Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Berbahasa Inggris Tak Perlu Keminggris

15 Januari 2022   14:30 Diperbarui: 18 Maret 2022   17:27 1802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Itu question-nya, kayak rada gimana, gitu. Kayak. Kenapa lo? So there's nothing to like about me? Gitu, kayak. You guys can't see it. About his penjelasan. Yaudah. Thank you, Guys," ucap seorang anak Jaksel.

Oke, terima kasih kembali, Gaes. Hah, gimana, gimana? Ngomong apa, sih?

Jika para pembaca paham dengan konteks yang ingin beliau sampaikan, tolong bantu saya untuk memahaminya. Sejujurnya, nalar berbahasa saya berguguran kala ingin mencerna setiap bulir-bulir kata yang beliau utarakan. 

Tanpa membuka Google, saya yakin, Anda akan langsung mengasosiasikan gaya bahasa di atas dengan anak-anak gaul Jaksel (Jakarta Selatan). Kalimat itu saya peroleh dari salah satu video dalam kanal YouTube bertema keminggris.

Tak hanya melakukan pemborosan kata, pembaca pun dibuat bingung dengan ide yang hendak beliau kemukakan. Kalimat yang sebetulnya bisa dengan sangat mudah dipahami, justru dibikin amburadul. Mungkin, beliau termasuk penganut prinsip "kalau bisa ribet, kenapa dibikin mudah"? 

Keminggris adalah gaya berbahasa dengan mencampurkan kata bahasa Inggris dalam kalimat berbahasa Indonesia. Dua ragam bahasa dicampur aduk tanpa susunan kata yang jelas. Makin ngawur, makin tinggi pula derajatnya di hadapan penuturnya.

Bagi pihak yang selalu tertib berkaidah bahasa, otak mereka akan bekerja lebih keras ketika menemukan ragam percakapan yang tidak menaati rambu-rambu linguistik. Apalagi, kata-kata yang digunakan adalah lintas bahasa atau yang dikenal campur kode (code mixing).

Mohon dimaklumi jika emosi mereka menjadi labil saat mendapati gaya bahasa Jaksel bertebaran dalam media sosial. Sebab, saya salah satu dari mereka. Saya pun merasakan kondisi serupa.

Menurut seorang Kompasianer yang berasal dari Jakarta Selatan, yang juga beraksen Jaksel kental, bahasa gado-gado adalah produk akulturasi budaya. Hal itu dipengaruhi hadirnya sekolah internasional bernama Jakarta International School (JIS) pada tahun 1951 silam di kawasan Jaksel.

Melalui proses akulturasi, anak muda lokal yang bertempat tinggal atau yang bersekolah di sana, akhirnya turut terpapar dengan gaya berbahasa keturunan kaum ekspatriat. Terlebih, JIS adalah sekolah internasional yang menjadikan Bahasa Inggris sebagai tutur pengantar (lingua franca).

Kondisi itu didukung oleh tren media massa yang sering menyiarkan berbagai acara bergaya gado-gado. Figur publik, artis, dan pejabat negara juga turut menularkan tren keminggris kepada masyarakat melalui kanal layar kaca.

Dalam konteks bahasa, akulturasi bisa terbentuk akibat pencampuran dua ragam bahasa berbeda, menjadi satu model percakapan. Gaya bahasa itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam budaya aslinya tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.

Lantas, terlahirlah bahasa gaul anak Jaksel yang memadukan ragam bahasa Indonesia, biasanya informal, dengan bahasa Inggris. Keminggris.

Heterogenitas populasi dan pendidikan yang maju, menurut saya, menjadi faktor pendorong lahirnya bahasa gado-gado yang berawal di area Jaksel itu. Dengan banyaknya jenis ras dan pendidikan yang maju, telah membuka peluang masuknya budaya-budaya asing di tengah-tengah masyarakat lokal, termasuk gaya berbahasa.

Proses akulturasi juga bisa terjadi akibat adanya kemajuan zaman dan kebutuhan masing-masing kelompok agar dapat bertahan dan berkembang. Bagi kalangan muda, mengadopsi bahasa asing menjadi sebuah cara agar mereka bisa bertahan dan diterima dalam pergaulan.

Anehnya, jika ditilik dari garis sejarah, seharusnya masyarakat Indonesia lebih dekat dengan bahasa Belanda daripada Inggris. Kependudukan bangsa Belanda di Nusantara selama 346 tahun menjadi alasan utamanya. Namun, masyarakat Indonesia justru lebih rakus menelan bahasa Inggris.

Lain halnya dengan Malaysia dan Singapura yang mempunyai dialek Manglish dan Singlish sebagai produk sampingan akibat penjajahan bangsa Inggris. Akan terkesan janggal saat masyarakat Indonesia memiliki produk dialek serupa. Indoglish, misalnya.

Pakar bahasa Indonesia, Ivan Lanin, menilai gaya bahasa anak Jaksel adalah hal lumrah, terutama untuk anak-anak muda. Pasalnya, gejala keminggris merupakan bagian dari pernyataan identitas. Eksistensinya pun tidak bisa dihindari.

Ada tiga fungsi bahasa secara umum, yakni komunikasi, ekspresi, serta sosial. Bahasa Jaksel telah memenuhi semua unsur itu. Selain sebagai media berkomunikasi, ia juga menjadi alat dalam mengekpresikan diri dan status sosial.

Mereka ingin menunjukkan identitas sosialnya, bahwa mereka memang pantas untuk berada di dalam lingkaran pergaulan yang diikutinya. Ada kecenderungan kaum keminggris menilai bahasa Inggris berada pada level yang jauh lebih tinggi dibandingkan bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah yang mereka anggap berkasta paling rendah.

Asumsi itu ternyata dibenarkan oleh anak Jaksel yang saya hubungi. Bahasa gado-gado dianggap dapat membuat penuturnya menjadi lebih keren, modern, gaul, serta terpelajar. Ada prestise yang ditawarkan di sana.

Namun, ironisnya, kebanggaan untuk menguasai bahasa asing tak diimbangi dengan pemahaman bahasa yang baik. Akibatnya, mereka sering kali kesulitan menjaga keseimbangan berbahasa.

Logika saya, jika berbahasa Indonesia, dalam kapasitas sebagai bahasa ibu, saja belum baik, apalagi berbahasa asing?

Gaya bahasa gado-gado ini pasti menimbulkan korban pada salah satu bahasa yang digunakan. Secara tata bahasa, akan amat sulit mengindari kesalahan dalam praktik bahasa spesies Jaksel. Kutipan pada awal paragraf artikel yang Anda baca ini contohnya.

Namun, mungkin saja mereka justru lebih jago berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia lantaran dididik dalam lingkungan tertentu yang mendukung penggunaan bahasa asing secara aktif dan penuh.

Penulis buku bertajuk "Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?" ini mengisahkan pengalaman temannya yang tinggal di benua Eropa. Akibat wilayah daratan antar-negara yang mereka diami saling berdekatan, masing-masing orang mampu menguasai lebih dari satu bahasa.

"Ya, karena mereka berdekatan, umumnya menguasai lebih dari satu bahasa. Bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Perancis," ujar Ivan Lanin.

Meski terpisah budaya dan negara, hal itu tidak membuat mereka kesulitan guna membedakan setiap kosakata dalam masing-masing bahasa.

Mereka akan berbicara dengan rekannya yang mampu berbahasa Inggris dengan berbahasa Inggris. Bicara dengan teman yang berbahasa Jerman, melalui bahasa Jerman. Mereka bisa memilah mana yang bahasa Jerman dan yang mana bahasa Inggris. Tidak lantas dicampuradukkan.

Menyikapi tren bahasa anak Jaksel, Psikolog Anak dan Remaja, Vera Itabiliana, mengatakan bahwa kata yang diucapkan adalah cerminan dari apa yang sedang dipikirkan.

"Jika seseorang terbiasa berpikir terstruktur atau sistematis, maka biasanya bahasa atau kata yang digunakan juga akan mencerminkan hal itu," ucap Vera.

Hemat saya, perlu adanya penanaman pola pikir yang seimbang dalam berbahasa. Bahasa harus ditempatkan pada habitat yang semestinya. Jika hendak memakai bahasa Indonesia, maka cukup gunakan bahasa Indonesia. Sebaliknya, jika ingin memakai bahasa Inggris, cukup gunakan bahasa Inggris saja. Banyak orang yang jago berbahasa Inggris tanpa harus tampak keminggris.

Jika memiliki cita-cita ingin menguasai bahasa Inggris atau untuk dijadikan bahasa ibu kedua, bukan dialek keminggris yang layak diterapkan. Gunakanlah bahasa Inggris dalam satu kalimat penuh tanpa mencampurkannya dalam kalimat berbahasa Indonesia.

Khusus untuk istilah teknis, mungkin masih bisa dimaklumi karena belum ada padanan kata atau untuk alasan efektivitas. Lantas, untuk apa harus menggunakan bahasa Inggris untuk menggantikan kosakata sederhana?

Saya belum menemukan studi yang membuktikan bahwa penggunaan bahasa gado-gado membuat seseorang lebih cepat menguasai bahasa Inggris daripada yang menggunakannya secara "penuh".

Pun, belum ada bukti ilmiah yang mengungkapkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar bisa menghambat orang untuk menguasai bahasa asing. Justru sebaliknya, kemampuan berbahasa Indonesia sesuai kaidah, akan memudahkan orang menguasai bahasa lain.

Belajar bahasa Inggris agar bisa menguasainya dan berbahasa Inggris untuk kebutuhan sosial tertentu, adalah dua hal yang sama sekali berbeda!

Bila kamu ingin menaikkan status sosial, bergaya keminggris sejatinya bukanlah solusi yang cerdas. Bekerja keras guna mencapai kesuksesan kiranya menjadi jalan keluar yang paling logis dan brilian.

Jika diibaratkan, bahasa gaul anak Jaksel laksana hamburger yang diulek bersama seblak. Saya tidak bisa membayangkan seabsurd apa rasanya. Alih-alih terlihat keren, Kamu justru tampak konyol.

Ingat pesan para pejuang bangsa kita: utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun