Sejelek-jeleknya rumahmu, di sana lah tempat yang paling ramah untuk pulang. Mau sejauh apa pun Kamu pergi, rumah lah ruang bagimu menabung rindu.
Rumah tetap lah rumah tidak peduli jika didirikan di kolong jembatan, di tengah hutan, atau di pinggir kali. Setidaknya ia mampu melindungi dirimu dari guyuran hujan dan sengatan matahari.
Beberapa kalangan bisa membeli istana berfasilitas mewah dengan harga sangat wah. Sementara beberapa sisanya, sudah bersyukur memiliki rumah ala kadarnya di samping bentangan sawah.
Kendati tak dilengkapi jaccuzi, Bang Jali sudah merasa beruntung punya rumah di panggir kali. Tepat di sebelah rumahnya, ada kandang kambing milik sang orangtua. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari kediaman saya di kampung halaman.
Baginya, aroma prengus serta kotoran kambing seakan telah menjadi subtitusi parfumnya sehari-hari. Belum lagi bau air limbah dari saluran pembuangan yang selalu menemani indra penciumannya.
Untungnya, kali di depan rumahnya itu tak pernah banjir kala musim penghujan tiba. Kalau hal itu sampai terjadi, makin ironis saja nasibnya. Semoga saja tidak.
Sebelum mendapatkan bantuan rumah swadaya dari pemerintah, Jali beserta istrinya, Tini, masih tinggal bersama orangtuanya. Karena tak punya lahan, ia mendirikan rumah di atas tanah sisa di belakang rumah orangtuanya itu.
Bang Jali tak memiliki pilihan lain sebab hanya di lahan sempit itu lah dirinya bisa mendirikan istananya sendiri. Jangankan memiliki tanah, mendapatkan pekerjaan untuk mengisi perut keluarga kecilnya saja ia sudah sangat kesulitan.
Setiap musim pengairan sawah tiba, kali di depan rumahnya akan terisi air. Di situ lah tempatnya mengadu nasib bersama alat setrum ikannya yang ditenagai aki. Ia lebih sering memancing kendati hasilnya tak seberapa. Selain aktivitasnya berburu ikan, sesekali ia mendapatkan panggilan guna menjadi supir pengantaran material bangunan.
Dengan hanya bekerja serabutan, punya rumah layak huni di dalam lingkungan yang sehat, hanya akan menjadi angan-angan belaka. Apa yang dirasakan oleh Bang Jali, agaknya juga dialami jutaan saudara kita di luar sana.
Berkat program renovasi Rumah Tak Layak Huni (RTLH) yang diinisiasi oleh pemerintah serta TNI, Bang Jali bisa mendirikan rumah pada 2017 lalu. Karena bantuan yang tiba hanya berupa material bangunan dengan nilai tak lebih dari Rp 3 juta, ia terpaksa harus berutang. Secara total, rumah itu telah menelan dana sekitar Rp 5 juta.
Sesuai tajuk program (swadaya), maka pemerintah hanya akan menyediakan dana senilai pagu yang disediakan. Jika ada kekurangan dana atau material dalam proses pembangunan atau renovasi rumah, para penerima bantuan lah yang harus berusaha secara mandiri.
Berbeda dengan penerima bantuan lain yang memang sudah punya rumah sejak awal, Jali membangun rumah mulai dari nol dengan modal dan bahan bangunan seadanya.
Bangunan dengan luas tidak lebih dari 18 m² (6x3) milik Jali, sebetulnya lebih ideal disebut rumah petak. Secara fisik identik dengan kontrakan bertarif rendah di kota-kota besar. Itu pun tanpa adanya fasilitas kamar mandi dan dapur.
Jangankan barang mewah, televisi pun tidak ada. Hanya radio tua yang menjadi sumber hiburannya saban hari. Adapun untuk keperluan mandi, cuci, kakus, dan memasak, ia masih terus mengandalkan kamar mandi (MCK komunal) dan dapur di rumah orang tuanya.
Bantuan Rumah Swadaya
Hidup sejahtera lahir dan batin, memiliki tempat tinggal di lingkungan yang sehat, merupakan hak dasar setiap warga negara sesuai amanat UUD 1945. Rumah memiliki peran yang krusial dalam pembentukan watak dan kepribadian generasi penerus bangsa.
Dengan demikian, membangun rumah yang layak huni adalah salah satu upaya dalam membangun manusia Indonesia yang utuh, berjati diri, mandiri, dan produktif. Oleh sebab itu, pemerintah sebagai reprensentasi negara harus hadir guna memenuhi hak dasar berupa tempat tinggal bagi warganya.
Pada tahun 2022, Ditjen Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) diganjar anggaran senilai Rp 5,1 triliun. Dari total dana tersebut, akan dialokasikan untuk beberapa program, salah satunya Rumah Swadaya.
Mereka menargetkan 70 persen atau 11 juta rumah tangga akan menghuni rumah layak. Para penerima manfaat akan memperoleh Rp 20 juta (Rp 17,5 juta untuk material dan Rp 2,5 juta untuk upah tukang).
Kabar itu tentu akan membawa angin segar bagi masyarakat kelas bawah yang selama ini belum memiliki rumah layak huni. Selain bertujuan guna mengurangi jumlah RTLH, program itu juga bisa meningkatkan hajat hidup warga yang berhak.
Untuk pagu anggaran Rp 20 juta per rumah, menurut saya, sudah cukup untuk membuat rumah layak huni asal dananya digunakan dengan cermat. Apa yang dilakukan oleh Bang Jali bisa menjadi "pilot project" bahwa dengan dana terbatas sekalipun, warga penerima bantuan bisa mendirikan rumah layak.
Kebijakan pembangunan rumah secara swadaya sejatinya amat menguntungkan penerima bantuan. Dana pembangunan rumah yang dilakukan secara mandiri oleh pemiliknya, lebih murah dibanding dengan yang dikerjakan pihak ketiga (developer).
Sementara itu, khusus untuk Bang Jali, pemerintah harus memasukkan namanya sebagai penerima bantuan. Pasalnya, jika berkaca pada rumahnya yang belum punya fasilitas MCK, dapur, perkerasan lantai, dan plafon, ia masih layak untuk menerima bantuan.
Menurut Kementerian PUPR, masih ada 29,45 juta RTLH di Indonesia. Dengan jumlah RLTH yang semasif itu, tugas pemerintah akan amat berat. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 yang membuat kesehatan finansial negara mengalami "pendarahan" hebat.
Jika APBN negara memang belum cukup mampu untuk menyelenggarakan rumah layak bagi warganya, hendaknya mereka berupaya menggaet donatur swasta atau masyarakat dalam pembiayaan. Negara harus mendorong kolaborasi antara birokrasi, pihak swasta, dan masyarakat.
Pemerintah juga bisa menimbang peluang untuk menggandeng sponsor yang bergerak pada bidang material bangunan. Selain bisa mendapat harga material yang lebih murah, harapannya, mereka juga bisa menjadi sponsor atau donatur tetap dalam program rumah swadaya.
Perusahaan pada bidang lain pun punya peluang yang sama guna dijadikan sebagai ujung tombak dalam program bertajuk Corporate Social Responsibility (CSR) khusus untuk bedah rumah.
Pasalnya, setiap bisnis punya tanggung jawab sosial terhadap masyarakat atau lingkungan di mana mereka berdiri. Sifatnya wajib. Jika tak dilakukan, bisnis mereka akan terancam sanksi. Adapun CSR menjadi salah satu program untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Pengawasan dari pemerintah juga perlu dilakukan agar warga penerima bantuan mendapatkan anggaran serta material bangunan sesuai dengan ketetapan alias utuh. Mereka harus memastikan program itu benar-benar terbebas dari segala jenis praktik pungli dan rasuah.
Jangan sampai rumah yang diharapkan bisa melindungi mereka dari hujan dan matahari, justru akan membahayakan keselamatan jiwa mereka akibat praktik tilap-menilap.
Memiliki rumah layak huni adalah hak dasar setiap warga yang dijamin negara. Dengan demikian, pemerintah wajib mengupayakannya agar warga lapisan bawah bisa menjalani kehidupan dengan lebih sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H