Kalau miskin hanya disebabkan karena malas bekerja, mengapa orang yang sudah bekerja keras siang malam pun tetap melarat?
"Masak ngemis, ngikutin. Malu-maluin aja.... Ngejar-ngejar minta duit.... Minta dikasihini mulu itu....," kata Baim Wong kepada Suhud, seorang pria sepuh yang dianggapnya sedang meminta-minta.
Alih-alih memberi Kakek Suhud, Baim justru bagi-bagi uang kepada para ojek daring yang sedang mangkal di sekitar rumahnya. Dia menyebut, tindakannya sebagai pembelajaran kepada si kakek agar bekerja dan tidak malas. Padahal, Kakek berusia 70 tersebut mengaku, ia hanya menawarkan barang jualannya, bukan ingin mengemis.
Kata-kata pedas dan tindakan Baim itu lah yang lantas memantik reaksi keras dari netizen. Mereka menganggap artis berusia 40 tahun itu kurang sopan dan berlebihan dalam menanggapi Suhud.
Kiranya komentar warganet sudah lebih dari cukup buat meramaikan polemik di media sosial. Saya tidak mau menambah perdebatan dengan celoteh pedas serupa agar tidak semakin runyam.
Akan tetapi, ada satu poin yang menurut saya menarik untuk didiskusikan secara mendalam tentang konteks kemiskinan yang dipahami Baim dalam konten yang sempat viral itu. Apalagi, sang YouTuber pun selama ini gemar membuat konten-konten bertemakan kemiskinan sebagai daya tarik utamanya.
Suami Paula Verhoeven tersebut secara tak langsung meyakini jika kemiskinan hanya disebabkan karena malas bekerja. Betulkah demikian?
Di daerah saya, mereka yang berprofesi sebagai petani kecil dan buruh tani ialah pekerja keras. Bagaimana tidak, mereka sudah berangkat ke sawah/ladang mulai dari jam 5 pagi sampai jam 1 siang, dan bahkan ada pula yang sampai sore hari.
Apalagi, mereka harus berjibaku dengan lahan pertanian yang dingin ketika yang lain masih berlindung dalam selimutnya yang hangat. Sementara pada siang hari, mereka pun harus melawan panas terik matahari yang sanggup membakar kulit.
Berdasarkan fakta itu, nalar orang yang menilai bahwa mereka bukanlah sosok pekerja keras, apalagi menyebut mereka sebagai pemalas, layak dipertanyakan.