Saat ini, aktivisme digital lebih mudah mencuri perhatian dari otoritas terkait yang benar-benar memicu perubahan, seperti pada isu dan kasus-kasus yang saya paparkan di atas.
Sebelum lahirnya era digital, kita harus lebih dulu mengajukan laporan tiap kali merasa tidak puas dengan suatu hal. Itu pun tak ada jaminan pasti laporan akan diproses. Sekarang, jika sebuah isu atau kasusnya menjadi viral, bisa dipastikan efektivitasnya jauh lebih besar daripada sekedar mengisi formulir pengaduan.
Efektivitas aktivisme media sosial juga bergantung terhadap apakah isu yang dihembuskan dapat menyentuh empati masyarakat atau tergolong isu kolektif. Kalau syarat itu telah terpenuhi, tujuan yang ingin dicapai juga akan terpenuhi.
Meski demikian, aktivisme digital acap dibenturkan dengan pasal karet UU ITE. Untuk itu, bagi warganet +62 yang ingin menyuarakan semua keresahan mereka hendaknya perlu lebih berhati-hati lagi.
Bisa disimpulkan, kekuatan aktivisme digital dalam membentuk opini publik akan memberikan pengaruh terhadap entitas terkait dalam menyikapi kasus yang terjadi di tengah masyarakat.
Protes, kritik, dan perlawanan melalui aktivisme bisa jadi tampak amat sepele. Akan tetapi, gerakan itu menjadi wujud kontribusi netizen +62. Ia juga terbukti mampu membuka jalan menuju solusi.
Aktivisme digital yang muncul, kendati tidak ada jaminan selalu berbuah hasil, menumbuhkan kekuatan serta harapan bagi netizen +62 untuk terus mengawal dan melawan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H