Oleh karena itu, peristiwa Isra Mikraj tak bisa didefinisikan lewat Teori Relativitas Khusus Einstein, yang mana laju cahaya dalam ruang vakum bernilai sama untuk semua pengamat. Sebab, kalau memakai teori itu, Nabi belum mampu melampaui sistem tata surya kita.
Apalagi, cahaya ialah materi paling cepat yang dapat dicapai sebuah benda di alam semesta. Dari sana bisa disimpulkan Isra Mikraj bukanlah ekspedisi antariksa atau pesawat terbang antarnegara dari Mekah ke Palestina. Perlu sebuah teknologi atau metode yang jauh lebih cepat ketimbang cahaya untuk memungkinkannya.
Dalam perjalanan Isra, Nabi menempuh jarak 1.500 km. Dalam kecepatan cahaya (300.000 km/detik), maka durasi yang diperlukan dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa adalah 0,005 detik. Jauh melampaui laju kedipan mata manusia yang hanya 0,04 detik/kedipan!
Kita asumsikan Isra Miraj dimulai usai salat isya atau pukul 20.00 sampai jam 4.00 pagi menjelang subuh. Jadi, perlu waktu 8 jam. Sehingga, jika bolak-balik, sekali perjalanan butuh waktu 4 jam.
Karena ekspedisinya dilakukan dengan burak, maka diasumsikan bahwa Nabi melesat dengan kecepatan cahaya. Jadi, dalam empat jam, Nabi hanya sanggup menempuh jarak 4.032.000.000 km.
Sementara planet terluar dalam sistem tata surya, Neptunus, tercatat berjarak 4.300.000.000 km dari Bumi. Sehingga, dengan tempo 4 jam, Rasulullah belum mampu mencapai planet terjauh dalam tata surya kita.
Sebagai perbandingan. Bintang terdekat Proxima Alpha Centaury ada pada jarak sekitar 4,2 tahun cahaya. Amat mustahil ditempuh pergi-pulang dalam semalam.
Padahal, Sidratal Muntaha merupakan sebuah tempat yang sangat jauh di atas langit ketujuh dan melampaui gugusan galaksi-galaksi yang sulit dibayangkan. Atas dasar itu, untuk mengidentifikasi perjalanan Isra Mikraj Nabi lewat teori Relativitas Khusus tidaklah memadai.
Sehingga, dalam mengidentifikasi Isra Mikraj dapat memakai Teori Relativitas Umum yang mengisyaratkan eksistensi alam dengan dimensi yang lebih tinggi (immaterial) dibanding alam yang kita diami saat ini. Untuk bisa memasukinya, para ilmuwan menemukan sistem yang disebut lubang cacing (wormhole).
Pada tahun 1935 silam, Albert Einstein dan Nathan Rosen menggunakan Teori Relativitas Umum untuk memaparkan gagasan tersebut. Mereka mengusulkan teori jembatan melalui ruang-waktu.
Jembatan ini menghubungkan dua titik berbeda dalam ruang dan waktu, secara teoritis menciptakan jalan pintas yang mampu mengurangi waktu serta jarak tempuh. Jalan pintas itu lantas disebut jembatan Einstein-Rosen (wormhole).