Di tengah ancaman penyusutan populasi pada akhir abad ke-21, muncullah ide 'gila' di kalangan para ilmuwan: rahim artifisial.
Tak ada satu pun yang abadi. Runtuhnya peradaban umat manusia tidak akan bisa dihindari. Narasi sejarah telah mencatat runtuhnya peradaban kuno yang pernah menapakkan kakinya di atas kerak bumi.
"Peradaban besar tidak dibunuh. Mereka mencabut nyawanya sendiri," tulis sejarawan asal Inggris, Arnold Toynbee, dalam magnum opus berjudul "A Study of History". Buku yang dirilis pada 1934 itu mengisahkan jatuh bangunnya berbagai peradaban manusia pada masa lampau.
Dalam beberapa poin, dia mungkin benar bahwa peradaban kerap kali bertanggung jawab atas kemundurannya sendiri. Akan tetapi, pemusnahan peradaban lazimnya disebabkan oleh sejumlah faktor lain.
Kekaisaran Romawi, misalnya, menjadi korban dari beragam penyakit peradaban, seperti ekspansi berlebihan, perubahan iklim, degradasi lingkungan hidup, serta kepemimpinan yang buruk. Akan tetapi, Romawi baru benar-benar lenyap ketika Roma diserang oleh bangsa Visigoth dan Vandal pada abad kelima.
Hal serupa juga menghantam Majapahit yang dahulu pernah disegani kerajaan-kerajaan di Asia. Namun, usai menginjak usia sekitar dua abad, kerajaan Nusantara itu pun akhirnya tidak kuasa melawan gempuran takdir.
Usai sepeninggal Hayam Wuruk, takhta Majapahit berkali-kali berganti. Konflik internal imperium memicu peperangan serta mempercepat runtuhnya kerajaan yang nyaris menguasai seluruh tanah di Nusantara dan beberapa wilayah di Asia Tenggara.
Meskipun tidak ada teori tunggal yang disepakati mengenai misteri runtuhnya peradaban, sejarawan serta antropolog mengusulkan sejumlah faktor, seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, serta ketidaksetaraan dan oligarki.
Di luar ketiga faktor itu, sejatinya masih banyak variabel lain yang dapat memicu lenyapnya peradaban. Yang jelas, semua faktor itu bisa berkontribusi. Runtuhnya peradaban merupakan sebuah fenomena titik kritis, tatkala tekanan melampaui kapasitas masyarakat untuk bertahan.
Adagium Prancis menyebut "l'histoire se repete", artinya sejarah seperti selalu berulang. Apa yang saat ini kita hadapi, dahulu sudah pernah dialami oleh para pendahulu kita. Demikian pula dengan jalannya peradaban manusia.