Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Feodalisme Pesantren, Otoritas Tanpa Kontrol

8 September 2022   15:49 Diperbarui: 9 September 2022   00:43 1498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kultur feodalistik itu akhirnya membuat kiai selalu ditempatkan pada kedudukan yang superior. Superioritas itu secara tak langsung justru telah melahirkan watak individualistis.

Di lingkungan pesantren, kiai memiliki kuasa absolut guna mengatur segala hal. Seorang kiai, beserta nasab (anak), dan pembantunya (abdi ndalem), ialah satu-satunya heirarki kekuasaan yang diakui di lembaga pendidikan tersebut.

Sebagai akibat dari kentalnya feodalisme itu, pengkultusan terhadap figur kiai pun tercipta di tengah kelompok santri. Pola pengkultusan itu terbentuk tidak hanya secara kultural, tetapi juga dipengaruhi oleh norma yang bersumber dari ajaran Islam, yang mengharuskan semua murid untuk takzim (hormat) kepada gurunya.

Santri meyakini bahwa di balik perintah seorang kiai, terdapat suatu berkah jika dilakukan. Andai tidak dilakukan, akan mendatangkan kualat. Bentuk interaksi seperti ini akan menutup kemungkinan bagi para santri untuk melakukan kritik atau melawan kehendak kiai yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Norma itu terus diyakini dan diterapkan di lingkungan pesantren. Pasalnya, jika mereka tak menaruh hormat, maka tak akan mendapatkan berkah. Dari situlah akhirnya terbangun prinsip kepatuhan tanpa batas hingga taklid buta.

Meski begitu, feodalisme tak selamanya buruk. Feodalisme dapat menonjolkan kewibawaan seseorang. Dalam konsep demokrasi yang di dalamnya tidak ada kharisma pemimpin, konflik akan sulit dikendalikan. Jadi, sosok kiai memang harus memiliki kharisma lantaran dia adalah panutan santrinya. Feodalisme hanya akan buruk jika disalahgunakan.

Sebagai eks santri pondok pesantren di Jawa Timur, pola hubungan itulah yang dahulu pernah saya saksikan sendiri di lingkungan asrama (pondok). Namun, selama tiga tahun hidup di asrama dan mengenyam pendidikan di pesantren, saya tak pernah sekali pun menjumpai fenomena penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kiai.

Rentan Kekerasan

Meminjam "Teori Relasi Kuasa" Michel Foucault, dalam ekosistem sosial yang tertutup, seperti pesantren tradisional, umumnya akan selalu ada pihak-pihak yang tunduk dan tidak berdaya.

Terjadinya kesewenangan dalam model relasi seperti itu, menjadi konsekuensi logis atas adanya otoritas tanpa kontrol yang dimiliki kiai dan nasabnya. Hal itu membuat santri tidak memiliki ruang gerak untuk menghindar atau melawan adanya potensi kekerasan.

Masifnya otoritas yang dimiliki kiai juga berpotensi melahirkan diskriminasi dan kriminalisasi terhadap korbannya yang sedang berupaya mencari keadilan. Para korbannya juga dihadapkan pada kultus bahwa pesantren dan kiai adalah entitas suci yang tak mungkin melakukan dosa. Justru pihak korbannya lah yang sering dipandang sebagai aib, hingga dituding sebagai penyebab terjadinya kekerasan.

Bahkan, dengan basis massa yang amat besar, seorang pimpinan pesantren bisa mengerahkan para pendukungnya guna mengintimidasi dan menyerang korban, seperti yang pernah dilakukan oleh anak kiai (MSAT) di sebuah pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun