Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

UMP Naik Tak Seberapa, Jomlo Makin Takut Nikah

29 November 2021   12:35 Diperbarui: 29 November 2021   12:56 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perkiraan biaya nikah. | Sumber: 1cak.com

Perkiraan biaya nikah. | Sumber: 1cak.com
Perkiraan biaya nikah. | Sumber: 1cak.com

Dalam sekali resepsi yang sederhana di Kota Surabaya, misalnya, ongkos yang harus disiapkan kaum jomlowan serta jomlowati, adalah sebesar Rp30 juta. Itu pun sudah termasuk paket yang paling 'melarat' alias hemat.

Lazimnya, resepsi itu dilakukan di depan rumah sang mempelai yang saat diterpa hujan, tendanya bisa terbang oleh tiupan angin. Sungguh memprihatinkan. Belum termasuk biaya konsumsi saat selamatan sebelum resepsi diselenggarakan, mahar, hantaran, dll. Jadilah biaya membengkak hingga menyentuh angka Rp40-50 juta.

Bagi jomlo yang berkantong tipis, apalagi yang masih punya tanggung jawab untuk menopang kondisi finansial keluarganya, menabung uang Rp50 juta bukan perkara yang mudah dengan nominal upah setara UMK Kota Surabaya saat ini (Rp4,3 juta).

Lantas, bagaimana dengan UMK daerah lain yang nominalnya jauh lebih rendah dari itu? Bagaimana nasib mereka yang sudah kebelet nikah?

Dalam hal gaji, spesies jomlo kerap kali dianggap sebagai warga kelas dua yang susah laku. Sering ternistakan. Mereka akan cenderung dihadapkan pada status perkawinan yang dijadikan sebagai dalih dalam melakukan diskriminasi dengan memberikan gaji lebih rendah. Padahal, tidak semua jomlo bebas dari tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga.

Realitas itu lah yang menurut saya juga amat perlu untuk dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga terkait agar kenaikan upah juga dapat mengakomodasi warga kelas dua yang memiliki niat mengusir penjajahan–yang bernama kejomloan.

Untuk seorang jomlo, yang menetap di Surabaya, dia harus menyisihkan upah bulanannya Rp500 ribu agar bisa nikah delapan tahun kemudian. Ya, kalau sang kekasih mau menunggu selama delapan tahun, kalau enggak bagaimana?

Yang ada malah si doi bakal diembat oleh pria lain. Sementara mereka yang merasa tercampakkan harus mempertahankan status lajangnya lebih lama lagi. Setiap hari merenung, meratapi nasib tragisnya.

Wahai, Bu Menteri Ida yang baik hatinya, apa perlu kami menunggu berusia senja terlebih dahulu seperti Bung Hatta serta Tan Malaka supaya bisa nikah? Apa kami harus menunggu kapitalisme digantikan oleh sistem ekonomi lainnya, agar kami mampu menghalalkan si dia?

Bu Ida, selalu ingat amanat Bung Karno ini yang disebut dalam sebuah bukunya. "Alangkah baiknya sesuatu masyarakat yang mengasih kesempatan nikah kepada tiap-tiap orang yang mau nikah!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun