Flake saat ini tengah dalam pembicaraan serius dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Ia meminta izin agar dapat mulai menguji rahim buatan pada embrio manusia sungguhan. Bila berjalan sesuai rencana, masih butuh sepuluh tahun atau lebih untuk mengembangkan piranti canggih itu sepenuhnya.
Serupa dengan apa yang dilakukan oleh Flake, ilmuwan di China pun kini sedang membangun teknologi yang sama. Pada 1 Februari 2022, mereka dilaporkan tengah menguji rahim buatan pada embrio tikus. Mereka bahkan menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) guna memantau kondisi embrio secara simultan.
Lewat rahim buatan, seorang perempuan akan dapat memiliki anak sendiri, tanpa harus melalui kehamilan atau dengan ibu pengganti lewat bayi tabung. Ketimbang mengandung selama sembilan bulan, janin bisa dipindah ke rahim buatan yang akan memberikan kondisi rahim yang sehat bagi bayi.
Teknologi ini memungkinkan perempuan dengan kondisi medis tertentu untuk bisa memiliki anak. Selain itu, rahim buatan juga memungkinkan kaum Hawa untuk mempertahankan kemandiriannya sebab mereka tidak perlu susah payah lagi mengandung, terlebih bagi perempuan pekerja.
Namun, di sisi lain, perangkat itu dapat menimbulkan masalah etika, termasuk pertanyaan mengenai apakah rahim artifisial bisa diterima untuk diuji pada manusia sungguhan. Biar bagaimanapun, sentuhan seorang ibu sampai kapan pun tidak akan bisa digantikan oleh mesin.
There are fields, Neo, endless fields where human beings are no longer born. We are grown. - Morpheus
Pada masa depan, ladang janin yang pernah kita tonton dalam "The Matrix", bisa jadi akan segera menjadi kenyataan. Alih-alih dilahirkan, bayi-bayi manusia akan diternakkan di dalam kepompong dengan skala industri. Keren atau ngeri?
Hingga di sini, yang sejatinya paling saya khawatirkan bukanlah ide rahim artifisial atau menurunnya populasi Homo sapiens, melainkan merosotnya daya dukung lingkungan, yang pada akhirnya juga akan memusnahkan seluruh peradaban.
Idealnya, kemajuan teknologi bisa sejalan dengan perilaku kita dalam menghargai alam dengan keanakaragaman hayatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H