Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Setop Mati Konyol Demi Konten!

13 Juni 2022   14:26 Diperbarui: 14 Juni 2022   02:45 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi remaja tewas akibat challenge malaikat maut. | Sumber ISTOCK via Kompas.

Saat banyak orang berjuang agar tetap hidup, sejumlah remaja ini justru rela menantang maut demi konten. Apa yang membuat kaum remaja sampai berani mati hanya untuk label viral?

Kendati tidak memiliki sembilan nyawa, ternyata masih ada banyak anak-anak manusia yang menganggap diri mereka seekor kucing. Bahkan, spesies kucing itu sendiri tak cukup gila untuk menantang ajal demi hal-hal konyol.

Dengan gagah berani remaja-remaja ini menggoda malaikat maut guna menggali kubur mereka sendiri hanya demi konten viral. Tugas malaikat maut pun seolah-olah menjadi jauh lebih mudah, lantaran mereka sendirilah yang menempatkan diri dalam situasi yang amat berbahaya. 

Situasi itulah yang dialami oleh anak di bawah umur berinisial MF (14). Ia tewas usai melakukan aksi menghentikan truk di Jalan Muhammad Toha, Periuk, Kota Tangerang, Selasa (7/6/22). Aksi barbar itu dilakukan untuk membuat konten.

Challenge Malaikat Maut, begitulah aksi menstop truk itu disebut di media sosial seperti TikTok, Facebook, dan YouTube. Konten gila itu bertujuan untuk beradu nyali dengan truk yang sedang melaju di jalan raya.

Sebelum melakukan aksinya, para remaja akan menunggu di trotoar. Saat truk yang ditargetkan tengah melintas, mereka akan melompat tepat di depan truk itu seolah ingin menghentikannya. Namun, begitu truknya mendekat, mereka akan langsung berlari tunggang-langgang untuk menghindarinya. Kurang gila apa?

Lantaran truk tidak bisa berhenti secara mendadak, aksi yang sejatinya dibuat untuk bersenang-senang ini akhirnya berubah menjadi bencana. Sudah ada terlalu banyak generasi penerus bangsa yang bernasib tragis akibat tertabrak atau terlindas truk. Beberapa remaja lainnya beruntung hanya mengalami luka-luka.

Nahasnya, aksi menantang maut serupa sudah berkali-kali terjadi di Indonesia. Tragisnya, aksi konyol tersebut lagi-lagi dilakukan kelompok berusia remaja, dalam tempo yang sangat berdekatan.

Remaja berinisial Y (18) dilaporkan tewas usai melakukan aksi menghentikan truk di Karawaci, Kota Tangerang, Jumat (3/6/22). Adapun dua bulan sebelumnya, bocah berinisial RA (14) juga dinyatakan tewas terlindas ketika berusaha menstop truk di Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jumat (1/4/22). 

Sama seperti sebelumnya, insiden maut itu terjadi saat korban bersama teman-temannya tengah membuat konten video untuk diunggah di media sosial.

Pada 2021 lalu pun banyak ditemukan insiden serupa. Nyawa sejumlah remaja melayang sia-sia dengan motif yang sama persis: tertabrak truk demi konten.

Selain Challenge Malaikat Maut, ternyata masih banyak tantangan-tantangan gila lain yang bisa berakibat fatal. Lantas, mengapa kaum remaja sangat gemar membahayakan dirinya sendiri hanya demi konten viral?

1. Merasa Terhubung dan Populer

Selama pandemi atau bahkan jauh sebelum itu, internet dan media sosial telah menjadi tempat berlindung yang aman bagi banyak orang yang berjuang untuk menemukan "rumah" idealnya.

Tantangan di media sosial yang viral memberikan kaum remaja kesempatan untuk merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri (komunitas). Tak peduli kontenya mendidik atau tidak.

Menurut psikolog klinis asal AS, Jennifer Hettema, PhD, media sosial bisa memproyeksikan perasaan komunitas dan koneksi. Hasilnya, tantangan viral akan memperoleh momentum dengan sangat cepat dan masif.

Besarnya animo kaum remaja untuk berpartisipasi dalam aksi berbahaya juga menunjukkan keinginan manusia yang melekat untuk merasa terhubung. Dorongan itu terasa begitu kuat sehingga dapat menggerus kewaspadaan dan adanya risiko terluka saat melakukan tantangan di media sosial.

Anak-anak dan remaja paling rentan terhadap tantangan berbahaya karena kebutuhan akan rasa memiliki serta keinginan untuk diterima yang tinggi.

Selain untuk menarik perhatian, dengan mengikuti tantangan barbar ini, mereka berharap akan memperoleh pujian serta dianggap pemberani, hebat, dan populer. Sementara tantangan berbahaya yang tengah viral sering kalai menawarkan popularitas instan di media sosial.

Popularitas online bisa memuaskan ego serta membuat mereka merasa dihargai. Keberhasilan dalam menyelesaikan tantangan dianggap sebagai "lencana kehormatan" yang akhirnya semakin meningkatkan popularitas mereka di media sosial.

2. Remaja Suka Mengambil Risiko

Pada dasarnya, kaum remaja memang senang mencoba hal-hal baru, terutama aksi-aksi yang menantang, seperti yang ditemukan oleh para peneliti pada jurnal berjudul "Mammalian play: Training for the unexpected".

Penemuan itu juga didukung oleh faktor fisiologis yang membuat kaum remaja tertarik untuk melakukan perilaku berisiko. Otak remaja masih dalam fase perkembangan sehingga mereka belum sepenuhnya mampu memahami risiko sebenarnya dari aksi berbahaya yang mereka lakukan.

"Penelitian biologis telah membuktikan bahwa otak remaja, khususnya korteks prefrontal, atau bagian pengambilan keputusan dan penilaian otak, belum sepenuhnya berkembang," kata Desreen N. Dudley, PsyD, psikolog klinis asal AS. "Sehingga membatasi kemampuan mereka untuk mempertimbangkan semua faktor terkait dalam membuat keputusan yang tepat."

Sejumlah penelitian lainnya juga telah membuktikan bahwa remaja dan dewasa muda mengambil lebih banyak risiko daripada kelompok usia lainnya. Meski upaya edukasi tentang perilaku berisiko telah diberikan, masih banyak remaja yang terus terlibat aksi berbahaya.

3. Diminati Banyak Orang

Di ekosistem media sosial, persaingan untuk mendapat perhatian sangat ketat, yang akhirnya dapat mendorong para pengguna untuk melakukan aksi-aksi ekstrem demi merebut atensi publik.

Dalam Teori Ekonomi Perhatian (Economy of Attention), konten viral serta perhatian publik memiliki hubungan yang sangat erat. Adapun perhatian merupakan komoditas yang paling dicari dan dihargai mahal di media sosial.

Konten-konten viral berbahaya memiliki potensi meraup atensi yang jauh lebih besar ketimbang konten yang aman atau biasa-biasa saja. Hal itu disukai baik oleh pengguna maupun penyedia platform.

Para pengguna bisa meraih cuan dari atensi yang didapatkan dengan cara memonetisasinya. Sementara platform media sosial dapat memanfaatkan tingginya atensi yang diraih pengguna untuk menggenjot profit dari iklan.

Pola ini semakin didukung oleh adanya sistem algoritma platform yang akan mengunggulkan konten-konten dengan interaksi tinggi. Adapun konten yang berisi sensasi atau aksi-aksi berbahaya lazimnya akan ditampilkan pada urutan teratas di linimasa.

Di samping itu, otak manusia juga didesain untuk lebih bisa memusatkan atensi pada hal-hal yang berbau negatif. Warganet memang cenderung reaktif dalam mengolah dan menyikapi sebuah informasi yang membuat konten negatif menjadi viral dalam waktu singkat.

Oleh sebab itu, tidak heran, ketika ada konten negatif-berisiko yang lagi viral, publik akan beramai-ramai melihat dan mengikutinya, atau bahkan berbondong-bondong menghujaninya dengan hujatan.

Menjaga Remaja Tetap Aman

Konten negatif-berisiko tidak hanya berbahaya bagi keselamatan, tetapi juga memicu dampak psikologis berupa adiksi untuk melakukan hal-hal negatif serupa secara berulang. Jika tidak dihentikan atau disikapi secara serius, kaum remaja akan berada pada posisi rentan.

Untuk itu, peran orangtua dan guru di sekolah amat krusial dalam membantu remaja memahami risiko dari tantangan berbahaya. Kaum remaja harus diberikan pemahaman untuk tidak melakukan aksi konyol demi konten.

Dalam hal ini, tantangan malaikat maut bukan hanya membahayakan pelaku, melainkan juga pegendara dan para pengguna jalan lainnya. Efek domino yang mungkin terjadi dari aksi mengehentikan truk secara mendadak tentu akan berakibat sangat fatal.

Untuk menyalurkan energi berlebih yang dimiliki kaum remaja, Sigmund Freud menawarkan ide yang brilian lewat teori sublimasi. Dalam Psikologi, sublimasi adalah mekanisme pertahanan diri yang bisa diterima baik oleh individu maupun kelompok sosial.

Mekanisme ublimasi bekerja dengan cara mengalihkan dorongan negatif dan menggantinya menjadi sesuatu yang lebih positif, lazimnya bersifat kultural-kreatif seperti seni, musik, serta sastra.

Orangtua dan guru bisa mendorong para remaja untuk menyalurkan energi berlebih yang ada di dalam diri mereka untuk melakukan hal-hal positif, seperti olahraga, seni, musik, atau aktivitas produktif lainnya. Dengan begitu diharapkan kaum remaja sedikit demi sedikit akan meninggalkan aktivitas-aktivitas berisiko.

Penindakan tegas oleh aparat penegak hukum yang dibantu orangtua dan guru juga dibutuhkan agar kaum remaja menyadari bahwa aksi barbar mereka harus dipertanggungjawabkan baik di mata hukum maupun norma sosial. Stop mati konyol demi konten!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun