Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Feodalisme Pesantren, Otoritas Tanpa Kontrol

8 September 2022   15:49 Diperbarui: 9 September 2022   00:43 1498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak sebatas menjadi pusat pendidikan tertua di Indonesia, pondok pesantren juga mempunyai fungsi integral dalam pemberdayaan dan transformasi sosial masyarakat Nusantara. Eksistensi dan perannya bahkan dapat ditelusuri sejak era kerajaan hingga rezim demokrasi. 

Dalam pola pendidikan uniknya, pondok pesantren terus bertahan dalam terpaan perubahan zaman selama ratusan tahun dengan mengamalkan nilai, norma, dan prinsip kehidupannya sendiri.

Zaman silih berganti, tetapi tradisi khas pesantren seperti hubungan santri-kiai, konsep barkah, transmisi keilmuan, dan karakteristik khas lainnya, masih tetap dipertahankan sampai hari ini.

Pesantren bertumbuh dan berkembang dengan menerapkan pemahaman Islam Nusantara yang menjadi hasil akulturasi filosofi keislaman dengan budaya lokal. Kearifan lokal yang lebih dahulu lahir di Indonesia tidak dihilangkan begitu saja, tetapi dikawinkan dengan ajaran Islam.

Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar saat pesantren, terutama model pondok pesantren klasik, mewarisi feodalisme yang dahulu sempat menguasai sistem kekuasaan di Nusantara. Sebagaimana identitas komunitas tradisional lainnya, feodalisme merupakan salah satu faktor pembentuk kultur di pesantren.

Manifestasi feodalisme di pesantren bisa dilihat dalam hubungan patronasi antara kiai dan santri. Dengan model patronasi (patron-klien), hubungan yang tercipta melibatkan dua komunitas atau individu yang tak sederajat–baik dari segi status sosial, kekuasaan, maupun penghasilan.

Hal itu membuat klien alias santri, akan berada dalam poisisi yang lebih rendah (inferior). Adapun patron atau kiai, akan berada pada posisi yang jauh lebih tinggi (superior). Menurut Pramoedya Ananta Toer, pola relasi itu disebutnya dengan kelas priyayi dan orang kebanyakan.

Lazimnya sosok kiai memiliki kedudukan ganda, yakni sebagai pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Secara kultural, peran mereka cukup identik dengan bangsawan feodal yang menguasai kerajaan kecilnya yang bernama pondok pesantren.

Oleh santri, seorang kiai acap dianggap sebagai entitas suci yang tidak mungkin berbuat dosa serta kesalahan. Sehingga, apa pun yang diucapkan harus dipatuhi dengan dasar agama–tanpa melibatkan penilaian moral terlebih dahulu.

Dalam ajaran Islam, prinsip itu dikenal dengan sebutan "sami'na wa atha'na". Artinya, kami mendengar dan kami taat. Dengan kata lain, mereka menganggap seluruh perkataan serta perbuatan kiai sebagai panutan dan kebenaran mutlak sehingga wajib dipatuhi dan ditiru. Jika tidak, maka akan berdosa, kualat, atau ilmunya dituding tak akan bermanfaat.

Kultur feodalistik itu akhirnya membuat kiai selalu ditempatkan pada kedudukan yang superior. Superioritas itu secara tak langsung justru telah melahirkan watak individualistis.

Di lingkungan pesantren, kiai memiliki kuasa absolut guna mengatur segala hal. Seorang kiai, beserta nasab (anak), dan pembantunya (abdi ndalem), ialah satu-satunya heirarki kekuasaan yang diakui di lembaga pendidikan tersebut.

Sebagai akibat dari kentalnya feodalisme itu, pengkultusan terhadap figur kiai pun tercipta di tengah kelompok santri. Pola pengkultusan itu terbentuk tidak hanya secara kultural, tetapi juga dipengaruhi oleh norma yang bersumber dari ajaran Islam, yang mengharuskan semua murid untuk takzim (hormat) kepada gurunya.

Santri meyakini bahwa di balik perintah seorang kiai, terdapat suatu berkah jika dilakukan. Andai tidak dilakukan, akan mendatangkan kualat. Bentuk interaksi seperti ini akan menutup kemungkinan bagi para santri untuk melakukan kritik atau melawan kehendak kiai yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Norma itu terus diyakini dan diterapkan di lingkungan pesantren. Pasalnya, jika mereka tak menaruh hormat, maka tak akan mendapatkan berkah. Dari situlah akhirnya terbangun prinsip kepatuhan tanpa batas hingga taklid buta.

Meski begitu, feodalisme tak selamanya buruk. Feodalisme dapat menonjolkan kewibawaan seseorang. Dalam konsep demokrasi yang di dalamnya tidak ada kharisma pemimpin, konflik akan sulit dikendalikan. Jadi, sosok kiai memang harus memiliki kharisma lantaran dia adalah panutan santrinya. Feodalisme hanya akan buruk jika disalahgunakan.

Sebagai eks santri pondok pesantren di Jawa Timur, pola hubungan itulah yang dahulu pernah saya saksikan sendiri di lingkungan asrama (pondok). Namun, selama tiga tahun hidup di asrama dan mengenyam pendidikan di pesantren, saya tak pernah sekali pun menjumpai fenomena penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kiai.

Rentan Kekerasan

Meminjam "Teori Relasi Kuasa" Michel Foucault, dalam ekosistem sosial yang tertutup, seperti pesantren tradisional, umumnya akan selalu ada pihak-pihak yang tunduk dan tidak berdaya.

Terjadinya kesewenangan dalam model relasi seperti itu, menjadi konsekuensi logis atas adanya otoritas tanpa kontrol yang dimiliki kiai dan nasabnya. Hal itu membuat santri tidak memiliki ruang gerak untuk menghindar atau melawan adanya potensi kekerasan.

Masifnya otoritas yang dimiliki kiai juga berpotensi melahirkan diskriminasi dan kriminalisasi terhadap korbannya yang sedang berupaya mencari keadilan. Para korbannya juga dihadapkan pada kultus bahwa pesantren dan kiai adalah entitas suci yang tak mungkin melakukan dosa. Justru pihak korbannya lah yang sering dipandang sebagai aib, hingga dituding sebagai penyebab terjadinya kekerasan.

Bahkan, dengan basis massa yang amat besar, seorang pimpinan pesantren bisa mengerahkan para pendukungnya guna mengintimidasi dan menyerang korban, seperti yang pernah dilakukan oleh anak kiai (MSAT) di sebuah pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur.

Berbagai jenis kekerasan yang acapkali terjadi di lingkungan pondok pesantren sebelumnya juga sudah diwanti-wanti oleh Nurcholish Madjid/Cak Nur bahwa feodalisme berbalut agama, jauh lebih berbahaya dibanding feodalisme biasa.

Nahasnya, pesantren ialah lembaga yang lebih berfokus pada nilai dan pendidikan agama yang diharapkan suci dari adanya kekerasan di dalam lingkungan "penjara suci" itu. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, banyak ditemui kasus-kasus kekerasan di sana. Ironisnya, banyak di antaranya justru dilakukan oleh seorang kiai atau nasabnya yang dikultuskan.

Selama periode 2017-2021, merujuk data yang dikumpulkan Komnas Perempuan, ada 16 kasus kekerasan seksual di pondok pesantren. Sedangkan menurut catatan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada lima kasus kekerasan seksual di pondok pesantren sepanjang Januari-Juli 2022. Jumlah itu hanya kasus-kasus yang diadukan saja, sebab masih banyak kasus sejenis yang tak pernah dilaporkan.

Urgensi Pengawasan

Maraknya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan "penjara suci", mengungkap sebuah fakta bahwa sistem pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, belum cukup maksimal atau bahkan tidak dilakukan.

Sebagai institusi pendidikan keagamaan berbasis komunitas, izin atas pendirian pondok pesantren tak dirancang seketat lembaga pendidikan lainnya, termasuk dalam hal penilaian atau akreditasi.

Oleh sebab itu, seharusnya Kementerian Agama (Kemenag), yang membawai izin pendirian pesantren, melakukan upaya pembenahan dalam koridor mekanisme pengawasan untuk mencegah kejadian serupa terus terulang pada masa depan.

Kemenag hendaknya juga mengadakan asesmen pada sisi personal para tenaga pengajar serta memperkuat mekanisme pelaporan aksi kekerasan di pesantren. Hal itu vital untuk memastikan mereka tetap mempunyai integritas serta sehat secara mental dan spiritual. Juga harus ada aturan yang mengatur pencegahan serta mitigasi kekerasan di pesantren.

Dalam hal ini peran pihak kepolisian juga sangat vital, sebab dalam beberapa kasus, mereka tak optimal dalam menajalankan tugasnya. Ketegasan dari aparat penegak hukum amat diperlukan untuk menindak setiap pelaku kekerasan tanpa terkecuali.

Jangan sampai karena lemahnya sistem pengawasan, melahirkan ketakutan dan keraguan di tengah masyarakat terhadap lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Pesantren adalah warisan budaya bangsa, sudah seharusnya dijaga bersama-sama.

Mungkin, hanya ada satu penawar untuk otoritas tanpa kontrol yang dimiliki oleh pesantren yang kental dengan nuansa feodalisme, yakni mengurangi otoritas dengan cara menerapkan kontrol ketat.

Masyarakat harus menyadari bahwa kiai, mursyid, ustaz, gus, atau siapa pun yang dianggap alim pada era kiwari, bukanlah sosok nabi–yang maksum. Mereka pada saatnya juga akan melakukan kesalahan.

Sebagai sesama muslim, antara kiai dan santri atau siapa pun yang mengabdi di lembaga itu, harus saling mengingatkan agar kekerasan di lingkungan pesantren, bisa dicegah sedini mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun