Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Sebagian Orang Bisa Merasakan Firasat Kematian?

7 November 2021   12:56 Diperbarui: 12 April 2022   11:20 10565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setiap yang bernyawa pasti akan mati."

Demikian kutipan dari QS. Al-Imran: 185. Kalam itu menegaskan bahwa kematian merupakan hal yang pasti dihadapi oleh semua makhluk hidup yang ada di dunia.

Jikalau telah digariskan takdirnya, siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, maut akan tetap mendatangi. Selama musibah itu belum terjadi, maka setiap ajal masih akan menjadi rahasia ilahi.

Namun, terkadang, muncul firasat dari keluarga, sahabat, serta orang terdekat terkait kematian seseorang. Fenomena tersebut acap kali dihubungkan sebagai pertanda akan terjadinya musibah pada masa yang akan datang.

Firasat kematian itu lah yang kabarnya dirasakan oleh pengacara Vanessa Angel, Milano. Ia mengaku, mempunyai firasat sebelum klien beserta sang suami, Febri Andriansyah, meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, Kamis (4/11/21).

Dugaannya semakin menguat, lantaran, ternyata, bukan hanya Milano saja yang sempat merasakan firasat yang tak baik. Bahkan, Vanessa dan Bibi pun dianggap telah merasakan tanda-tanda serupa.

Sebelum dikabarkan meninggal dunia, Vanessa memang sempat memposting sebuah video pendek, yang dipandang sebagai sebuah firasat. "Ada yang bisa tebak aku mau kemana?" tulis Vanessa.

Saya yakin, beberapa di antara pembaca pernah menerima firasat senada. Sebab, saya sendiri juga sempat mendapatkan firasat kematian tatkala ayahanda saya meninggal tiga tahun lalu.

Ketika saya sedang tiduran pada siang hari, ada semacam mimpi, bahwa saya akan menjadi seorang kepala keluarga, yang mana awalnya status itu dimiliki ayahhanda saya. Benar saja, tidak lama setelahnya, sekitar satu atau dua bulan kemudian, ayah saya meninggal dunia.

Hal senada juga dituturkan oleh teman-teman ayah saya dalam pengajian rutin sebelum beliau wafat. Mereka mengaku bahwa ayah saya pernah berkata kepada mereka bahwa momen itu akan menjadi pengajian 'terakhirnya'. Tidak dinyana, acara itu betul-betul menjadi pengajian terakhirnya di dunia.

Awalnya, saya hanya menilai mimpi itu sebagai sebuah kebetulan saja. Saya tak memiliki pemikiran yang buruk tentang hal yang akan menimpa ayah saya. Saya juga tak menganggapnya serius. Setelah beliau tiada, saya baru menyadari kalau firasat itu ternyata benar-benar terjadi.

Kedang-kadang, pengalaman itu sering dikaitkan dengan kebetulan saja, tetapi pada lain waktu, firasat yang dirasakan mempunyai detail yang amatlah akurat. Sehingga, bisa menyebabkan timbulnya keraguan bahwa firasat mengenai maut hanya muncul secara kebetulan belaka.

Sejumlah orang menyebut pengalaman itu dengan sinkronisitas. Beberapa pihak yang lain menyebutnya resonansi energi atau keterkaitan. Ada pula mengenalinya dengan pengalaman kematian empatik.

Banyaknya terminologi yang dikenal di masyarakat mengenai firasat kematian disebabkan karena tidak ada ilmu pasti yang paling sesuai untuk menyebutnya. Ilmuwan pun belum bisa membuktikan secara ilmiah atas maraknya fenomena yang dianggap melibatkan kemampuan menerawang akan terjadinya kematian pada masa depan semacam itu.

Satu-satunya hal pasti tentang mengapa banyak orang memiliki firasat, termasuk tentang kematian, ialah karena manusia dikaruniai dengan otak. Terkesan cukup sepele, bukan?

Firasat, atau yang juga kerap kali disebut intuisi, tercipta dari kemampuan analisis otak terhadap kondisi lingkungan sekitar. Ia merupakan generalisasi yang diproses berdasarkan pada pengalaman masa lalu, bukan ramalan tentang masa depan yang sempurna. Meskipun melibatkan proses pengamatan dan analisis, firasat bekerja di dalam alam bawah sadar.

Sumber firasat didapat dari pemahaman terkait realitas dalam bentuk potongan-potongan kecil informasi yang biasanya berupa simbol. Lewat alam bawah sadar, simbol-simbol itu yang akan disatukan, lantas diolah menjadi sebuah gambaran yang utuh.

Sama halnya kemampuan otak dalam hal menganalisis, firasat juga membutuhkan data agar dapat menjadi lebih akurat. Ada pun datanya sendiri dapat diperoleh baik secara tidak sadar maupun sadar. Supaya lebih gampang dimengerti, simak contoh kasus berikut.

Alkisah, ada orangtua melarang anaknya untuk mengikuti acara, lantaran mereka punya firasat bahwa akan terjadi sesuatu hal yang buruk. Si anak pun menurutinya, dan beberapa hari kemudian tersiar kabar bahwa rombongan teman si anak terlibat kecelakaan hebat. Seketika sang orangtua pun berkata, "Tuh, kan. Firasat orangtua selalu benar. Untung enggak jadi ikut."

Bagi si anak, orangtuanya akan terkesan seperti sosok peramal jempolan, bukan? Kita yang tidak tahu latar belakang sang orangtua mungkin akan kagum dengan firasat mereka yang terbukti nyata.

Namun, di balik kecelakaan itu, ternyata saat itu sedang dalam musim penghujan. Orangtuanya yang gemar nonton berita, kerap melihat kabar tentang kecelakaan yang diakibatkan oleh jalanan yang licin lantaran tergenang air hujan. Nahasnya, kecelakaan itu banyak menelan korban.

Bahkan, sang orangtua dulu juga pernah tergelincir tatkala berkendara di tengah hujan hingga nyaris celaka. Terlebih lagi, kondisi di luar saat itu memang sedang hujan lebat yang disertai angin kencang.

Musim hujan, jelanan licin, korban jiwa, dan angin kencang. Informasi itu secara tak sadar diserap oleh otak orangtuanya lewat pengalaman serta aktivitas sehari-hari. Otak secara tidak sadar memproses seluruh potongan informasi yang lantas dijadikan gambaran utuh. Lalu, lahirlah apa yang kerap kita sebut sebagai firasat, intuisi, indra keenam, wangsit, atau apa pun Anda menyebutnya.

Sayangnya, firasat memiliki kelemahan. Lantaran tercipta dari potongan berbagai informasi yang diolah secara tidak sadar, hal itu menyebabkan firasat makin tidak akurat, alias tidak bisa untuk diandalkan. Level probabilitasnya pun sangat rendah.

Menurut contoh kasus di atas, bisa saja yang terjadi justru sebaliknya. Bisa jadi ternyata seluruh teman si anak kembali dengan selamat, dan apa yang orangtua sebut firasat ternyata tidak terbukti.

Faktor yang membuat firasat mereka jadi lemah adalah, sebab si orangtua mungkin melewatkan informasi bahwa lokasi yang akan dikunjungi teman anaknya ternyata tak dalam keadaan hujan. Informasi baru yang tak diketahui oleh sang orangtua itu yang menyebabkan firasatnya tak akurat.

Ada pun dalam pengelaman yang dialami oleh pengacara Vanessa bahwa fenomena yang dianggap firasat kematian tak dapat mewakili kenyataan yang sesungguhnya. Sebab, sebelum menemui maut, Vanessa menyebut bahwa dirinya trauma pergi ke Surabaya akibat ia sempat terjerat kasus.

Dari sana firasat Milano bermula. Sudah cukup jelas bahwa firasat yang dirasakan oleh si pengacara tidak berkaitan dengan insiden kecelakaan kliennya. Akan tetapi, mengarah pada trauma mengenai kasus yang pernah melibatkan Vanessa.

Firasat kematian yang pernah saya alami sendiri pun sebetulnya tak bisa mewakili realitas. Mimpi saya, yang mengisahkan bahwa saya akan menjadi seorang kepala keluarga, mungkin muncul lantaran saya berencana akan menikah pada waktu itu. Saking penginnya nikah sampai-sampai ide itu menyeruak ke alam mimpi.

Bagi yang pernah merasakan pengalaman serupa, tak ada salahnya Anda melakukan anilisis sendiri. Apakah firasat itu benar-benar murni berkaitan dengan terjadinya kematian, atau cuman kebetulan belaka? Atau jangan-jangan, firasat itu hanyalah manifestasi pengalaman diri Anda sendiri dan tidak berkaitan dengan orang lain.

Selain dikenal melalui berbagai istilah di atas, firasat kematian juga bisa dipelajari dengan teori prekognisi. Menurut bahasa, prekognisi memiliki makna: persepsi tak logis yang beranggapan bahwa seseorang bisa mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu yang terjadi pada masa depan.

Sebagian besar prekognisi muncul akibat faktor keintiman atau ikatan emosional yang erat. Ada hasil riset yang menyebut, terdapat 80 hingga 85 persen prekognisi yang melibatkan pasangan, kerabat, atau teman. Sementara itu sisanya melibatkan kenalan biasa dan orang asing. Lazimnya terkait peristiwa buruk, seperti kematian, penyakit, kecelakaan, dan bencana alam.

Uniknya, prekognisi memiliki sebuah ciri khas bahwa seseorang jarang merasakan kematiannya sendiri. Hal itu karena efek trauma yang terlalu besar untuk diterima oleh ego dalam diri orang yang mengaku memiliki kemampuan prekognisi.

Sama seperti fenomena paranormal lain, tidak ada bukti ilmiah yang bisa diterima bahwa prekognisi adalah fenomena yang nyata. Ia dianggap sebagai pseudosains, yang bertentangan dengan literatur ilmu saraf dan psikologi. Bahkan psikiatri arus utama pun menilai kemampuan tersebut sebagai manifestasi delusi.

Prekognisi juga dinilai sangat melanggar prinsip kausalitas dalam keilmuan fisika bahwa suatu akibat tidak akan dapat terjadi sebelum penyebabnya.

Lantaran didapatkan dari kondisi terkini dan informasi yang beredar, prekognisi lebih dekat ke arah prediksi atau asumsi, bukan berupa ramalan.

Prediksi yang tanpa sadar bermain dalam pikiran seseorang seolah datang dari luar pikiran. Hal itu lah yang memungkinkan munculnya pengalaman prekognisi. Dari sekian banyak ide yang muncul di pikiran orang setiap detik, beberapa di antaranya betul-betul menjadi kenyataan.

Prekognisi sudah dipercaya secara masif sepanjang sejarah. Meskipun kurangnya bukti ilmiah, banyak orang mempercayai bahwa kemampuan itu betul-betul nyata. Sampai detik ini, ia masih menjadi topik diskusi dan penelitian dalam komunitas parapsikologi.

Sangat banyak orang di sekitar kita yang mengklaim punya kemampuan meramal atau prekognisi saat mereka telah sukses menebak satu-dua hal yang terjadi pada masa depan secara tepat dan akurat.

Akan tetapi, jika ramalan itu tak terbukti, akan ada saja alasan untuk mengelaknya. Banyak pula hasil ramalan dari peramal, ahli nujum, atau orang pintar yang amat dipaksakan dengan realitas yang terjadi.

Sudah amat banyak pula hasil prekognisi yang menyebut hal-hal umum, misalnya akan ada selebritis yang meninggal pada tahun sekian atau akan muncul bencana dahsyat tahun depan. Lantaran sifatnya yang umum dan cair, membuat ramalan semacam itu lebih mudah serta fleksibel untuk dimanipulasi tatkala tidak sesuai dengan realitas yang sesungguhnya.

Modal kemampuan prekognisi sejatinya dipunyai oleh semua orang dengan cara mengolah berbagai informasi yang ada. Lewat bantuan otak, kita bisa mengolah informasi, lantas menerawang apa yang terjadi pada masa depan, termasuk pula datangnya kematian.

Apa pun terminologi yang dipakai untuk mengetahui kematian seseorang, apabila Tuhan belum berkehendak, maka firasat tentang kematian hanya sebatas prediksi belaka. Kemampuan otak kita yang amat brilian lah yang memungkinkan manusia seakan-akan bisa melihat masa depan.

Manusia mungkin dapat memprediksi datangnya kematian. Namun, sejatinya hanya Tuhan-lah yang tahu kronologis kematian yang akan menjemput kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun