Konsep itu amat identik dengan Doktrin Pengulangan Abadi yang ditulis dalam berbagai bentuk sejak masa kuno. Lalu, dijelaskan ulang pada abad ke-19 oleh Heinrich Heine dan Friedrich Nietzsche, yang berbunyi: sejarah berulang dengan sendirinya.
Gejala pengulangan sejarah pun telah menampakkan tajinya ketika negara di seluruh dunia diterjang pandemi Covid-19 yang mana menjadi repetisi pandemi pada masa lalu, seperti Black Death dan Flu Spanyol.
Merujuk data Woldometers, tercatat ada 5,7 juta lebih kasus kematian akibat virus corona. Walaupun tidak sedramatis Black Death, pandemi Covid-19 sudah lebih dari cukup mengakibatkan penyusutan populasi di beberapa negara. Â
Ketegangan dan konflik antar-negara yang sewaktu-waktu bisa menjelma jadi peperangan pun dapat memungkinkan keruntuhan peradaban. Setidaknya akan mengurangi populasi sebagai akibat dari krisis dan jatuhnya banyak korban jiwa.
Penurunan populasi ini sejatinya menjadi kabar baik untuk lingkungan karena akan ada sedikit orang yang menghasilkan gas rumah kaca dan polutan lain. Akan tetapi, pada saat yang sama, nasib manusia juga berada dalam ancaman serius.
Sayangnya, saat ini dunia masih belum siap menyikapi penurunan tajam angka kematian. Terlebih, sejumlah peneliti telah memprediksi angka kelahiran akan menurun signifikan pada masa depan.
Sebuah penelitian baru menunjukkan era peningkatan populasi manusia mungkin akan segera berakhir, dengan implikasi besar bagi masyarakat global, ekonomi, dan ekologi.
Studi Jurnal The Lancet memperkirakan populasi dunia bisa mencapai sekitar 9,7 miliar pada tahun 2064, naik dari sekitar 7,8 miliar angka saat ini. Sebelum lantas menyusut signifikan menjadi 8,8 miliar pada akhir abad ini.
Studi Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) itu bertentangan dengan perkiraan Divisi Kependudukan dari PBB–yang memprediksikan bahwa populasi pada 2100 akan mencapai 10,9 miliar, dan akan terus meningkat.