Bagi masyarakat pesisir Pulau Jawa, Jalur Pantura (Pantai Utara) tak ubahnya urat nadi yang menggerakkan berbagai aspek kehidupan. Dengan panjang 1.430 km, ia membentang di bagian utara Pulau Jawa, mulai dari Anyer sampai Panarukan.
Dalam sebuah studi bertajuk "Dua Abad Jalan Raya Pantura", tertulis bahwa cikal bakal jalur tersebut bahkan sudah eksis sejak Kerajaan Mataram Islam. Kala itu, Jalur Pantura digunakan sebagai sarana konsolidasi kekuasaan Mataram, antara wilayah pedalaman dan pesisir.
Meski demikian, sejatinya Jalur Pantura baru dibangun pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Semula dikenal dengan sebutan Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Disebut demikian lantaran dahulu Jalur Pantura dikhususkan sebagai sarana pos informasi yang menjembatani berbagai wilayah di pesisir Pulau Jawa.
Jalur Pantura, menurut catatan sejarah, adalah transformasi dari Jalan Raya Pos yang dibangun pada era kepemimpinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1808 hingga 1811.
Dalam proses pembangunannya, kala itu Daendels menugaskan para Bupati yang daerahnya dilewati Jalur Pantura dengan memakai sistem upah. Namun, menurut para pengamat sejarah, upah yang telah disiapkan Daendels tidak pernah sampai di tangan pekerja. Oleh karena itu, kerja rodi menjadi istilah yang sesuai dengan konteks pembangunan jalur tersebut.
Sebagai akibat kekejaman sistem kerja paksa ini, banyak pekerja tidak sanggup bertahan hingga akhirnya tewas. Hanya dalam kurun waktu dua atau tiga tahun proses pembangunannya, Jalur Pantura menelan korban mencapai 12.000 jiwa.
Karena dibangun dalam pemerintahan Daendels, jalur ini juga disebut dengan Jalan Daendels. Infrastruktur jalan yang dibangun di atas ribuan nyawa manusia itulah yang kita nikmati sampai hari ini.
Matinya Jalur Pantura
Sebelum pembangunan Jalan Raya Pos, perjalanan dari Batavia (Jakarta) sampai Surabaya ketika itu bisa menelan waktu hingga satu bulan. Namun, setelah Jalan Pantai Utara itu dibangun, rute tersebut dapat ditempuh hanya dalam tempo 10 hari. Kini, dengan mobil pribadi, hanya memerlukan waktu sekitar 16 jam.
Selain menunjang akses transportasi, Jalur Pantura juga memiliki peran yang amat fundamental dalam membentuk struktur ruang dan mengarahkan pola pengembangan area-area di sekitarnya.
Hadirnya jalur yang kini telah menjadi jalan nasional ini sangat krusial untuk mengakomodasi mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat. Berkat jasanya, wilayah-wilayah pedalaman pun bisa terhubungkan dan bersinergi dengan daerah di sekitarnya yang lebih maju.