Ciri khas cuitan Area Julid tidak pernah jauh dari aktivisme dan perundungan. Ia berjasa, tetapi terkadang punya potensi racun.
Seandainya Area Julid sudah eksis pada zaman Majapahit, mungkin runtuhnya kerajaan yang sempat menguasai bumi Nusantara itu akan dapat dicegah, atau setidaknya ditunda sedikit lebih lama.
Para pengikut setianya tentu tidak akan tinggal diam kala melihat sikap serakah Wirabhumi–sosok putra Hayam Wuruk hasil dari selirnya–yang juga menuntut hak atas singgasana tertinggi kerajaan.
Netizen +62 akan bereaksi keras untuk menentang langkah Wirabhumi dalam menjarah hak atas takhta kerajaan dari tangan Wikramawardhana, yang sudah ditunjuk sebagai pewaris sah Majapahit. Mereka akan mengkampanyekan tagar #TolakWirabhumi sebagai perlawanan.
Sebab, hasrat tinggi Wirabhumi dalam merebut takhta itu yang pada akhirnya sudah menyebabkan terjadinya perang saudara yang bertajuk Perang Paregreg antara tahun 1405 hingga 1406 Masehi.
Walaupun akhirnya bisa dimenangkan Wikramawardhana, lantas Wirabhumi ditangkap dan dipenggal, konflik antar saudara itu disebut telah melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah kekuasaannya di negeri seberang.
Kala itu perang memang sudah selesai. Sayang, konflik internal kerajaan terus berlangsung, serta telah menimbulkan perpecahan yang berkepanjangan. Efek domino atas perang itu lah yang lantas dinilai menjadi salah satu pemicu atas kemunduran kemaharajaan Majapahit.
Akan tetapi, analisis itu tentunya tidak dilandaskan pada dasar keilmuan yang cukup kuat. Hanya penegas saja bahwa warganet +62 memiliki kecendrungan yang sangat reaktif dan impulsif dalam menyikapi isu-isu yang tengah hangat-hangatnya dibicarakan di media sosial.
Bagi yang belum paham akun yang saya maksud, Area Julid adalah akun Twitter yang kerap kali memfasilitasi penyajian informasi yang belum banyak diketahui oleh khalayak ramai, area untuk sambat, gibah, curhat, diskusi isu kekinian, dan perdebatan remeh yang tidak berujung.
Hampir seluruh tetek bengek mengenai kehidupan yang fana ini dibahas secara blak-blakan di situ. Ibarat kuliner, akun yang didirikan pada tahun 2017 lalu itu adalah restoran berkonsep "All You Can Eat". Semua boleh disantap bulat-bulat.
Bukan Area Julid namanya jikalau tidak jualan lidah alias julid, yang selama ini sudah menjadi karakteristik utamanya. Sifat anonimitasnya juga menjadi nilai tambah. Siapa saja yang hendak curhat, tidak usah takut diketahui identitasnya.
Sebab, tidak satu pun pengikutnya yang tahu siapa yang mengirim curhatan itu. Kamu lebih dulu harus mengirim pesan (DM) dengan kode tertentu agar semua curhatan Kamu bisa dipublikasikan.
Menurut analisis lewat jasa Twitonomy, ada rata-rata 14 kicauan setiap harinya yang diunggah oleh akun @AREAJULID. Dengan lebih dari 1,3 juta pengikut, tak berlebihan kalau menobatkan Area Julid sebagai akun yang amat berpengaruh di dunia Twitter. Setiap unggahannya bisa memicu ratusan, bahkan ribuan reaksi dari warganet. Popularitasnya pun kian meroket usai ia berhasil mendapat label verifikas biru pada bulan Juni 2021 lalu.
Twitter memang memiliki keunggulan dari segi kecepatan sirkulasi infromasi ketimbang media sosial lainnya. Tidak heran jika isu kekinian bisa lebih cepat beredar serta diburu oleh netizen yang budiman termasuk para pengikut setia akun Area Julid.
Berjasa Melalui Aktivisme
Selama ini esksitensi Area Julid menjadi medium alternatif dalam mengutarakan berbagai macam opini serta kegelisahan para pengikutnya. Beberapa netizen +62 yang menuntut keadilan juga sering kali bersuara dengan bantuannya.
Dis! Mau sampai berpa banyk korban lagi si kayak gini, benr bener harus di usut tuntas kayak gini pic.twitter.com/VK78jr8YnW--- AREA JULID (@AREAJULID) October 27, 2021
Sudah sangat banyak isu dan kasus yang telah dipopulerkan via Area Julid. Belum lama ini, ia pun turut mengkampayekan tuntutan keadilan dalam korupsi proyek jalan di Bengkalis, pelecehan seksual MS, dan kematian Gilang dalam Menwa UNS.
Pun sudah ada cukup banyak kasus yang secara tidak langsung dimenangkan oleh Area Julid. Konteks menang dalam hal ini adalah lahirnya upaya dari aparat terkait untuk mengusut atau memberi keadilan kepada pihak-pihak yang telah tertindas atau dirugikan. Padahal, kasus-kasus itu awalnya telah diabaikan atau mandek di tengah jalan tanpa kejalasan sama sekali.
Contoh, kasus pelecahan anak di bawah umur yang terjadi di Luwu Timur Sulsel yang dibuka kembali usai mendapatkan desakan kuat dari netizen +62. Ada pula kasus pelecahan seksual yang menimpa pekerja KPI berinisial MS yang akhirnya diusut lebih serius oleh aparat, lantaran memanen kritik dari pihak yang sama.
Aksi receh netizen lewat bantuan gawai dan jari-jemari itu dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital. Desakan dari netizen berhasil menciptakan apa yang disebut sebagai delik viral, terminologi guna menyebut kasus yang baru diusut aparat penegak hukum kala sudah viral.
Dalam "Digital Activism Decoded, The New Mechanics of Change", Mery Joice memaparkan, aktivisme digital adalah berbagai macam usaha kolektif dalam menciptakan perubahan sosial/politik dengan memanfaatkan media digital.
Aksi itu akan memupuk solidaritas dan kepedulian netizen terhadap suatu isu melalui simbol-simbol seperti tagar di Twitter. Popularitas media sosial dapat membuat pesan-pesan aktivisme lebih mudah dijangkau banyak orang dalam tempo yang lebih singkat.
Jika diamati secara seksama, aktivisme digital semacam ini memang bertujuan untuk menyuarakan adanya perubahan sosial atau politik melalui pesan, petisi, atau donasi, dengan cara menunjukkan simpati dan bertujuan buat menggiring opini publik, khusunya para warganet.
Twitter menjadi ekosistem digital yang egaliter, yang memungkinkan berbagai golongan warga untuk mengorganisasi suatu gerakan. Sehingga, sejumlah aksi yang dimulai dari media sosial bersifat lebih cair dan lebih efektif menjangkau lebih banyak khalayak.
Dengan cara itu, mereka juga bisa lebih bebas dalam mengekspresikan opininya dan mendorong masyarakat lain untuk berinteraksi serta mengambil tindakan. Aksi-aksi yang awalnya terkesan receh, juga dapat bertumbuh menjadi gerakan yang berdampak pada kehidupan nyata.
Saat ini, aktivisme digital lebih mudah mencuri perhatian dari otoritas terkait yang benar-benar memicu perubahan, seperti pada sejumlah kasus yang saya paparkan di atas.
Sebelum lahirnya era digital, kita harus lebih dulu mengajukan laporan tiap kali merasa tidak puas dengan suatu hal. Itu pun tak ada jaminan pasti laporan akan diproses. Sekarang, jika sebuah isu atau kasusnya menjadi viral, bisa dipastikan efektivitasnya jauh lebih besar daripada sekedar mengisi formulir pengaduan.
Beracun Lewat Perundungan
Lebih populer dengan sebutan "mention confess" (menfess) atau auto base, Area Julid berperan menjadi perantara untuk para pengikutnya yang hendak bersuara tentang apa saja secara anonim.
Namun, ada kalanya Area Julid berubah menjadi toksik, yang mana ruang privat seseorang justru dibagi-bagikan tanpa izin. Nah, di sana lah anonimitas sering disalahgunakan guna menyerang pihak lainnya dan mengekspos hal-hal di luar konteks. Doxing pun sulit terhindarkan.
Orang yang bersembunyi di balik akun anonim cenderung merasa tidak harus bertanggung jawab atas perilaku buruk mereka, sebab tak akan ada orang yang akan mengetahui identitas asli mereka. Dampak hilangnya tanggung jawab itu, mereka akan lebih leluasa berkomentar dan bertindak sesuka hatinya.
Begitu kicauan menfess yang berisi aib seseorang viral lantaran mengandung sensasi dan emosi, para pengikut Area Julid akan segera berkomentar dengan standar kebenarannya masing-masing untuk memvalidasi tindakannya.
Imbasnya, perundungan (bullying) pun akan terjadi cepat atau lambat, bahkan seolah-olah sudah menjadi tradisi. Jika tidak ada perundungan serta keributan, bukan Area Julid namanya.
Hal itu makin diperburuk dengan fakta bahwa konten negatif dapat lebih cepat menyebar daripada konten yang biasa-biasa saja. Faktor itu yang lantas dapat mengekskalasi praktik perundungan di media sosial. Orang yang awalnya lugu dan pendiam jadi ikut-ikutan ribut.
Menurut riset yang dilansir BBC, pesan yang penuh emosional cenderung akan lebih cepat menyebar pada media sosial. Kemungkinan kicauan yang bermuatan emosional atau moral untuk di-retweet 20 persen lebih besar dari twit normal.
Maka tidak heran jika cuitan kasar dan jahat kerap muncul di linimasa, meski kalian tak pernah mengikuti Area Julid. Pada akhirnya, sejumlah konten yang dipublikasikan di akun-akun menfess dapat menjadi lahan subur berseminya perundungan online (cyber bullying).
Sebenarnya tidak ada yang salah kalau Kamu ingin mengikuti akun Area Julid sebagai hiburan. Namun, hindari buat melakukan hal-hal negatif yang sama. Berdiri lah di atas kaki mereka, karena memang tak ada satu orang pun yang ingin diperlakukan sedemikian buruk.
Pada momen Sumpah Pemuda kali ini, salurkan kelincahan jari-jemari kalian untuk menuntut keadilan bagi sesama. Jangan melakukan hal yang sebaliknya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H