Selain itu, masalah struktural yang bisa menyebabkan kemiskinan bukan pilihan individu. Selama ini, banyak orang yang menilai bahwa kalau kita bekerja keras, maka kita akan sukses secara finansial.
Sebaliknya, kalau ada yang bekerja, tetapi belum kunjung mapan secara finansial, ia cenderung akan dianggap kurang bekerja keras. Sebuah stereotip yang tidak pantas untuk dilanggengkan.
Banyak sistem dan kebijakan yang tidak memihak lapisan kelas bawah membuat sebagian warga masyarakat mengalami kesulitan untuk menafkahi keluarganya. Hal itu mendorong adanya kesenjangan dalam segala lini kehidupan, mulai dari akses ke pendidikan, pekerjaan, sistem peradilan, kesehatan, dan transportasi.
Kesenjangan itu lah yang berkontribusi besar terhadap kemiskinan. Oleh karena itu, dapat dikonklusikan jika kemalasan dan kurangnya bekerja keras bukan akar penyebab utama kemiskinan.
Narasi yang sering menyebut rasa malas sebagai penyebab tingginya kemiskinan, dibuat kelompok dominan, yang jarang berinteraksi dan bersentuhan langsung dengan kalangan miskin. Kalau pun ada, mereka cenderung melakukannya untuk kepentingan pribadinya masing-masing. Bukan murni untuk membantu mereka. Upaya mereka pun tidak bisa menyentuh akar dari persoalan yang mengakibatkan tingginya angka kemiskinan.
Menuding orang-orang miskin sebagai pemalas bukanlah tindakan yang tepat. Hal itu sama saja merendahkan harkat serta martabat mereka yang selama ini telah bekerja keras siang malam dalam menghidupi keluarga mereka.
Ya, memang benar. Salah satu pemicu adanya kemiskinan adalah rasa malas. Akan tetapi, tidak setiap orang miskin adalah pemalas. Para petani yang saya sebutkan di atas adalah contohnya.
Sebagai orang yang lebih beruntung dari mereka, baiknya menghindari menyebut orang miskin sebagai pemalas. Pasalnya, stigma semacam itu dapat melukai hati mereka dua kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H