"Beri aku 10Â pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."
Orasi presiden pertama RI, Ir. Soekarno, yang dilontarkan dengan semangat yang menyala-nyala itu menunjukkan betapa krusialnya peran generasi muda bagi kemajuan sebuah peradaban.
Generasi muda, di hadapan Sang Putra Fajar, merupakan tonggak yang akan memimpin bangsa Indonesia pada masa depan. Di tangan anak-anak muda lah tongkat estafet kepemimpinan Negara Kesatuan Republik Indonesia berada.
Jatuh bangunnya sebuah bangsa akan sangat bergantung pada bagaimana para pemudanya menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Mereka begitu diandalkan lantaran mempunyai karakteristik semangat yang berapi-api, revolusioner, dan penuh idealisme.
Adapun dalam konteks Pemilu Serentak 2024, kesuksesan Pemilu bukan hanya berada di tangan penyelenggara Pemilu, melainkan juga seluruh komponen masyarakat yang terlibat aktif dalam semua tahapan, termasuk di antaranya kalangan pemuda.
Merujuk pada data sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi generasi Z (gen Z) mencapai 75,49 juta jiwa (27,94%). Sementara, generasi milenial mencapai 69,90 juta jiwa (25,87%). Data itu menunjukkan bahwa arah gerak bangsa akan sangat ditentukan oleh anak-anak muda.
Meminjam klasifikasi kelompok penduduk versi William H. Frey, gen Z adalah mereka yang terlahir dalam kurun tahun 1997-2012 (usia 9-24 tahun). sedangkan generasi milenial terlahir dalam kurun tahun 1981-1996 (usia 25-40 tahun).
Dari sana saya meyakini, sebagian besar pembaca artikel ini berada dalam rentang kedua kategori usia tersebut, yang bakal menjadi rebutan dan agen perubahan pada Pemilu 2024. Jadi, kalian lah anak muda yang dimaksud oleh Bung Karno beberapa dekade silam. Anak-anak muda yang kelak akan mengguncangkan dunia.
Dibanding dengan generasi sebelumnya, partisipasi politik generasi milenial memiliki karakteristik unik. Bentuknya tak harus bergabung dengan parpol atau terlibat arus politik praktis. Menurut Ariadne Vromen (2017), ada tiga bentuk karakteristik partisipasi politik milenial.
Pertama, terpicu oleh isu (issue-driven). Apa pun yang tengah viral di internet bisa dijadikan bahan diskusi bagi generasi milenial. Isu-isunya variatif, mulai dari soal perubahan iklim, identitas, gender hingga isu yang menyangkut diri sendiri.
Kedua, menggunakan pendekatan digital. Kaum milenial amat aktif di jagat media sosial sebagai wujud keterlibatan dalam proses politik. Bisa berupa petisi daring, penggalangan donasi, atau bergabung dengan forum diskusi. Dunia digital menjadi ekosistem yang mengundang gairah generasi milenial untuk terjun ke dalam proses politik.
Ketiga, cenderung individualis. Sifat individualis milenial tergolong tinggi kendati mereka sering menunjukan rasa kepeduliannya kepada masyarakat lewat media digital. Sifat itu lah yang membuat partisipasi politik milenial ini terkesan pro pada kebebasan dan kemandirian. Namun, di sisi lain menjadi sulit untuk dikontrol.
Generasi milenial memang masih mau berpartisipasi dalam proses politik. Mereka bersedia mengikuti Pemilu, berdiskusi, terlibat polemik dalam soal kebijakan publik, dan lain-lain. Namun, ada kecenderungan bahwa milenial juga memiliki fokus individualistik. Faktor itu lah yang mungkin membuat mereka tak terlalu greget dalam ruang politik praktis.
Sebagai kelompok usia dengan populasi terbesar di Tanah Air, gen Z dan milenial juga diidentikkan dengan predikat kaum rebahan. Sebab, mereka telah dibesarkan dengan kemajuan teknologi digital yang memanjakan mereka, tanpa perlu susah-susah beranjak dari haribaan ranjang.
Dengan kuantitasnya yang begitu besar, sulit disangkal, kaum rebahan akan mendominasi sekaligus menentukan perolehan suara pada kontestasi yang akan digelar tepat pada Hari Valentine 14 Februari 2024 mendatang.
Secara kuantitatif, kaum rebahan akan menjadi sasaran ceruk suara bagi parpol untuk meraup simpati serta dukungan. Oleh karena itu, adalah wajar jika parpol berlomba-lomba membangun citranya sebagai partai generasi muda.
Apalagi, mayoritas kaum rebahan adalah swing voters atau kategori pemilih rasional yang bisa mengubah pilihannya sesuai dengan minat, ide, atau gagasan tertentu.
Meski begitu, hal tersebut tidak mudah lantaran pemilih dari kaum rebahan memiliki karakter yang relatif berbeda dengan pemilih umumnya. Diperlukan pendekatan dan strategi khusus agar pemilih kaum rebahan bisa menjadi simpatisan partai tertentu.
Sebut saja PSI yang mengusung spirit generasi muda dalam Pemilu sebelumnya, telah terbukti gagal dalam meraup suara signifikan. Artinya, hanya bermodalkan spirit anak muda saja tidak cukup. Dibutuhkan adanya ide, gagasan, dan trobosan baru yang menyertainya.
Medium kampanye dengan cara menebar baliho di segala penjuru yang dilakukan oleh sejumlah tokoh partai pun sudah dianggap usang. Alih-alih meraup dukungan dan elektabilitas, tren seperti itu justru berakhir tragis. Baliho-baliho mereka hanya menjadi bahan lelucon berupa meme di media sosial.
Generasi rebahan adalah mereka yang lahir setelah rezim Orde Baru tumbang. Mereka yang terlahir usai periode 1998, tidak terlalu familier dengan nuansa perpolitikan Orde Baru yang kerap kali memanfaatkan medium kampanye fisik sebagai amunisi.
Pada masa Orde Baru, PDIP, Golkar, dan PPP banyak diuntungkan oleh pemilih tradisional (baby boomers) yang terbiasa dengan media konvensional. Berbeda dengan kaum rebahan yang lebih akrab dengan era digital. Mereka cenderung menilai media kampanye fisik kurang menarik karena minim esensi dan sudah ketinggalan jaman.
Atas dasar itu, saya memprediksikan partai-partai baru akan mencoba untuk menggoyang dominasi partai-partai pendahulunya guna merebut dukungan dari kaum rebahan. Mereka bakal saling berebut untuk merekrut anak-anak muda sebagai pondasi partai pada masa depan. Tentunya dibutuhkan strategi yang lebih revolusioner. Tak hanya sekadar baliho.
Peran dalam Pemilu
Selain sebagai ceruk suara, peran kaum rebahan juga masih dibutuhkan dalam pengawasan partisipatif pada Pemilu Serentak 2024 nanti. Harapannya, anak muda tidak hanya mengisi kehadiran dalam pencoblosan saja, tetapi juga terlibat aktif pada pengawalan proses pemilihan sejak Pemilu atau Pilkada dimulai.
Banyak hal dalam tahapan Pemilu yang amat krusial untuk diawasi, mulai dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, pemungutan, penghitungan, hingga rekapitulasi suara.
Peran mereka makin vital mengingat besarnya jumlah TPS di Indonesia dengan dua kompetisi politik sekaligus. Napas segar anak muda bisa menjadi solusi agar Pemilu serta Pilkada 2024 mendatang tidak berubah menjadi tragedi layaknya Pemilu Serentak 2019 lalu.
Akan tetapi, lagi-lagi, membangun kolaborasi pengawasan dengan anak muda bukanlah hal mudah. Umumnya, mereka tidak terlalu tertarik dengan politik dan isu ke-Pemilu-an.
Hal itu juga diperkeruh dengan fakta bahwa atmosfer perpolitikan nasional belum cukup bersahabat bagi kaum rebahan. Terlebih lagi, pemerintahan belum banyak diisi anak-anak muda, yang selanjutnya membuat mereka bersikap apatis dan apolitis.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) hendaknya menciptakan ruang yang lebih menarik bagi kaum rebahan. Salah satunya dengan cara merangkul anak muda dalam setiap tahapan dan melakukan digitalisasi terhadap alat-alat penyelenggaraan dan pengawasan Pemilu.
Sistem digitalisasi alat Pemilu tersebut amat relevan dengan kondisi anak muda yang mendominasi dunia teknologi dan informasi dalam era digital. Sehingga, kaum rebahan akan berangsur-angsur tertarik untuk melibatkan diri secara aktif dalam jagat perpolitikan dan mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Peluang bagi Kontestan
Selain diidentifikasi dari segi umur, label kaum rebahan juga merujuk pada individu yang lebih gemar bersantai dan berbaring di atas kasur daripada mengisi waktunya dengan hal-hal positif dan produktif.
Mereka tidak begitu berminat terhadap segala tetek bengek yeng berhubungan dengan politik. Mereka pun lebih sibuk dengan dunianya sendiri sehingga tidak terlalu peduli dengan kondisi politik negara. Sebab, menurut mereka, politik hanyalah bualan yang tidak berdampak signifikan bagi diri mereka.
Dengan sikap apatis yang dimiliki, kaum rebahan cenderung antipati dengan Pemilu, apalagi kalau mereka masih disuguhi dengan sandiwara politik, media kampanye usang, serta konten hoaks soal politik. Pasalnya, hal-hal itu lah yang bikin mereka makin jengah dengan hal-hal berbau politik hingga memutuskan untuk golput.
Menurut data KPU, tren golput konsisten mengalami kenaikan dari masa ke masa, yakni 23,30% pada Pilpres 2004, 27,45% pada 2009, dan 30,42% pada 2014. Hanya Pilpres 2019 saja yang mengalami penurunan sejak era pascareformasi. Menurut hasil hitung cepat LSI, data golput pada Pilpres 2019 hanya 19,24%.
Saya meyakini, jika tidak ada terobosan baru dari pihak partai, tren golput akan kembali naik pada Pemilu Serentak 2024. Pasalnya, sebagian besar konstituen Pemilu adalah kaum rebahan yang tak begitu tertarik dengan politik.
Kekosongan minat pada politik yang menyeruak dalam kelompok swing voters itu lah yang harus dimanfaatkan oleh setiap kontestan Pemilu 2024. Mereka harus meracik strategi revolusioner guna memperoleh suara dari kelompok anak muda itu. Perbaikan terhadap isu-isu penting yang menyita perhatian kaum rebahan juga perlu disikapi serius.
Ketika ingin menarik simpati anak muda, maka harus menyelam ke dalam dunia mereka. Dunia anak muda saat ini berada di jagat media sosial dan komunitas-komunitas dengan minat tertentu.
Isu-isu kekinian yang lebih sensitif bagi kaum pemuda seperti isu lapangan kerja, kesetaraan gender, keamanan digital, enterpreneneur, dan lingkungan hidup, harus betul-betul digarap serius oleh pengurus partai jika ingin meraup suara dari pemilih pemula.
Kreativitas dalam memanfaatkan media digital juga sangat menentukan karena kaum rebahan cenderung lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengakses apa pun secara daring dan serba instan.
Adapun terkait dengan pemilihan waktu penyelanggaran yang bertepatan dengan Hari Valentine, saya tak yakin kebijakan itu akan memberikan dampak signifikan pada partisipasi politik kaum rebahan. Isu-isu yang telah saya uraikan lah yang agaknya akan memantik gairah mereka untuk berbondong-bondong datang ke TPS serta terlibat dalam proses politik.
Sudah tepat apa yang dilontarkan oleh Bung Karno. Kaum rebahan lah yang bakal mengguncangkan dunia atau setidaknya mengguncang moral para kontestan Pemilu 2024 jika tak mampu merebut simpati dan dukungan mereka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H