Agresivitas warganet dalam menyerang pihak yang dianggap "common enemy", juga dapat diterjemahkan melaui kajian psikologi. Dalam buku "The Psychology of Crowd", (1985) karya Gustave Le Bon, perilaku itu agresif dimungkinkan sebab warganet bergerak secara berkelompok serta mengusung sebuah identitas.
Tergabung dalam kelompok, nalar dan analisis berpikir netizen +62 akan lebih mudah tergerus. Bukan karena mereka tak memiliki kemampuan menghadapi persoalan, melainkan dampak lahirnya dorongan untuk ikut-ikutan alias latah.
Saat sedang seorang diri, warganet +62 mungkin termasuk individu beradab dan berbudaya. Namun, dalam kerumunan, mereka adalah makhluk barbar–entitas yang bertindak berdasarkan naluri.
Aktivisme Digital dan Jasa Netizen Mengawal Kasus
Kendati sering disebut barbar, ternyata mereka juga memiliki jasa basar dalam mengawal berbagai kasus dan isu yang tengah viral di media sosial. Itu artinya, agresivitas mereka tak melulu berujung pada hal-hal yang nackal alias negatif.
Selama ini media sosial memang telah menjadi ekosistem bagi publik dalam menumpahkan seluruh ketidakadilan, kegelisahan, solidaritas, keluhan, dan kritik sosial. Aktivisme digital, begitu fenomena tersebut acap dipopulerkan.
Aktivisme digital adalah upaya publik (netizen) lewat jejaring digital (media sosial) yang ditujukan kepada individu, organisasi, ataupun pemerintah untuk mencapai sebuah tujuan tertentu demi kepentingan serta kebaikan seseorang atau masyarakat luas.
Dalam buku bertajuk Digital Activism Decoded, The New Mechanics of Change, Mery Joice menyebut aktivisme digital sebagai berbagai usaha kolektif untuk menciptakan perubahan sosial/politik dengan memanfaatkan media digital.
Tentunya kita sudah tidak asing dengan aktivisme digital berupa tagar di Twitter. Tagar menjadi salah satu alat aktivisme yang ampuh. Ia mampu menumbuhkan solidaritas serta kepedulian publik pada isu-isu tertentu melalui simbol-simbol. Popularitas media sosial dapat membuat pesan-pesan aktivisme lewat tagar lebih mudah menjangkau banyak orang dalam tempo yang lebih singkat.Â
Masih segar dalam ingatan kita, netizen Tanah Air sempat mempopulerkan tagar #UninstallGrab karena dipicu pelecahan yang dialami oleh pelanggan perempuan pada tahun 2018 lalu.
Warganet mengajak pengguna Grab lain guna menghapus aplikasi Grab di ponsel mereka dan berhenti menggunakan jasa yang disediakan oleh start-up tersebut.
Netizen menilai bahwa Grab tidak serius guna memberikan sanksi terhadap mitra driver-nya, mengingat pelakunya masih berkeliaran serta bekerja dalam naungan mereka. Grab juga dituding tak memiliki empati terhadap korban.