Pada 2021 lalu pun banyak ditemukan insiden serupa. Nyawa sejumlah remaja melayang sia-sia dengan motif yang sama persis: tertabrak truk demi konten.
Selain Challenge Malaikat Maut, ternyata masih banyak tantangan-tantangan gila lain yang bisa berakibat fatal. Lantas, mengapa kaum remaja sangat gemar membahayakan dirinya sendiri hanya demi konten viral?
1. Merasa Terhubung dan Populer
Selama pandemi atau bahkan jauh sebelum itu, internet dan media sosial telah menjadi tempat berlindung yang aman bagi banyak orang yang berjuang untuk menemukan "rumah" idealnya.
Tantangan di media sosial yang viral memberikan kaum remaja kesempatan untuk merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri (komunitas). Tak peduli kontenya mendidik atau tidak.
Menurut psikolog klinis asal AS, Jennifer Hettema, PhD, media sosial bisa memproyeksikan perasaan komunitas dan koneksi. Hasilnya, tantangan viral akan memperoleh momentum dengan sangat cepat dan masif.
Besarnya animo kaum remaja untuk berpartisipasi dalam aksi berbahaya juga menunjukkan keinginan manusia yang melekat untuk merasa terhubung. Dorongan itu terasa begitu kuat sehingga dapat menggerus kewaspadaan dan adanya risiko terluka saat melakukan tantangan di media sosial.
Anak-anak dan remaja paling rentan terhadap tantangan berbahaya karena kebutuhan akan rasa memiliki serta keinginan untuk diterima yang tinggi.
Selain untuk menarik perhatian, dengan mengikuti tantangan barbar ini, mereka berharap akan memperoleh pujian serta dianggap pemberani, hebat, dan populer. Sementara tantangan berbahaya yang tengah viral sering kalai menawarkan popularitas instan di media sosial.
Popularitas online bisa memuaskan ego serta membuat mereka merasa dihargai. Keberhasilan dalam menyelesaikan tantangan dianggap sebagai "lencana kehormatan" yang akhirnya semakin meningkatkan popularitas mereka di media sosial.
2. Remaja Suka Mengambil Risiko