Entah itu menonton, membersihkan rumah, atau memasak. Itu kita lakukan dengan inisiatif sendiri, sehingga kita bisa menyadari karakter masing-masing. Kalau ada sifat jelek, kita perbaiki pelan-pelan sambil memaklumi kesalahan yang terjadi."
Kalau pemahaman bersama antar-keluarga?
Aku dan istri sama-sama anak pertama. Hubungan pernikahan kami pun jadi pengalaman pertama orang tua kami masing-masing untuk menikahkan anaknya. Mereka berpikiran terbuka dengan saling menghargai adat masing-masing. Istriku orang Jawa dan aku orang Lombok.
Misalnya dalam adat Jawa pernikahan dilangsungkan beberapa bulan lamanya setelah lamaran. Sementara di adat Lombok tempat aku berasal, lamaran sekarang maka pernikahannya bisa langsung terjadi di minggu depan. Pihak keluarga membicarakan keinginan masing-masing untuk dirembug bersama. Tidak pernah ada konflik kebudayaan karena kita selalu membicarakan uneg-uneg kita untuk didiskusikan bersama.
Apa sih yang paling menghabiskan enegi dalam membina hubungan selama ini?
Aku bisa selama 24 jam penuh bareng bersama istri selama seminggu untuk urusan pekerjaan dan rumah. Itu posisi yang rawan kebosanan dan gesekan. Baik dalam hal besar maupun kecil sekalipun. Macam mengganti lampu yang sudah mati bisa berujung pada percekcokan.
Aku dan istriku sepakat untuk menyelesaikan masalah saat itu juga. Bila sudah terlalu panas, biasanya kita akan mengambil jarak untuk menjauh sebentar. Jarak itu akan membuat masing-masing berpikir, "Kenapa sih aku tadi harus marah-marah? Apa masalahnya?". Saat kita tidak berdekatan malah justru terjadi introspeksi dalam diri masing-masing."
Seperti apa yang Indrian Koto katakan dalam puisinya, "Jarak menciptakan rindu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H