Belum lama pulih usai dihantam impak pandemi, kini mayasrakat sudah harus dihadapkan dengan skenario buruk lain. Ketidakstabilan geopolitik global antara Rusia versus Ukraina, memicu lonjakan harga minyak di seluruh penjuru dunia.
Hal itu mendorong selisih harga minyak dunia dengan harga jual BBM subsidi di Indonesia makin besar. Jika tidak segara diatasi, menurut kalkulasi pemerintah, APBN akan kolaps dan dapat berpotensi mengguncang perekonomian nasional.
Asumsi harga minyak Indonesia sempat berada di angka US$105/barel. Situasi itu makin diperburuk dengan melemahnya nilai tukar rupiah menjadi Rp14.898/US$ per 29 Agustus 2022.
Setelah kode-kode kenaikan BBM santer dikabarkan media, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan banderol BBM subsidi, yang oleh Presiden Jokowi disebut "pilihan terakhir pemerintah".
Pernyataan itu melahirkan kesan seolah-olah pemerintah sudah tak memiliki opsi lain untuk menghindari skenario naiknya BBM bersubsidi. Belakangan pemerintah memang sangat gencar menggaungkan narasi, kalau bukan propaganda, seperti "subsidi salah sasaran" atau "mayoritas subsidi BBM dinikmati orang kaya".
Narasi itu berulang-ulang disampaikan dalam berbagai kesempatan oleh pihak-pihak yang mempunyai afiliasi langsung dengan istana. Bagi pemerintah, subsidi BBM lah satu-satunya biang kerok yang membebani keuangan negara, sehingga harus ditekan seminimal mungkin.
Naiknya harga BBM negara-negara lain pun dijadikan sebagai justifikasi dalam mendukung kebijakan tak populis yang diambil istana. Namun, saat harga BBM negara tetangga (Malaysia) mulai turun, pemerintah tak mempertimbangkannya guna menghindari kenaikan harga BBM dalam negeri.
Menaikkan harga BBM ketika tren harga minyak dunia menunjukkan penurunan, tentu dapat mencederai logika. Padahal, narasi kenaikan harga minyak global itu juga lah yang dijadikan sebagai landasan oleh pemerintah guna menaikkan harga BBM domestik.
Lantas, mengapa istana justru memilih kebijakan yang tidak populis saat harga minyak global sedang mengalami tren penurunan?
Menyikapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengutarakan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi di tengah turunnya harga minyak dunia, akan tetap membuat subsidi serta kompensasi BBM membengkak hingga lebih dari Rp502,4 triliun, yang semula Rp152,5 triliun.
Untuk diketahui, negara mengalokasikan anggaran subsidi dan kompensasi energi untuk tahun 2022 senilai Rp502,4 triliun. Adapun rinciannya untuk subsidi energi senilai Rp208,9 triliun serta kompensasi energi senilai Rp293,5 triliun.
Bendahara negara ini menyebut, dengan harga minyak Indonesian Crude Price (ICP) yang turun ke US$90 per barel sekalipun, beban subsidi BBM nasional masih tetap menerapakan sistem harga ICP US$98,8 per barel selama tahun ini. Maka dari itu, berdasarkan prediksinya, pembengkakan subsidi akan tetap di level Rp653 triliun.
Dengan kata lain, tren penurunan harga minyak global itu, menurut Sri Mulyani, tak akan cukup guna meredam jebolnya anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi yang ditanggung pemerintah.
Ada banyak jalan menuju Roma. Begitu kata pepatah. Menaikkan BBM subsidi sebetulnya bukan satu-satunya pilihan terakhir untuk pemerintah jika mereka berani menerapkan penghematan APBN pada sektor-sektor "bengkak" lainnya.
1. Tekan Jatah Pensiun Pejabat
Belakangan skema pensiun PNS menjadi topik obrolan hangat di media sosial. Isu tersebut juga merembet ke skema jatah pensiun yang diterima anggota DPR. Hal itu diakui Sri Mulyani yang mengklaim, skema (pay as you go) untuk pensiunan PNS terlalu membebani negara.
Pensiunan PNS, kata Sri Mulyani, telah menyerap anggaran negara menyentuh angka Rp2.800 triliun per tahun. Kalau terus menggunakan skema yang sama, negara akan menanggung beban yang lebih berat pada masa depan.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya skema pensiun baru bagi PNS yang lebih ramah bagi kondisi keuangan negara. Sehingga, anggaran yang disisihkan nantinya bisa dialihkan untuk subsidi BBM.
Label beban negara yang sama agaknya juga pantas untuk disematkan kepada anggota DPR yang terhormat. Sebagai politisi dengan gaji dan tunjangan yang sangat besar, tidak selayaknya mereka memperoleh jatah pensiun dari negara.
Para anggota DPR akan menerima dana pensiun seumur hidup meskipun masa jabatannya hanya 5 tahun tiap periode. Senada dengan pensiunan PNS, jumlah pensiunan anggota dewan itu juga terus bertambah setiap tahun, sehingga akan semakin membebani keuangan negara.
Dalam hal ini, saya sependapat dengan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, yang menyebut bahwa jatah pensiun para menteri juga harus ditiadakan. Senada dengan anggota dewan, masa jabatan menteri hanya 5 tahun setiap periode.
Didasarkan pada hal itu, alangkah bijak kalau istana mulai mempertimbangkan untuk mencabut dana pensiun anggota dewan dan menteri. Harapannya, dana tersebut dapat diakumulasikan dengan penghematan pada sektor belanja PNS, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan kembali untuk menambal subsidi BBM, yang disebut-sebut jebol.
2. Kontrol Penerima BBM Subsidi
Di luar faktor tren naiknya harga minyak global, kebijakan menaikkan BBM juga menjadi bukti atas kegagalan pemerintah dalam melakukan pembatasan penerima BBM bersubsidi di dalam negeri.
Usai Pertamina menaikkan harga BBM non-subsidi, banyak warga, khususnya orang kaya, yang biasanya "meminum" BBM non-subsidi, kini beralih ke BBM bersubsidi. Sehingga, beban yang harus ditanggung negara membengkak akibat konsumsi BBM murah tidak terkendali.
Dari realitas itulah gagasan penggunaan aplikasi MyPertamina guna mengontrol penerima BBM subsidi bermula. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, pemakaian aplikasi justru menyulitkan warga yang paling berhak menerima subsidi karena tidak memiliki gawai dan akses internet.
Guna mendukung skema ini, pemerintah terlebih dahulu harus memperbaiki data penerima subsidi BBM yang terintegrasi dengan kementrian terkait. Pastikan pula penerima subsidi BBM ialah masyarakat yang betul-betul tak mampu atau kelas menengah ke bawah.
Pemerintah perlu membuat mekanisme yang lebih efektif untuk mengendalikan penerima BBM subsidi supaya bisa lebih tepat sasaran. Libatkan pula pemerintah daerah dan pihak penegak hukum untuk mengawasi penyaluran BBM bersubsidi.
Pemerintah dapat memulainya dengan membatasi BBM bersubsidi hanya bagi kalangan tertentu. Misalnya, angkutan umum dan barang, serta sepeda motor ber-cc kecil. Selain kelompok itu, maka masyarakat harus mengkonsumsi BBM non-subsisi.
Jika pembatasan penerima BBM subsidi itu dapat dieksekusi dengan baik, maka skenario kenaikan BBM seharusnya bisa dihindari lantaran konsumsi subsidinya menjadi lebih tepat sasaran dan jumlah penerimanya pun bisa dikontrol.
3. Tunda Proyek Non-Prioritas
Memang, menghindari kenaikan harga BBM dalam kondisi krisis energi global bukan hal yang mudah. Namun, hal itu bukan berarti mustahil untuk dilakukan andai pemerintah mempunyai kemauan kuat untuk menyejahterakan rakyatnya.
Dalam hal ini, Bapak Presiden Jokowi, yang sangat getol membangun proyek mercusuar, memainkan peran sentral untuk mengambil gebrakan. Dia harus menunda realisasi proyek yang kurang mendesak untuk menghemat APBN.
Dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional, ada 208 proyek serta 10 program Proyek Strategis Nasional (PSN) periode 2020-2024. Dari jumlah tersebut, saya meyakini, ada beberapa proyek serta program yang bisa sedikit direm proses realisasinya.
Jika memang tidak mungkin dihentikan, setidaknya bisa ditunda sementara atau dikurangi intensitas pembangunannya. Pemerintah terbukti bisa mengeksekusi langkah tersebut. Sebab, langkah itulah yang pernah diambil pemerintah ketika menanggulangi pandemi COVID-19.
Mestinya, pemerintah juga bisa memilih kebijakan yang sama guna menghindari kebijakan menaikkan harga BBM subsidi. Harapannya, anggaran yang dialokasikan untuk membangun proyek-proyek non-prioritas, bisa dialihkan guna menambal subsidi BBM hingga harga minyak dunia kembali stabil.
Dampak Kenaikan BBM
Penurunan harga pasaran minyak global yang sempat diprediksi pemerintah, tak lantas membuat harga BBM subsidi ikut menurun seketika itu juga. Dampaknya, masyarakat akan memikul beban yang begitu berat atas harga yang seharusnya sudah disesuaikan dengan harga global.
Selama ini BBMÂ menjadi komoditas yang sangat fundamental untuk mendukung kehidupan sehari-hari manusia. Hampir segala lini kehidupan sangat bergantung pada ketersediaan BBM.
Sebelum wacana kenaikan BBM subsidi dipilih pemerintah, sejatinya penolakan sudah amat banyak disuarakan di antero negeri. Tak heran, manakala wacana itu ditetapkan, banyak demonstrasi digelar di mana-mana. Sinyal-sinyal penolakan itu hingga kini belum mereda. Yang ada justru makin membara.
Hal itu selaras dengan hasil survei yang dinisiasi oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menemukan bahwa mayoritas publik Indonesia menolak naiknya harga BBM. Sebanyak 58,7% warga mendesak, sebaiknya BBM tidak dinaikkan kendati berpotensi menambah utang negara.
Kekhawatiran publik sangat beralasan, mengingat kenaikan harga BBM subsidi juga akan diikuti dengan lahirnya efek domino yang bisa mempengaruhi hajat hidup mereka.
Kenaikan harga itu, dikhawatirkan akan memukul daya beli dan konsumsi rakyat yang dapat berdampak pada pemulihan perekonomian yang tengah berlangsung. Bahkan, pertumbuhan ekonomi nasional juga diprediksikan akan melambat.
Melambungnya harga BBM subsidi juga dapat memberikan pukulan telak untuk kalangan dunia usaha, terutama sektor UMKM dan usaha kecil informal lainnya yang seringkali tidak tersentuh program bantuan sosial. Apalagi, kedua sektor itu acap memanfaatkan BBM subsidi untuk menjalankan usahannya.
Nahasnya, masyarakat sebelumnya juga sudah terkena dampak kenaikan harga pangan secara serempak. Hal itu makin diperburuk dengan munculnya potensi inflasi. Kenaikan harga BBM 10% akan berkontribusi pada inflasi sebesar 1,2%.
Dengan harga Pertalite yang dibanderol Rp10.000 per liter, maka ada kenaikan sebesar 31%. Senada dengan Solar yang saat ini dipatok Rp6.800 per liter, juga akan mengalami kenaikan 31%.
Dengan kenaikan harga BBM itu maka akan mendorong inflasi ke angka 3,5%. Sementara secara year on year (yoy), inflasinya diprediksi bisa menyentuh angka 7-9%. Akibat inflasi sebesar itu, dapat memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang memperberat beban rakyat, terutama kelas bawah.Â
Bahkan, rakyat miskin yang tak pernah menenggak subsidi BBM–karena tidak punya kendaraan bermotor–juga harus menjadi korban akibat kenaikan harga BBM bersubsidi.
Jika berkaca pada dampak naiknya BBM subsidi pada periode sebelumnya, angka penduduk miskin Indonesia akan turut meningkat tajam seiring ditetapkannya kebijakan tidak populis itu.
Berdasarkan data dari BPS, pada Maret 2015, jumlah populasi miskin sebanyak 28,59 juta kepala, bertambah 860.000 akibat adanya kenaikan harga Premium sebesar 34% pada November 2014. Jika melihat realitas tersebut, bukan tidak mungkin kenaikan harga BBM subsidi akan mendongkrak jumlah penduduk miskin hingga 1 juta orang.
Apabila menimbang dampak dan opsi penghematan itu, seharusnya naiknya harga BBM subsidi bukanlah "pilihan terakhir" bagi pemerintah. Sayangnya, mereka lebih memilih opsi yang tidak populis yang kini telah menempatkan kesejahteraan rakyatnya dalam posisi yang sangat rentan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H