Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

UMP Naik Tak Seberapa, Jomlo Makin Takut Nikah

29 November 2021   12:35 Diperbarui: 29 November 2021   12:56 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan makin sulit dijangkau jomlo akibat UMP naik tipis. | Pexels/Trung Nguyen via Kompas.com

Tak hanya sering memperoleh perlakuan diskriminatif, nasib para jomlo saat ini kian tragis. Kenaikan UMP 2022 yang tak seberapa, bikin niat ijab kabul makin jauh dari kata terkabul.

Pantang janur kuning untuk melengkung sebelum Jepang ditelikung. Barangkali itu lah sumpah yang pernah diikrarkan Bung Hatta dan Tan Malaka. Keduanya berjanji tidak bakal menikah sebelum segala jenis penjajahan musnah dari bumi Nusantara.

"Ia (Tan Malaka) tidak kawin karena perkawinan akan membelokkannya dari perjuangan," ucap SK Trimurti, sahabat dekat Tan Malaka.

Adapun Bung Hatta tetap jomlo sampai usianya menginjak ke-40 tahun, untuk mendedikasikan jiwa dan raganya demi perjuangan bangsa. "Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan," kata Halida Hatta, putri Mohammad Hatta.

Ketimbang mengikuti jejak sahabatnya, Soekarno membabat rimba pemahaman yang sama sekali berbeda terkait konsep kejomloan. Sosok Presiden yang sempat dianggap oleh Gus Dur "gila wanita" itu justru membedah keresahan para jomlo dengan bilah pisau kausalitas.

Bung Karno menyibak kegelisahan para jomlo itu dalam sebuah risalah bertajuk "Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia" pada tahun 1947 silam. Hubungan sepasang manusia yang tak berujung pada jenjang pernikahan disebabkan oleh kapitalisme. 

"Masyarakat kapitalistis zaman sekarang adalah masyarakat yang membuat pernikahan suatu hal yang sukar. Sering kali pula suatu hal yang tak mungkin," tegas Soekarno.

Kapitalisme, menurut Sang Putra Fajar, adalah buah pergaulan hidup yang lahir dari sistem produksi yang mensegregasi pekerja dari alat-alat produksi. Adapun sektor produksi akan selalu dikuasai oleh kaum pemilik modal. Dengan demikian, kapitalisme akan membuat setiap hasil "kerja keras" mustahil untuk dinikmati oleh kaum buruh.

Sementara itu, dalam orasinya bertajuk "Indonesia Menggugat" yang dia anggit pada tahun 1930, Soekarno menegaskan, kapitalisme ialah cikal bakal penindasan manusia atas manusia atau imperialisme modern. Adapun dalam "Fikiran Ra'jat" 1932, dia menyebut, kapitalisme sebagai pintu gerbang menuju Verelendung alias sumber kesengsaraan.

"Itulah kapitalisme, yang ternyata menyebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan-tarif, peperangan. Pendek kata, menyebabkan rusaknya susunan dunia yang sekarang ini," tulis Bung Karno.

Lantas, apa korelasi kapitalisme dengan relasi asmara kaum jomlo? Bung Karno mengatakan perjuangan hidup anggota masyarakat dalam mencari nfkah, amat berat. Banyak pemuda yang tidak berani nikah lantaran kekurangan penghasilan. Baginya, perkawinan seolah-olah hanya menjadi privilese untuk kalangan yang memiliki kemampuan finansial mapan.

"Siapa yang belum cukup nafkah, ia musti tunggu sampai ada sedikit nafkah, sampai umur tiga puluh, kadang-kadang sampai umur empat puluh tahun," kata Sukarno. Padahal, menurut Bung Karno, pada periode itu, seksualitas para jomlo tengah menjala-njala seperti api dalam perjuangan melawan penjajah.

Dia sangat mengidam-idamkan kondisi masyarakat yang ideal, yang mana setiap lelaki bisa mendapatkan istri. Begitu pun sebaliknya. Namun, di mata Bung Karno, kapitalisme kerap kali menghalangi cita-cita mulia itu.

Dalam magnum opus-nya, dia tidak lupa menyinggung jodoh yang tidak kunjung tampak lantaran hukum adat yang kerap memasang berbagai penghalang, seperti uang hantaran yang terlalu mahal.

UMP Bikin Jomlo Takut Nikah
Sejarah akan terus berulang. Apa yang sempat membuat Bung Karno mengutuk kapitalisme, ternyata saat ini kembali tersaji di tengah-tengah masyarakat, khususnya kaum jomlo.

Jika bukan kapitalisme, kepada siapa lagi Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, berpihak melalui kebijakannya yang tak adil ini?

Dia menegaskan bahwa upah minimum provinsi (UMP) 2022 hanya naik sebesar 1,09 persen, di tengah jeritan rakyat yang sudah terlalu menderita akibat pandemi Covid-19 selama nyaris dua tahun.

Bagi jomlo, agaknya, bencana tak hanya berasal dari ruang-ruang privat keluarga ketika sedang berkumpul bersama. Yang awalnya mereka menjadi gundah karena pertanyaan "kapan nikah", kini mereka, ,mau tidak mau, juga harus berhadapan dengan fakta bahwa gajinya hanya akan naik tipis-tipis pada 2022 mendatang.

Bagaimana tidak gundah gulana tatkala ongkos nikah akan selalu naik 20 persen setiap tahunnya, tetapi tidak diimbangi dengan kenaikan gaji yang sepadan. Tak terbayangkan, betapa berat perjuangan kaum lajang yang sedang giat-giatnya memperjuangkan predikat "halal" bagi kekasih hatinya.

Tak perlu muluk-muluk guna mengulas resepsi pernikahan yang digelar di hotel bintang lima dengan jumlah tamu ribuan yang bisa menghabiskan dana di atas Rp3 miliar. Nikah di teras depan rumah pun sudah tak terjangkau nalar dan kantong spesies jomlo. Tak usah membayangkan resepsi dengan tema-tema yang mewah, bisa ijab kabul pun sudah alhamdulillah.

Masalahnya, tidak semua calon mertua bersedia anak-anaknya dipinang hanya dengan label "sing penting sah" di KUA. Banyak orang tua yang menuntut untuk diadakan resepsi pernikahan bagi putra-putrinya yang hendak menikah.

Perkiraan biaya nikah. | Sumber: 1cak.com
Perkiraan biaya nikah. | Sumber: 1cak.com

Dalam sekali resepsi yang sederhana di Kota Surabaya, misalnya, ongkos yang harus disiapkan kaum jomlowan serta jomlowati, adalah sebesar Rp30 juta. Itu pun sudah termasuk paket yang paling 'melarat' alias hemat.

Lazimnya, resepsi itu dilakukan di depan rumah sang mempelai yang saat diterpa hujan, tendanya bisa terbang oleh tiupan angin. Sungguh memprihatinkan. Belum termasuk biaya konsumsi saat selamatan sebelum resepsi diselenggarakan, mahar, hantaran, dll. Jadilah biaya membengkak hingga menyentuh angka Rp40-50 juta.

Bagi jomlo yang berkantong tipis, apalagi yang masih punya tanggung jawab untuk menopang kondisi finansial keluarganya, menabung uang Rp50 juta bukan perkara yang mudah dengan nominal upah setara UMK Kota Surabaya saat ini (Rp4,3 juta).

Lantas, bagaimana dengan UMK daerah lain yang nominalnya jauh lebih rendah dari itu? Bagaimana nasib mereka yang sudah kebelet nikah?

Dalam hal gaji, spesies jomlo kerap kali dianggap sebagai warga kelas dua yang susah laku. Sering ternistakan. Mereka akan cenderung dihadapkan pada status perkawinan yang dijadikan sebagai dalih dalam melakukan diskriminasi dengan memberikan gaji lebih rendah. Padahal, tidak semua jomlo bebas dari tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga.

Realitas itu lah yang menurut saya juga amat perlu untuk dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga terkait agar kenaikan upah juga dapat mengakomodasi warga kelas dua yang memiliki niat mengusir penjajahan–yang bernama kejomloan.

Untuk seorang jomlo, yang menetap di Surabaya, dia harus menyisihkan upah bulanannya Rp500 ribu agar bisa nikah delapan tahun kemudian. Ya, kalau sang kekasih mau menunggu selama delapan tahun, kalau enggak bagaimana?

Yang ada malah si doi bakal diembat oleh pria lain. Sementara mereka yang merasa tercampakkan harus mempertahankan status lajangnya lebih lama lagi. Setiap hari merenung, meratapi nasib tragisnya.

Wahai, Bu Menteri Ida yang baik hatinya, apa perlu kami menunggu berusia senja terlebih dahulu seperti Bung Hatta serta Tan Malaka supaya bisa nikah? Apa kami harus menunggu kapitalisme digantikan oleh sistem ekonomi lainnya, agar kami mampu menghalalkan si dia?

Bu Ida, selalu ingat amanat Bung Karno ini yang disebut dalam sebuah bukunya. "Alangkah baiknya sesuatu masyarakat yang mengasih kesempatan nikah kepada tiap-tiap orang yang mau nikah!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun