Lantas, apa korelasi kapitalisme dengan relasi asmara kaum jomlo? Bung Karno mengatakan perjuangan hidup anggota masyarakat dalam mencari nfkah, amat berat. Banyak pemuda yang tidak berani nikah lantaran kekurangan penghasilan. Baginya, perkawinan seolah-olah hanya menjadi privilese untuk kalangan yang memiliki kemampuan finansial mapan.
"Siapa yang belum cukup nafkah, ia musti tunggu sampai ada sedikit nafkah, sampai umur tiga puluh, kadang-kadang sampai umur empat puluh tahun," kata Sukarno. Padahal, menurut Bung Karno, pada periode itu, seksualitas para jomlo tengah menjala-njala seperti api dalam perjuangan melawan penjajah.
Dia sangat mengidam-idamkan kondisi masyarakat yang ideal, yang mana setiap lelaki bisa mendapatkan istri. Begitu pun sebaliknya. Namun, di mata Bung Karno, kapitalisme kerap kali menghalangi cita-cita mulia itu.
Dalam magnum opus-nya, dia tidak lupa menyinggung jodoh yang tidak kunjung tampak lantaran hukum adat yang kerap memasang berbagai penghalang, seperti uang hantaran yang terlalu mahal.
UMP Bikin Jomlo Takut Nikah
Sejarah akan terus berulang. Apa yang sempat membuat Bung Karno mengutuk kapitalisme, ternyata saat ini kembali tersaji di tengah-tengah masyarakat, khususnya kaum jomlo.
Jika bukan kapitalisme, kepada siapa lagi Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, berpihak melalui kebijakannya yang tak adil ini?
Dia menegaskan bahwa upah minimum provinsi (UMP) 2022 hanya naik sebesar 1,09 persen, di tengah jeritan rakyat yang sudah terlalu menderita akibat pandemi Covid-19 selama nyaris dua tahun.
Bagi jomlo, agaknya, bencana tak hanya berasal dari ruang-ruang privat keluarga ketika sedang berkumpul bersama. Yang awalnya mereka menjadi gundah karena pertanyaan "kapan nikah", kini mereka, ,mau tidak mau, juga harus berhadapan dengan fakta bahwa gajinya hanya akan naik tipis-tipis pada 2022 mendatang.
Bagaimana tidak gundah gulana tatkala ongkos nikah akan selalu naik 20 persen setiap tahunnya, tetapi tidak diimbangi dengan kenaikan gaji yang sepadan. Tak terbayangkan, betapa berat perjuangan kaum lajang yang sedang giat-giatnya memperjuangkan predikat "halal" bagi kekasih hatinya.
Tak perlu muluk-muluk guna mengulas resepsi pernikahan yang digelar di hotel bintang lima dengan jumlah tamu ribuan yang bisa menghabiskan dana di atas Rp3 miliar. Nikah di teras depan rumah pun sudah tak terjangkau nalar dan kantong spesies jomlo. Tak usah membayangkan resepsi dengan tema-tema yang mewah, bisa ijab kabul pun sudah alhamdulillah.
Masalahnya, tidak semua calon mertua bersedia anak-anaknya dipinang hanya dengan label "sing penting sah" di KUA. Banyak orang tua yang menuntut untuk diadakan resepsi pernikahan bagi putra-putrinya yang hendak menikah.