Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mentor Poligami, Profesi yang Sudah Problematik Sejak dalam Pikiran

19 November 2021   12:28 Diperbarui: 19 November 2021   12:33 3549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak konsekuensi logis yang akan dipertaruhkan dalam praktik permaduan tersebut. Tidak hanya menyangkut nasib sang istri saja sebagai perempuan, anak-anaknya pun dapat terjebak dalam posisi yang rentan dan mengkhawatirkan.

Ironisnya, dampak poligami juga dapat merembet ke permasalahan yang lebih basar apabila terlalu banyak orang yang menjalankannya. Pemerintah bisa panik tatkala angka kealahiran yang tiba-tiba meledak, tetapi tidak didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Para petugas di pengadilan agama juga akan jauh lebih sibuk dari sebelumnya akibat angka kasus perceraian meningkat.

Bibit Kekerasan
Selama ini, ide poligami masih menjadi polemik yang telah memicu perdebatan panjang di Tanah air, khususnya datang dari kalangan perempuan. Sebab, dalam rumah tangga poligami, kaum Hawa lah yang paling dirugikan.

Dalam gagasan feminisme, permaduan merupakan salah satu varian kekerasan terhadap perempuan, lantaran poligami dapat membuat salah satu istri merasa tidak nyaman serta dalam posisi rentan. Bahkan, akan memicu kekerasan psikis dan fisik jika ada konflik di antara para istri dan suami. Relasi yang melibatkan banyak orang memang cenderung amat berisiko memicu konflik dan kekerasan.

Dampak negatif atas poligami didukung data riset dari Komnas Perempuan yang memaparkan bahwa kekerasan seksual, fisik, psikis, dan penelantaran ekonomi kerap terjadi dalam hubungan poligami yang ada di Indonesia.

Fakta itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan University of British Columbia pada 2012 lalu, yang menemukan bahwa poligami menutup ruang egaliter untuk perempuan dalam sebuah rumah tangga.

Umumnya, ide poligami akan dibungkus dengan janji-janji surga bagi perempuan yang mengizinkan pihak suami menikah lagi. Dalih kepatuhan kepada suami yang tidak pandang bulu pun sering dijadikan senjata guna "melumpuhkan" sang istri.

Dalam posisi sulit itu, kaum Hawa tidak berdaya menolak keinginan sang suami. Bagi para aktivis perempuan, istri yang terpaksa memberi ijin kepada suaminya untuk menikah lagi, itu sudah termasuk varian kekerasan terhadap perempuan.

Terlebih lagi, jika pernikahan istri kedua itu dilakukan di bawah tangan, nasibnya akan lebih mengenaskan. Asumsi bahwa poligami berisiko memantik kehancuran rumah tangga, agaknya sulit dibantah.

Prinsip awal poligami sebenarnya untuk membatasi. Bukan menambah. Pasalnya, pada awal-awal kelahiran Islam, orang-orang kala itu banyak yang memiliki istri hingga puluhan. Hanya sedikit saja yang mampu berpoligami dan melakukannya "murni" untuk maksud kebaikan. Bukan hanya sekadar memenuhi syahwat saja.

Kutipan mentor poligami Coach Hafidin. | Instagram Mentor Poligami @idingjoss
Kutipan mentor poligami Coach Hafidin. | Instagram Mentor Poligami @idingjoss

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun