan kursi pimpinan MPR (pasal 15), DPR (pasal 84), DPD (pasal 260) dan wakil pimpinan MKD.
  • Kewenangan DPR membahas RUU (presiden, DPR, dan DPD)
  • Pemanggilan paksa dan penyanderaan
  • Penggunaan hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat, dan mengajukan pertanyaan
  • Reinkarnasi Badan Akuntabilitas Keuangan Negara
  • Kewenangan Baleg menyusun RUU dan laporan kinerja
  • Perumusan ulang tugas dan fungsi MKD
  • Mewajibkan laporan pembahasan APBN
  • Pemanggilan paksa terhadap orang yang mangkir dari panggilan panitia angket
  • Penguatan hak imunitas dan pengecualiannya
  • Penambahan wewenang dan tugas DPD dalam masalah Raperda dan perda
  • Pemandirian DPD dalam menyusun anggaran (tambahan mengenai tugas Badan Keahlian Dewan).
  • Menambah jumlah pimpinan dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan alat kelengkapan Dewan Pemilu 2014.
  • Mekanisme poin 13 setelah tahun 2019.

Spekulasi berkembang di masyarakat, kontroversi muncul, pro-kontra berkumandang di sana sini. Setelah mencari dan menelusuri beberapa sumber berita setidaknya ada empat poin yang menjadi permasalahan dan diangkat menjadi isu strategis. Kemana sisanya? Tidak ada yang peduli ketika itu tidak berdampak signifikan terhadap mereka. Kontroversi muncul dari segi material dan formal.

Secara material, isi pasal revisi membuat banyak ahli dan tentunya masyarakat menepuk jidat. Kita akan lihat satu persatu.

  • Pasal 15, 84, dan 260 mengenai penambahan jumlah pimpinan
    Apa yang sebenarnya mendasari hal ini? Hal itu mungkin hanya bisa dijawab oleh Tuhan dan mereka yang membuat UU. Namun, masyarakat bebas berspekulasi dan menganalisis. 
  • Politik adalah seni menerjemahkan situasi dan terjemahannya tercermin dalam hasil pemilu 2014. Hingga revisi ke-3 UU MD3, akomodasi partai-partai untuk mendapatkan jabatan di pimpinan DPR, MPD, maupun DPD terus digaungkan. Salah? Tidak! Tujuan partai politik adalah mencari kekuasaan dan itu yang dilakukan dalam revisi UU MD3. Bukan tanpa alasan karena fenomena yang terjadi di parlemen hasil Pileg 2014 adalah hal yang ganjal. Hanya di Indonesia saja terjadi partai pemenang pemilu tidak menempati satu jabatan pun di kursi pimpinan. 
  • Namun, ketika mengingat bahwa itu sudah diakomodasi dalam revisi sebelumnya penambahan jumlah pimpinan menjadi tidak masuk akal, tidak relevan, dan bermotif buta kekuasaan. 
  • Apa yang mungkin mendasari protes rakyat -- meski isu ini tidak terlalu diangkat apa lagi hanya tiga poin terakhir yang diguguat ke Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu dua hari sejak pengesahan UU MD3 -- adalah jumlah uang negara yang akan dikeluarkan lebih untuk menggaji anggota DPR yang kinerjanya diragukan masyarakat. 
  • Siapa yang rela membayar pekerja kasar untuk merancang desain bangunan? Sayangnya isu ini tenggelam dalam superioritas poin lain dan menjadi subordinat karena uang tidak berhubungan langsung dengan masyarakat. Sepertinya masyarakat lebih tertarik pada pembicaraan seksi mengenai kebebasan berbicara dan demokrasi yang tertuang dalam tiga pasal gugatan terdaftar di MK. Mereka lebih tertarik mengkritik daripada protes karena membayar lebih mahal bagi yang terhormat anggota dewan.

  • Pasal 73 mengenai pemanggilan paksa
    "Dalam hal badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia." Itu adalah tulisan yang tertera dalam UU MD3 pasal 73 ayat (4) di halaman 34 sebelum revisi. Hasil revisi memuat ketentuan yang lebih terperinci dari sebelumnya. Ayat (4) huruf a dan c yang digugat ke MK oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi. Agar tidak salah tafsir mari kita lihat secara jelas isi pasalnya.

    Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa; Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a; dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 4.

    Apa yang keliru? Logika berpikir yang sepertinya telah melupakan Trias Politica. Konsep Trias Politica, baik milik John Locke (legislatif, eksekutif, dan federative) ataupun Montesquieu (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), tidak pernah menggabungkan kewenangan menegakkan hukum dengan membuat hukum. Kewenangan memanggil secara paksa hanya melekat dalam kepentingan penyidikan dan itu adalah ranah penegak hukum: polisi, jaksa, dan KPK. Jika DPR ingin melakukan pemanggilan paksa sepertinya harus ada syarat baru bahwa anggota DPR harus menamatkan akademi polisi. Tidak mungkin anggota DPR adalah orang yang sebegitu luar biasanya hingga dapat melakukan segala sesuatu. DPR tidak memiliki fungsi penyidik, mereka hanya memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang dengan jelas disebutkan dalam UUD NRI 1945 pasal 20A ayat (1).

    Hal empiris yang tidak kalah janggalnya terlihat ketika kita menengok bahwa DPR pernah menolak seseorang untuk hadir dalam rapat DPR. Itu terjadi pada kasus Angket Pelindo II, dimana DPR menolak Menteri Rini Sumarno. Bagi saya pribadi ini aneh. Seseorang memiliki kekuasaan begitu besar untuk menolak dan memaksa. Power yang begitu besar dan ya, kekuasaan cenderung korup.

  • Pasal 122 mengenai pemidanaan orang yang merendahkan DPR (pribadi dan organisasi)
    • Khusus untuk pasal 122 huruf (k), inkonsistensi DPR dalam masalah penghinaan dan perendahan tercermin jelas. Manusia memang sudah memiliki tabiat untuk melihat semut di seberang lautan dan luput melihat gajah di depan matanya sendiri. Tidak ingin dikritik, tetapi ingin mengkritik. MK dengan jelas membatalkan pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden lewat putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2016. Hal ini juga dikritik oleh banyak ahli dan pengamat politik termasuk Ray Rangkuti. "Pemikirannya melompat," dikutip dari wawancaranya dengan Kompas. Setiap orang memiliki kepentingan dan mungkin ini adalah kepentingan DPR untuk melindungi diri dari kritik keras yang telah menjamur karena stigma masyarakat akan buruknya lembaga yang mewakili mereka. Jika ingin dihargai, hargailah orang lain. DPR? Demokrasi akan mengalami kemunduran jika DPR juga ikut-ikutan antikritik seperti yang mereka tuduhkan kepada Pemerintah. Tentunya saya tidak menggeneralisasi seluruh anggota DPR. Ada hal aneh lagi di sini. Untuk pertama kalinya, mungkin, suatu pengadilan etik bisa menjadi pengadilan pidana. Itu akan terjadi di MKD hasil revisi UU MD3.

  • Pasal 245 mengenai pemanggilan untuk memperoleh keterangan terhadap anggota DPR
    Apa yang terjadi sebenarnya kepada DPR? Banyak pihak telah mempertanyakan esensi UU MD3 hasil revisi. Pukat UGM, Formappi, ICJR, hingga Forum Guru Besar Antikorupsi mempertanyakannya. Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa ini adalah upaya DPR melindungi diri dari kritik. Padahal jika mereka bekerja dengan benar dan menanggapi kritik bukan sebagai angin lalu tidak ada yang perlu dilindungi (disembunyikan dari paparan). 
  • Bunyi pasal 245 ayat (1) adalah "pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan." 
  • Mengapa anggota DPR tidak berani memberikan keterangan? Apakah ini perlu untuk berlindung di balik kekuasaan lain? Parahnya adalah DPR yang keras kepala menunjukkan hal tersebut dengan mengatur hal ini untuk kedua kalinya. Putusan MK 76/PUU-XII/2014 telah menyatakan MKD tidak memiliki wewenang dalam sistem peradilan pidana sehingga tidak memerlukan izin dari MKD. Lucu ketika anggota DPR tidak mengerti bahwa putusan MK adalah final dan mengikat. Memang tidak salah secara hukum mengatur kembali norma yang dibatalkan (norma yang sama) dengan peraturan baru. Namun, secara etik? Tidak begitu terpuji secara etika.

    Itu hanya gambaran saja. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang bisa kita lakukan? Sebagai mahasiswa, cendikiawan muda yang berpikir logis tentunya hal pertama yang harus dilakukan adalah mempelajari logika yang sehat jangan sampai menggunakan logika keliru yang tercermin di dalam UU MD3 hasil revisi. Masyarakat dan mahasiswa adalah pengawal pemerintahan. 

  • Demokrasi zaman kini bukan demokrasi tanpa kritik. Tanpa kritik, demokrasi akan mati. Masyarakat telah berperan besar dan cepat dalam mengajukan gugatan ke MK dan peran mahasiswa -- meski saya tidak tahu apa lagi yang bisa kami perbuat ketika langkah hukum sudah diambil -- adalah ikut melangkah bersama masyarakat dan mengawal prosesnya. Jangan sampai ada politik transaksional dalam upaya hukum. Tidak ada lagi gunanya merongrong DPR untuk demonstrasi dengan tujuan DPR membatalkan hal ini. Terlambat! Proses hukum sudah berjalan dan kita hanya bisa mengawalnya.

    Ada yang bilang bahwa ini adalah kesalahan presiden hingga UU ini dapat disahkan yang berarti ada tanda tangan presiden di sana. Isu Perpu telah tersiar perlahan. Sayangnya ada orang-orang yang mengatakan bahwa presiden hanya bermain-main jika menerbitkan Perpu. Untuk apa menerbitkan Perpu jika tidak setuju? Langsung saja tidak menandatangani RUU yang disetujui di DPR. Bicara hukum tanpa politik dalam urusan bernegara seperti bicara gajah hanya soal belalai, melupakan gadingnya. 

  • Secara hukum itu tidak salah, tetapi secara etik itu keliru. Perpu adalah bentuk penolakan presiden secara halus agar kondisi politik berjalan terkendali. Sebetulnya kembali aneh ketika yang mengesahkan adalah presiden yang notabene pemegang kekuasaan eksekutif, tetapi ini adalah proses check and balance dalam demokrasi. 
  • Untungnya UU MD3 ini belum diundangkan sehingga belum mengikat. Inilah peran mahasiswa untuk mengawal dan mendorong pengeluaran Perpu. Jangan skeptis dengan Perpu. Mahasiswa harus mengusahakan hal ini karena cepat atau lambat UU MD3 akan diundangkan dan menjadi masalah jika sudah mengikat secara umum. Kritik bisa jadi hal tabu.

    Hukum itu mudah, etika yang sulit. Prof. Mahfud M.D. Dalam diskusi di tvOne beberapa waktu lalu ia menyatakan bahwa penegakan keadilan menjadi yang paling penting. hukum bisa dipelintir seperti apapun. Berlindung di balik pasal itu mudah karena pasal memang banyak kekurangannya. Hakim bisa menghukum dengan pasal A, tetapi ia juga bisa membebaskan dengan pasal B. 

  • Maka dari itu keadilan adalah soal etika dan hukum, tidak terpisahkan. Mahasiswa, apa lagi mereka yang ada di UI, dengan pendidikan karakter dan nilai-nilai yang sudah ditanamkan dengan maksimal harus memahami keduanya. Mengawal demokrasi dan menyuarakan ketepatan sebagai mahasiswa harus menjadi keniscayaan. Masalahnya adalah apakah penyampaiannya tepat? Kebebasan berpendapat dan berekspresi harus bertanggung jawab. Jadilah orang yang tepat, di tempat dan posisi yang tepat, dan waktu yang tepat. Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia!

    #RevisiRevisiUUMD3
    #KastratSOHIEBS
    #TemanKastrat
    #KastratKenalan

Referensi:

  1. Nova S, Budi R. Survei Polling Center: kepercayaan ke KPK tinggi, ke DPR rendah [Internet]. Jakarta: Tempo.co; 2018 Feb 13 [cited 2018 Feb 18]. Available from: https://nasional.tempo.co/read/893107/survei-polling-center-kepercayaan-ke-kpk-tinggi-ke-dpr-rendah
  2. Maria Farida: tanpa pengesahan presiden UU tidak berlaku [Internet]. Jakarta: hukumonline.com; 2003 Apr 24 [cited 2018 Feb 18]. Available from: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7878/maria-farida-tanpa-pengesahan-presiden-uu-tidak-berlaku
  3. Prasetyo A. Poin-poin kontroversial UU MD3 baru yang berpotensi langgar konstitusi [Internet]. Jakarta: hukumonline.com; 2018 Feb 15 [cited 2018 Feb 18]. Available from: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a852f7344415/poin-poin-kontroversial-uu-md3-baru-yang-berpotensi-langgar-konstitusi
  4. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Jakarta: Presiden Republik Indonesia; 2014.
  5. Yanuar Y. Undang-Undang MD3 akan digugat ke MK, ini sebabnya [Internet]. Jakarta: Tempo.co; 2018 Feb 14 [cited 2018 Feb 18]. Available from: https://fokus.tempo.co/read/1060536/undang-undang-md3-akan-digugat-ke-mk-ini-sebabnya
  6. Sukmana Y. Menyelami UU MD3: di mana logikanya? [Internet]. Jakarta: Kompas.com; 2018 Feb 14 [cited 2018 Feb 18]. Available from: http://nasional.kompas.com/read/2018/02/14/19422541/menyelami-uu-md3-di-mana-logikanya
  7. Mardatillah A. Tiga poin revisi UU MD3 ini akhirnya digugat ke MK [Internet]. Jakarta: hukumonline.com; 2018 Feb 14 [cited 2018 Feb 18]. Available from: http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a846e76b7309/tiga-poin-revisi-uu-md3-ini-akhirnya-digugat-ke-mk
  8. Hakim RN. Perjalanan revisi UU MD3 yang penuh pragmatisme politik [Internet]. Jakarta: Kompas.com; 2018 Feb 9 [cited 2018 Feb 18]. Available from: http://nasional.kompas.com/read/2018/02/09/08515531/perjalanan-revisi-uu-md3-yang-penuh-nuansa-pragmatisme-politik?page=all
  9. Hanifah L. MK: pemeriksaan anggota DPR tidak perlu izin mahkamah kehormatan [Internet]. Jakarta: Mahkamah Konstitusi; 2015 Sep 23 [cited 2018 Feb 18]. Available from: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12100#.Woj0NKiWbIU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun