Semuanya berawal dari tempat itu, tempat yang membuat kehidupanku menjadi berarti sekaligus berakhir.
PLAKK
"M-maaf ma.." ucapku terbata-bata seraya menundukkan kepala.
"Maaf maaf ini udah yang keberapa kalinya?!" Bentaknya.
Beginilah keadaanku selama ini. Aku selalu saja sendirian. Sedangkan ayah yang hanya meneguk kopinya di ruang makan sembari melakukan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa. Aku seorang anak yang tidak diinginkan.Â
Ini juga salahku, aku kurang berusaha keras. Nilaiku selalu saja di bawah rata-rata. Apakah dengan nilai yang bagus mereka akan mulai menyayangiku? Entahlah.Â
Aku memandangi kertas yang berisi nilai ujianku. Memang jelek yah. Suara rintik hujan yang terdengar membuat perasaanku lebih baik. Aku mengambil buku gambar dan pensil. Menggambar membuatku melupakan hal buruk yang terjadi. Aku menuangkan seluruh perasaanku dalamnya.Â
Kringg kringgg kringgg
Jam menunjukkan pukul enam pagi. Setelah selesai bersiap-siap aku pergi ke lantai bawah. Sembari berjalan aku sempat melirik ke meja makan, siapa tau ada jatah untukku dan jawabannya tentu saja tidak ada. Hanya ada jatah untuk tiga orang yang tentunya untuk mama, ayah, dan Aryan.Â
Aku mengayuh sepedaku dan berhenti di depan pedagang kaki lima yang menjual mie ayam. Jarak antara rumahku dengan sekolahku tidak terlalu jauh, hanya sekitar tujuh menit.Â
"Mas pesen satu kayak biasanya" ucapku kepada mas Rafi.
"Sip neng, bentar ya" ucapnya sembari mulai membuat mie ayam.
Aku mengeluarkan ponselku dari saku. Layarnya yang retak membuatku teringat pada kecerobohanku. Andai saja aku lebih berhati-hati. Aku mulai memutar video dan menontonnya selagi menunggu mie ayamnya jadi. Aku hanya bisa menontonnya disini, karena ya jika aku ketahuan menontonnya saat di rumah bisa-bisa ponselku disita atau bahkan dibuang.
"Slurp" aku menyeruput mie ayam yang ada di meja.
Setelah selesai memakannya, aku kembali mengayunkan sepedaku menuju sekolah. Sekolah masih sangat sepi seperti biasanya. Hanya ada aku dan beberapa pegawai sekolah. Aku menaiki satu-persatu anak tangga menuju lantai dua. Kelasku berada di pojok, jadi aku harus melewati lorong-lorong yang cukup seram bagiku. Habisnya, di lorong-lorong itu terdapat banyak lukisan. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Masih ada satu jam sebelum sekolah dimulai. Alasanku pergi ke sekolah sepagi ini ya karena ga betah dirumah. Dirumah, aku bisa ngapain? palingan ya cuman rebahan doang.
Aku mulai menggambar sembari menunggu teman-temanku datang. Kehidupan sekolahku dengan dirumah sangat berbeda. Aku selalu menunggu waktu dimana sekolah dimulai. Sekolah adalah satu-satunya tempat dimana aku menemukan kebahagiaanku.Â
"Auraaa!" terdengar suara yang berasal dari depan kelas.
Bersambung..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H