Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Iredentisme ala Mahathir Mohamad, Kepulauan Riau Bagian dari Malaysia?

23 Juni 2022   12:15 Diperbarui: 27 Juni 2022   19:26 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eks Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad. | AFP/How Hwee Young)via Kompas.

Bagi sebagian orang, menjadi tua hanya persoalan bertambahnya usia. Tidak ada perbedaan yang cukup berarti mengenai cara mereka menyikapi kehidupan. Alih-alih menjadi bijak, mereka justru gemar memantik kegaduhan dan kontroversi.

Mungkin narasi itulah yang cocok guna mendeskripsikan eks Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad. Dalam usianya yang sudah senja, ia lagi-lagi menyita perhatian publik. Ia mendesak agar Negeri Jiran mengklaim wilayah Kepulauan Riau (Kepri) sebagai bagian dari negara yang pernah dipimpinnya.

"Seharusnya kita tidak hanya menuntut agar Pedra Branca, atau Pulau Batu Puteh, dikembalikan kepada kita. Kita juga harus menuntut Singapura dan Kepulauan Riau, karena mereka adalah Tanah Melayu (Malaysia: red)," kata Mahathir pada Minggu (19/6), seperti dikutip The Straits Times.

Pernyataan pria berusia 96 tahun yang dikenal gemar memantik kontroversi itu digemborkannya dalam sebuah acara di Selangor, yang diadakan oleh organisasi non-pemerintah di bawah panji Kongres Survival Melayu.

Klaim tanpa berdasar itu pun terdengar hingga ke Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi masyarakat, terutama rakyat Indonesia, untuk menyuarakan protes keras. Lantas, benarkah Kepri termasuk bagian dari Malaysia?

Penetapan Wilayah Indonesia

Interelasi sosio-politik antara wilayah Melayu dengan Indonesia bisa ditelusuri sejak zaman imperium Hindu-Buddha. Kerajaan Sriwijaya, misalnya, memiliki wilayah kekuasaan yang meliputi hingga ke wilayah Semenanjung Malaka. 

Demikian pula pada era Majapahit yang memiliki wilayah kekuasaan meliputi daerah Sabah dan Sarawak (Malaysia). Adapun secara sosio-kultural, wilayah-wilayah yang kini menjadi bagian dari negeri Upin-Ipin itu juga punya banyak kedekatan dengan publik Tanah Air.

Menurut catatan sejarah, dahulu wilayah Melayu memang meliputi Kepri, bahkan hingga wilayah Sumatra Barat. Sebelum kedatangan imperilasime Barat, semua teritorial itu berada di dalam kekuasaaan Kesultanan Melayu.

Yang menjadi pembeda antar keduanya ialah dalam konteks kolonialisme, yang mana wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, adapah bekas kependudukan Belanda. Adapun Malaysia merupakan bekas jajahan Negeri Ratu Elizabeth. 

Kedua negeri penjajah tersebut sejatinya pernah terlibat dalam konflik perebutan teritorial jajahan. Belanda dan Inggris akhirnya menginisiasi perjanjian Anglo-Dutch Treaty pada 1824, guna membagi batas-batas wilayah kolonialnya masing-masing.

Inggris berhak atas wilayah di Utara dan Timur Selat Malaka, yang juga meliputi Semenanjung Malaya hingga Singapura. Adapun area Selatan dan Barat jatuh ke tangan Belanda. Teritorial yang dikuasai Belanda meliputi Sumatera, Kepulauan Lingga, dan wilayah yang akan diklaim oleh Mahathir, Kepulauan Riau.

Selain berdasarkan jalur kolonialisme, momen kunci dalam penentuan wilayah NKRI terjadi pada 11 Juli 1945. Kala itu BPUPKI menerbitkan keputusan yang diperoleh dari hasil jajak pendapat yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia mencakup Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis, serta sejumlah pulau di sekitarnya.

Namun, atas berbagai pertimbangan, Sukarno memutuskan bahwa wilayah kedaulatan Indonwsia hanya meliputi wilayah jajahan Hindia-Belanda, tidak kurang dan tidak lebih. Keputusan itu secara otomatis telah menganulir hasil voting BPUPKI.

Bung Karno tentu tak sembarangan saat akan mengambil keputusan. Beliau tak serakah ketika menolak "pencaplokan" wilayah di luar jajahan Belanda. Adapun Ketetapan itu selaras dengan prinsip hukum internasional "Uti Possideti Juris" yang mendasarkan wilayah suatu negara yang baru merdeka, bakal mewarisi batas-batas wilayah yang dikuasai oleh negara penjajahnya.

Artinya, wilayah-wilayah yang dahulu pernah diduduki Belanda, akan secara otomatis dan sah dikuasai oleh negara jajahannya, yakni Indonesia. Kepri yang sempat diberi nama Residentie Riouw en Onderhoorigheden oleh Belanda, adalah salah satunya.

Sementara dari kacamata konsep hukum internasional, suatu wilayah bisa diklaim pemerintah sebuah negara melalui tujuh cara. Dua di antaranya ialah dengan cara okupasi dan prekripsi, yang mana dalam konteks penetapan Kepri sebagai wilayah Indonesia, telah memenuhi kedua unsur tersebut.

1. Okupasi
Okupasi adalah penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah penguasaan negara manapun. Tindakan itu dapat ditunjukkan dengan suatu aksi simbolis yang menunjukkan penguasaan terhadap wilayah itu. Misalnya, dengan pemancangan bendera.

Sementara dalam konteks klaim sepihak Mahathir, Kepri sudah menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 1945. Sudah ada bendera Merah Putih yang berkibar di sana.

Indonesia sudah sejak lama menggelar kegiatan administrasi pemerintahan melalui proses demokratis melakukan pencatatan penduduk, penerapan hukum nasional, dan penegakan hukum. Adapun Malaysia baru merdeka pada tahun 1957, sehingga tak mungkin melakukan semua kegiatan yang dilakukan oleh negara merdeka tersebut.

Artinya, dalam sudut pandang okupasi, Indonesia lah yang berhak atas wilayah Kepri lantaran saat itu wilayah tersebut tidak dikuasi oleh negara lain. Bahkan, Malaysia pun masih dijajah Inggris.

2. Preskripsi
Preskripai mengacu pada tindakan suatu negara yang menegaskan kedaulatan wilayahnya dengan melakukan dominasi atas wilayah tertentu tanpa ditentang oleh negara lain.

Ditilik dari prinsip hukum tersebut, bisa dikatakan bahwa Indonesia bahkan telah menguasai Kepri selama 76 tahun tanpa ada keberatan dari Negeri Jiran. Adapun keberatan atau klaim wilayah Kepri baru dilontarkan Mahathir setelah 64 tahun Malaysia mendapat hadiah kemerdekaan dari Inggris.

Berdasarkan catatan sejarah dan konsep hukum internasional, tidak ada satu pun pijakan yang dapat digunakan dalam membenarkan klaim buta eks Perdana Menteri Malaysia tersebut atas wilayah Kepri. Penguasaan Kepri oleh Indonesia merupakan harga mati!

Iredentisme ala Mahathir

Iredentisme merupakan konsep politik yang mana suatu negara berhasrat untuk menganeksasi teritorial-teritorial yang telah dikuasai oleh negara lain atas dasar persamaan etnis, keterkaitan sejarah dan budaya, baik secara aktual maupun hanya sekadar dugaan.

Konsep itu acap digaungkan penganut pan-nasionalisme yang lazimnya akan menyasar teritorial negara tetangga (serumpun) untuk kemudian diklaim sebagai wilayahnya. Iredentisme kerap digunakan untuk melegitimasi aneksasi wilayah yang sebelumnya dikuasai suatu negara berdaulat.

Namun, sayangnya, selama ini prinsip iredentisme dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas geopolitik di dunia serta telah terbukti banyak mengakibatkan terjadinya berbagai krisis, konflik, dan peperangan.

Invasi Rusia ke Ukraina dapat menjadi salah satu contohnya. Vladimir Putin menganggap bahwa Ukraina merupakan bagian dari Rusia atas dasar keterkaitan etnis serta sejarah. Apakah Mahathir memang terinspirasi dari sikap Rusia?

Klaim tak berdasar yang dilontarkan oleh Mahathir sama berbahayanya dengan, misalnya, Belanda mengklaim Indonesia sebagai wilayah kedaulatan mereka atas dasar keterkaitan sejarah kolonialisme.

Aksi seperti itu tak bisa dibenarkan dan akan mengganggu relasi antara kedua negara. Apalagi, selama ini hubungan keduanya sering kali bermasalah akibat kebiasaan Malaysia dalam mengklaim wilayah dan warisan budaya Indonesia.

Sebagai figur publik dan bekas Perdana Menteri, hendaknya Mahathir berhenti membuat komentar bernada provokatif yang bisa memicu ketegangan dengan Indonesia. Cukuplah sejarah masa lalu yang menggoreskan luka dalam relasi Indonesia-Malaysia.

Jika klaim sepihak itu masih diteruskan, bukan tidak mungkin seruan legendaris "Ganyang Malaysia!" yang pernah dilontarkan Bung Karno akan kembali digaungkan. Namun, tentu kita tidak menginginkan skenario itu terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun