Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Usar-usir Peserta Rapat, Drama ala Wakil Rakyat

17 Februari 2022   12:33 Diperbarui: 18 Februari 2022   11:18 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anggota DPR yang doyan tidur siang saat sidang, tetapi gemar mengusir peserta rapat. | (Kompas/Dani Prabowo)

Lagi-lagi, drama mewarnai rapat antara Anggota DPR dan mitra kerjanya selama masa sidang 2022. Mereka bahkan tidak segan-segan melabrak hingga mengusir mitra kerja mereka dari ruang rapat.

Insiden ini semakin menambah panjang rekam jejak negatif anggota dewan. Pada 2017 lalu, misalnya, anggota dari Komisi III Fraksi PDIP, Arteria Dahlan, memaki jajaran Pimpinan KPK saat rapat karena tidak memanggilnya "yang terhormat".

Seolah-olah telah menjadi tradisi, drama yang sama kembali lagi terulang. Pada 13 Januari 2022, Pimpinan Komisi III DPR RI mengusir Komnas Perempuan dari rapat kerja lantaran terlambat hadir.

Menyikapi aksi itu, Komnas Perempuan mengaku terjadi miskomunikasi dengan Komisi III. Sayangnya, Anggota DPR tak menerima alasan yang mereka utarakan.

Setali tiga uang. Sekjen Kemensos, Harry Hikmat, mengalami nasib serupa. Ia juga diusir dari rapat DPR. Masalahnya sangat remeh. Harry dianggap mengirim pesan (WhatsApp) yang kurang pantas kepada Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily, yang terungkap tatkala sidang berlangsung.

Insiden itu sampai menyeret Menteri Sosial, Risma, yang bersedia meminta maaf dengan cara apa pun. Meskipun harus bersimpuh, duduk di bawah, dia mengaku siap melakukannya.

Yang terbaru, Direktur Utama Krakatau Steel (Persero) Tbk, Silmy Karim, juga turut terusir dari rapat bersama Komisi VII DPR dalam agenda dengar pendapat (RDP) pada Senin, (14/2/2022).

Silmy diusir kala terjadi perdebatan soal pabrik untuk blast furnace. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Bambang Haryadi, menyebut kalimat "jangan maling teriak maling" yang membuat Silmy bereaksi.

Respons Silmy yang menyela Bambang ketika tengah berbicara, dianggap tidak menghargai ruang sidang lantaran tak mengindahkan kaidah persidangan.

"Anda tolong ini dulu, hormati persidangan ini. Ada teknis persidangan. Kok kayaknya Anda nggak pernah menghargai Komisi. Kalau sekiranya Anda nggak bisa ngomong di sini, Anda keluar!" kata Bambang.

Dia dinilai telah menentang Komisi VII. Silmy, yang menjelaskan bahwa dirinya tak bermaksud seperti yang dituduhkan, lantas diusir dari ruang rapat parlemen.

Keempat insiden itu hanyalah sekian di antara puluhan drama pengusiran yang sempat dilakukan oleh anggota dewan. Aksi itu tentu menimbulkan pertanyaan besar, mengapa wakil rakyat kita terlalu mudah mengusir mitra kerjanya?

Apabila diamati, insiden pengusiran itu memiliki satu kesamaan, yakni peserta sidang dianggap tidak menghargai atau menghormati para Anggota DPR, yang sudah jelas-jelas terhormat itu. Apalagi, mereka bertindak sebagai tuan rumah.

Namun, bila posisinya dibalik, sudahkah wakil rakyat kita menghargai rapat atau sidang yang seharusnya mereka hadiri?

Anggapan yang acap beredar di tengah masyarakat menyebut bahwa Anggota DPR masih sering telat, bahkan bolos menghadiri rapat. Agaknya, asumsi itu bukanlah tudingan yang tak berdasar.

Pada Mei 2021, misalnya, ada setidaknya 264 Anggota DPR tak hadir dalam Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan V periode 2020–2021 yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat kala itu, Muhaimin Iskandar, menyebut, hanya 311 orang saja yang hadir. Adapun jumlah seluruh anggota DPR mencapai 575 individu. Hanya 65 orang saja yang hadir secara fisik di Kompleks Parlemen akibat pembatasan pandemi Covid-19.

Kendati rapat hanya diagendakan secara virtual dan bisa dilakukan di rumah, hal itu tak semerta-merta membuat mereka merasa memiliki kewajiban untuk hadir. Terbukti ada 264 wakil rakyat kita yang bolos saat itu.

Apa hanya dalam rapat itu saja gedung DPR banyak menyisakan kursi kosong? Oh, tentu saja tidak.

Pada Rapat Paripurna yang membahas mengenai APBN Tahun Anggaran 2020, pada 22 Agustus 2019, menurut laporan Suara.com, hanya 60 anggota DPR saja yang menampakkan batang hidungnya.

Padahal, jika merujuk absensi yang ada, sebanyak 303 anggota dewan dari total 560 telah membubuhkan tanda tangan kehadiran. Lalu, ke manakah 500 wakil rakyat kita yang tak hadir secara fisik?

Fakta-fakta itu sangat bertolak belakang dengan sikap anggota dewan yang begitu gemar mengusir mitra kerjanya, dengan dalih tak menghormati jalannya agenda. Padahal, mereka sendiri kerap kali tidak menaruh hormat terhadap amanah yang diberikan oleh masyarakat.

Kecendrungan mereka yang hobi marah-marah juga menunjukkan kalau anggota dewan tidak bisa mengelola komunikasi dan emosinya tatkala rapat berlangsung. Apalagi, pola komunikasi serta kontrol emosi acap kali menentukan hasil rapat.

Normalisasi pengusiran seperti itu justru berpotensi menghambat jalannya sidang serta fungsi dan tugas DPR. Tradisi buruk itu pada akhirnya bisa merugikan mereka sendiri karena agenda yang berlangsung tak menghasilkan apa-apa selain adanya keributan dan naiknya tensi darah.

Terlebih lagi, mereka yang menghadiri rapat sejatinya ialah orang-orang yang diundang oleh anggota dewan. Mereka sendiri yang mengundang, tetapi pada saat yang sama, mereka juga lah yang mengusir tamunya.

Apakah sikap itu sudah mencerminkan budaya Indonesia yang melayani tamu dengan baik? Bukankah tamu itu raja?

Meski dirugikan akibat rapat mangkrak di tengah proses, ternyata mereka juga diuntungkan dari dana rapat yang telah dialokasikan. Selain gaji serta sejumlah tunjangan, penghasilan anggota dewan juga berasal dari uang rapat senilai Rp2 juta per sidangnya!

Uang sidang itu dihitung per kehadiran anggota setiap rapat. Bila dalam sehari hanya menghadiri satu kali sidang dan selama sebulan ada 22 kali, maka total uang sidang wakil rakyat adalah senilai Rp44 juta per bulan. Lumayan, bukan?

Mereka yang telah diusir nantinya akan diundang kembali dalam agenda sidang ulang. Artinya, semakin berlarut-larut jalannya suatu rapat akan berimplikasi pada membengkaknya anggaran belanja negara khusus DPR. Ya, lagi-lagi, uang rakyat yang dijadikan sebagai setoran.

Dampak selanjutnya, produk hukum dan kebijakan esensial, khusunya berkaitan dengan hajat hidup rakyat, pun nantinya akan turut mangkrak. Siapa yang rugi?

DPR edisi 2019-2024 selama ini seakan-akan hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah guna memuluskan berbagai agenda dan kepentingan. Mereka tampak garang di hadapan mitra kerja, tetapi ciut di depan pemerintah. Sikap kritis mereka seketika hanyut oleh arus kepentingan.

Menyikapi soal itu, Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) memberi catatan kritis terhadap kinerja anggota DPR sepanjang tahun 2021 yang dinilai kurang memuaskan. Mereka menyoroti proses legislasi oleh DPR yang berjalan "kilat" tanpa adanya perdebatan.

Hal itu, bagi Formappi, menunjukkan DPR saat ini tidak memiliki daya kritis. Fraksi-fraksi di parlemen dikendalikan pemerintah sehingga kebijakan yang dirumuskan terlalu terburu-buru, tidak berdampak luas pada masyarakat.

Pengambilan kebijakan yang kilat di satu sisi menunjukkan efektifitas. Namun, di sisi lain, hal itu juga menunjukkan bahwa anggota dewan tidak menjalankan tugas dengan cukup baik. Dampaknya, kualitas produk kebijakan mereka akan tereduksi.

Sikap DPR yang terlihat tegas, kritis, dan disiplin kepada mitra hingga melakukan aksi pengusiran juga akan dibandingkan dengan kinerja mereka, yang mana acap kali tidak sepadan.

Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, sejak dilantik, DPR baru berhasil menuntaskan sebanyak empat dari total 248 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020–2024.

Catatan kinerja DPR periode 2019-2024 bisa menjadi yang terburuk sejak rezim Reformasi. Pasalnya, capaian DPR edisi 2019-2024 dalam urusan legislasi lebih rendah ketimbang periode sebelumnya. Adapun kinerja legislasi DPR edisi 2014-2019 telah menuntaskan 16 RUU selama dua tahun awal masa bakti.

Fakta itu tentu tak sejalan dengan sikap yang ditunjukkan oleh wakil rakyat kita selama ini yang cenderung gila hormat, reaktif, dan manja.

Sampai di sini, siapakah yang sejatinya lebih pantas untuk diusir dari gedung yang dibangun dengan uang rakyat itu?

Dalam tugas dan fungsinya menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat DPR, kapasitas Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) saya pikir sangat esensial untuk menekan tindakan yang kurang subtansial yang dilakukan anggotanya.

Evaluasi terhadap sikap anggota dewan kiranya perlu dilakukan agar DPR dapat menjadi sebuah wadah yang betul-betul merepresentasikan suara rakyat, yang benar-benar memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Perlukah DPR diawasi pihak independen agar kinerja anggota dewan bisa dinilai oleh entitas yang tidak terkait langsung dengan Senayan, sehingga bisa terbebas dari konflik kepentingan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun