Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Food Porn, Untukmu yang Hobi Foto Makanan

24 Februari 2022   13:58 Diperbarui: 17 Maret 2022   00:53 10986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"The Last Supper" (1498) karya Leonardo da Vinci. | Sumber commons.wikimedia.org

Sejak adanya Instagram, budaya berdoa sebelum makan bergeser menjadi foto-foto dulu sebelum makan. Apalagi kalau makanan yang tersaji "Instagrammable", aduh, seluruh dunia harus lihat!

Tiada keraguan barang sedikit pun bahwa makanan telah mengambil peran integral dalam kehidupan, baik bagi mereka yang masih hidup maupun bagi jiwa-jiwa yang telah meninggal. Selain untuk memenuhi rongga di dalam lambung, citra makanan juga telah menjadi subjek esensial dalam berbagai kebudayaan di seluruh dunia.

Orang Mesir kuno menciptakan lukisan makanan pada dinding bagian dalam piramida dan peti mati pendahulunya, sebagai sebuah ritus persembahan guna dinikmati arwah-arwah di alam baka.

Sementara itu, pada abad pertengahan dan era renaisans, citra makanan acap kali digunakan sebagai alegori untuk menekankan erotisme, eksotisme, atau kekayaan. Sejarah seni bertema makanan juga terjalin mesra dengan unsur-unsur politik, gender, agama, serta kelas.

Banyak seniman legendaris yang lantas mengadopsi berbagai impresi makanan sebagai pelengkap komposisi karyanya. Leonardo da Vinci, misalnya, yang kerap melukiskan keagungan, religiusitas, dan kompleksitas pada karya-karyanya yang fenomenal.

Dalam magnum opus-nya bertajuk "The Last Supper" (1498), ia mengabadikan meja yang dipenuhi dengan sisa-sisa perjamuan makan malam yang dinikmati dalam nuansa romantisme di antara entitas Yesus dan murid-muridnya.

Pada akhir abad ke-19, para seniman juga kerap menyampaikan momen kehidupan yang berhubungan dengan makanan pada karyanya. Mereka acap menggambarkan masyarakat yang tengah bersosialisasi di sekitar makanan yang hendak disantap.

"Potato's Eaters" karya Vincent van Gogh (1885) | Sumber: vangoghmuseum.nl

Dalam lukisannya yang bertajuk "The Potato Eaters" (1885), Vincent van Gogh mengggambarkan keluarga petani yang menyantap olahan dari kentang sebagai simbol kesederhanaan kelas bawah.

Sebaliknya, impresi makanan juga dapat dimodifikasi untuk menunjukkan status sosial dan kemewahan. Lukisan bertajuk "Still Life with Ham, Lobster, and Fruit" karya seniman Belanda, Jan Davidsz. de Heem, mungkin bisa menjadi salah satu contohnya.

"Still Life with Ham, Lobster, and Fruit" karya Jan Davidsz. de Heem (1653) | Sumber: Boijmens.nl

Pada era itu, berbagai sajian dari hewan buruan, unggas, lobster, kerang, jeruk, dan anggur dikaitkan dengan gaya hidup mewah yang ingin diidentifikasi oleh si pemilik lukisan. Akan tetapi, terkadang karya seni itu juga berfungsi sebagai pengingat akan bahaya dari sifat tamak dan rakus.

Sejatinya, sampai hari ini pun kita masih melestarikan apa yang pernah dilakukan oleh pendahulu kita. Hanya saja, dengan varian yang jauh lebih modern, baik dari sisi jenis makanan maupun media dalam mengabadikannya.

Pada tahun 1825, filsuf asal Prancis Jean Anthelme Brillat-Savarin memgatakan, "Katakan padaku apa yang kamu makan, dan aku akan memberitahumu siapa dirimu." Saat ini, faktanya, orang-orang memang menunjukkan kepada dunia apa yang mereka santap untuk menegaskan status sosial dan identitasnya.

Sudah menjadi hal lazim orang memfoto makanan dan mengunggahnya ke media sosial sebelum lantas disantap. Sampai-sampai muncul anggapan "acara makan-makan belum sah jika belum difoto".

Sejak kelahiran media sosial, foto-foto makanan sangat populer karena mudah dibuat dan relevan untuk semua orang. Bahkan, ritus itu telah menjadi rutinitas layaknya berdoa sebelum makan.

Setelah diantarkan oleh pramusaji, mata kamu akan langsung berbinar-binar saat piring-piring berisi makanan mengepul tiba di meja makan. Bukan lantaran perut kamu yang keroncongan, tetapi lantaran sajiannya yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat sangat Instagrammable. Pada saat itu lah ritual foto-foto dimulai. 

Akun-akun yang membagikan foto-foto makanan estetik mulai bertebaran. Tagar #FoodPorn pun mewarnai linimasa media sosial, khususnya Instagram. Eksistensi influencer juga mendorong restoran guna meracik resep yang secara estetika amat menarik, meski tidak selalu memuaskan lidah dan perut.

Istilah "food porn" telah ada sejak akhir 1970-an untuk menggambarkan impresi atau tampilan menu makanan yang amat menggiurkan alias estetik, di luar batas makanan yang seharusnya.

Dengan kata lain, gambar makanan bisa menjadi pornografi kala ia menunjukkan dekadensi visual yang sepenuhnya dihilangkan dari fungsi utama makanan itu sendiri, yakni memenuhi nutrisi. Kenyang di mata, tetapi belum tentu bisa memenuhi nutrisi tubuh.

Foto-foto makanan yang kamu unggah dalam media sosial dapat mengundang bermacam reaksi, asumsi, dan penilaian. Ia pun diunggah untuk beragam tujuan. Sering kali, impresi makanan digunakan sebagai medium dalam mengutarakan kemampuan finansial dan status sosial.

Sebab, ada kecendrungan orang-orang akan lebih memilih untuk memposting makanan restoran dengan menu-menu mahalnya dibanding dari rumah makan sederhana yang murah meriah.

Foto-foto itu memang dapat membuat hidup kamu terkesan lebih menarik dan diinginkan. Apalagi, makanan estetik yang telah kamu unggah menjadi viral.

"The Last Supper" (1498) karya Leonardo da Vinci. | Sumber commons.wikimedia.org

Sayangnya, kebiasaan mengunggah foto makanan ini bisa merugikan. Peneliti dari AS menemukan bahwa melihat foto-foto makanan dapat membuat makanan itu tidak terlalu nikmat lagi untuk disantap.

Profesor Joseph Redden dari Sekolah Manajemen Brigham Young University (BYU), AS, menemukan, ekspos terlalu berlebihan pada gambar makanan bisa memengaruhi kepuasan seseorang saat menikmati jamuan makan.

"Ketika kita mengunggah foto, kita pada dasarnya harus memfokuskan perhatian pada sesuatu dalam gambar, walau hanya melihat sekilas. Hal ini bisa berefek pada kenikmatan berikutnya," ungkapnya.

Konten dalam akun Instagram, katanya, dapat memicu seseorang berpikir untuk memakan makanan tersebut atau sajian menjadi lebih istimewa hanya karena ia masuk kualifikasi untuk diunggah.

"Namun, jika kita menghabiskan terlalu banyak waktu untuk melihat-lihat foto makanan, makalah kami menyimpulkan, itu dapat menimbulkan rasa kenyang. kamu sudah sedikit bosan dengan makanan itu sebelum kamu mulai memakannya," kata Profesor Joseph.

Hasil yang berlawanan justru didapatkan studi yang pernah dipublikasikan dalam Journal of Consumer Marketing. Studi itu menemukan bahwa mengambil gambar sebelum jamuan makan betul-betul bisa membuat makanan terasa lebih enak.

Terlepas dari apakah makanan itu sehat atau tidak, fotografi makanan akan bermuara pada proses yang sama: kamu berinteraksi dengan apa yang ada di atas piring. Ada sudut kamera, pencahayaan, komposisi, serta posisi alat makan yang perlu diatur.

Semua aktivitas itu membutuhkan waktu yang bakal menunda proses makan serta membangun antisipasi untuk apa yang akan datang. Ketika kamu akhirnya akan mengambil gigitan pertama, pengalaman itu terasa lebih manis.

Hubungan antara peningkatan kepuasan dan fotografi menyibak alasan mengapa orang yang sudah terbiasa dengan ritual itu akan cenderung mengeluarkan gawai ketika sedang berada di tempat makan.

Beberapa orang yang gemar menyimpan buku harian berupa fotografi makanan dan mempostingnya dalam media sosial ternyata tak mengejutkan psikoterapis.

"Dalam alam bawah sadar, makanan sama dengan cinta karena makanan adalah hubungan terdalam dan paling awal kita dengan pengasuh kita," kata Kathryn Zerbe, psikiater spesialis dalam gangguan makan dan fiksasi makanan di Oregon Health and Science University of Portland.

“Jadi masuk akal jika orang ingin menangkap, mengoleksi, membuat katalog, menyombongkan diri, dan memamerkan makanan mereka.”

Karena sudah terbiasa memfoto makanan dan memperoleh kepuasan darinya, akan ada sesuatu yang hilang kala kebiasaan itu tidak dilakukan. Nah, di sanalah letak bahayanya.

Memotret makanan bisa berubah menjadi patologis kala kebiasaan itu mengganggu karier dan hubungan atau ada kecemasan yang timbul saat tidak melakukannya.

"Saya harus bertanya apakah mereka akan merasa baik-baik saja jika mereka tak melakukannya (memfoto makanan)," ucap Tracy Foose, psikiater di University of California, AS, yang merawat pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. "Bisakah mereka menahan keinginan untuk melakukannya?"

Kebiasaan foto sebelum makan banyak disukai oleh pengusaha rumah makan lantaran aktivitas itu dianggap mampu mempromosikan bisnis mereka, seperti yang lazim dijumpai di Indonesia.

Akan tetapi, kebiasaan itu ternyata tak selalu dapat diterima. Sejumlah tempat makan di Prancis serta New York telah melarang penggunaan kamera di dalam restoran yang mereka kelola. Mereka menilai kebiasaan itu bisa mengganggu pelanggan lain saat tengah menikmati makanannya.

Mungkin, memotret makanan kini telah menjadi hobi yang menyenangkan bagi kamu. Namun, jangan sampai ritual itu justru membayakan dirimu sendiri atau bahkan bisa mengganggu kenyamanan orang-orang di sekitar kamu, ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun