Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pejabatnya Kian Kaya, Rakyatnya Makin Miskin

24 September 2021   10:58 Diperbarui: 24 September 2021   11:08 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada sedikit saja keinginan memperkaya diri dalam benak seorang pejabat negara, maka saat itu lah dia harus berhenti memangku jabatannya. Sebab, memimpin adalah menderita!

Sukses atau tidaknya suatu negara akan amat bergantung pada kualitas dan tata kelola pemerintahannya. Itu lah premis yang kerap kita pahami selama ini. Oleh karena itu, pejabat publik yang amanah adalah kunci keberhasilan negara dalam mencarikan solusi atas segala persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat.

Kalau ada seorang dokter tidak amanah, dampaknya ditanggung pasien. Apabila ada pejabat korporasi yang tak amanah, maka yang akan rugi adalah perusahaan. Namun, jika ada seorang pejabat negara tidak amanah, yang akan menanggung 'dosa' adalah seluruh rakyat yang mana jumlahnya banyak sekali.

Setiap pejabat yang terlibat pada suatu pemerintahan, hendaknya mempunyai keinginan yang kuat guna memberikan sesuatu kepada negara dan rakyat yang dipimpinnya. Bukan malah sebaliknya.

Yang lantas sering muncul di otak saya: jika memang benar rakyat yang selama ini mengupah pejabat, mengapa malah mereka yang rentan melarat? Bukankah logikanya kalau pejabatnya kaya, maka rakyatnya bisa jauh lebih kaya?

Pejabat Kian Kaya, Rakyat Makin Miskin

Sebuah kabar bahagia kali ini datang dari kalangan petinggi di Nusantara. Menurut catatan KPK, kekayaan mayoritas pejabat mengalami lonjakan yang sangat drastis selama pandemi Covid-19. Ya, pagebluk yang bikin masyarakat menderita itu.

Kenaikan harta para pejabat itu diketahui setelah KPK melakukan analisis terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dalam setahun terakhir.

Masyarakat pun dibuat makin terkesima lantaran jumlah pejabat yang mengalami lonjakan nilai kekayaan sudah mencapai angka 70 persen lebih.

Artinya, nyaris semua pejabat kita yang sering mendaku sebagai pelayan publik, semakin tajir melintir dari hari ke hari. Bahkan, pandemi yang selama ini kerap dipandang sudah meruntuhkan kondisi ekonomi masyarakat pun, terbukti tidak mampu menggoyang kekayaan mereka.

Di level pemerintah pusat, ada 58 persen menteri yang nominal kekayaannya naik lebih dari Rp1 miliar, 26 persen di antara mereka kekayaannya bertambah kurang dari Rp1 miliar, serta hanya 3 persennya saja yang mengalami penurunan.

Sementara itu, 45 persen nilai kekayaan anggota dewan bertambah lebih dari Rp1 miliar. Lantas, 38 persennya melaporkan kekayaannya bertambah kurang dari Rp1 miliar. Adapun yang mengaku hartanya berkurang hanya 11 persen saja.

Kondisi serupa tidak hanya menjangkiti pejabat di level pusat. Komisi antirasuah juga mencatat terjadinya kenaikan harta kekayaan pejabat daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Bedanya, hanya 30 persen gubernur dan wakil gubernur yang menyebutkan nilai kekayaannya melonjak di atas Rp1 miliar. Adapun 40 persen di antaranya melapor nilai kekayaan mereka melonjak kurang dari Rp1 miliar.

Selain itu, ada 18 persen bupati dan wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota yang mengabarkan kekayaannya meningkat di atas Rp1 miliar.

Fakta yang bersumber dari KPK itu tentu sangat kontras dengan kondisi ekonomi yang selama ini dialami oleh masyarakat Indonesia secara agregat.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2021 menyentuh 27,54 juta orang. Dengan kata lain, sepuluh persen rakyat Indonesia saat ini telah berada di bawah garis kemiskinan. Beberapa di antaranya juga berangsur-angsur bergerak menuju jurang kebangkrutan.

Mereka yang termasuk penduduk miskin adalah masyarakat yang pengeluaran per bulannya kurang dari sebesar Rp472.525. Ya, Anda sama sekali tak salah membaca. Tidak sampai lima-ratus-ribu tiap bulan. Apa Anda sanggup hidup sebulan dengan hanya berbekal uang "receh" tersebut?

Coba bayangkan, betapa banyak saudara-saudara kita yang saat ini bertahan hidup berbekal uang yang bahkan tidak pernah cukup membeli skin-care istri pejabat.

Memang benar bahwa naiknya kekayaan pejabat bisa bersumber dari keuntungan bisnis pribadinya. Sehingga, hal itu dapat dikategorikan sebagai kewajaran. Mereka mendapatkan harta kekayaannya di luar pekerjaannya sebagai pejabat. Selain itu, tidak ada beleid yang bisa melarang abdi masyarakat untuk menjadi kaya raya.

Akan tetapi, rakyat, dalam kapasitasnya sebagai entitas yang mengupah mereka, sah-sah saja untuk bertanya, dari mana kenaikan harta kekayaan mereka berasal dalam krisis multisektor akibat pandemi?

Apakah dari bisnis vaksin? Tes PCR? Tes Antigen? Alat-alat kesehatan kah? Atau mungkin dari batu bara dan kelapa sawit yang harganya sedang bagus-bagusnya?

Apalagi, mayoritas pejabat kita meraup keuntungan yang sangat sulit dijangkau nalar rakyatnya. Mereka bisa memanen uang miliaran rupiah dalam tempo satu tahun selama masa pandemi.

Adakah kemungkinan bahwa pejabat itu memanfaatkan pengaruh dan posisinya dalam pemerintahan guna memperkaya diri mereka masing-masing?

Kita tentu tidak menutup mata lantaran kenaikan harta kekayaan adalah sebuah keniscayaan bagi pejabat publik, asalkan ada kejelasan tentang sumber kenaikan kekayaan mereka.

Yang jelas, mereka makin kaya pada saat nasib rakyat makin menderita. Disadari atau tidak, beberapa pejabat kini sedang menari di atas penderitaan masyarakat.

Fenomena naiknya kekayaan pejabat itu akhirnya memberikan kesan di hadapan publik jika jabatan dalam pemerintahan adalah sebuah mekanisme guna meraup kekayaan secara instan. Fakta itu adalah penegas karena pada dasarnya memang banyak kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat.

Hal itu tentu sangat kontradiktif dengan anggapan umum yang menyebut bahwa pejabat negara adalah "pelayan rakyat". Bagaimana mungkin orang-orang yang menyebut dirinya pelayan, mempunyai kekayaan yang jauh melebihi kekayaan rakyatnya sebagai pengupah (tuan)?

Uang negara yang dipergunakan untuk menjamin kehidupan mereka semata-mata dianggarkan dengan harapan para pemimpin kita tidak perlu memikirkan urusan-urusan yang bersifat duniawi.

Terkait apakah uang sekolah anak belum terbayarkan atau besok mau makan apa, seharusnya tidak menjadi permasalahan yang perlu mereka pusingkan. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang berorientasi terhadap kesejahteraan masyarakat bisa segera direalisasikan tanpa retorika.

Memimpin adalah Menderita

"Leiden is lijden!". Memimpin adalah Menderita. Adagium kuno Belanda yang sangat legendaris tersebut dikutip oleh Mohammad Roem dalam karyanya yang berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita".

Jika dicermati secara seksama, pepatah tersebut sarat akan makna. Memimpin adalah sebuah amanah, bukan hadiah. Memimpin adalah bentuk pengorbanan yang berdarah-darah, bukan bertujuan untuk berharap hal-hal mewah.

Bukan tanpa alasan, Roem menuturkan pepatah kuno itu karena ada hubungan kausalitas antara kepemimpinan dengan penderitaan itu sendiri. Jika Anda sudah siap untuk menjadi seorang pemimpin, artinya Anda juga sudah siap menderita, atau setidaknya menghindari pola hidup bermewah-mewahan.

Dalam magnum opus-nya tersebut, ia mengisahkan keteladanan Agus Salim sebagai manusia yang amat sederhana, baik dari sisi materi maupun sikap. Ia mencoba merefleksikan betapa zuhud laku hidup The Grand Old Man.

Agus Salim adalah wujud nyata seorang pelayan rakyat dalam arti sesungguhnya. Sebagai figur publik, ia hidup berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Bahkan, tidak jarang ketika musim hujan tiba atap kontrakannya bocor.

Adakah pejabat negara yang rumahnya bocor saat hujan seperti kontrakan Haji Agus Salim dewasa ini?

Bersama anak-anaknya, ia menampung air hujan yang menetes dari atap rumah dengan baskom. Lalu, ia gunakan air itu bermain kapal-kapalan bersama mereka. Begitulah cara seorang Agus Salim dalam merayakan kemelaratan sekaligus untuk mengajarkan arti kesederhanaan kepada buah hatinya.

Jalan hidup sosok Pahlawan Nasional itu memang terkesan amat utopis. Ia bahkan lebih mirip seorang pertapa, yang sudah selesai dengan perkara-perkara duniawi, dibanding seorang pejabat negara.

Kisah keteladanan Agus Salim menjadi tamparan yang keras bagi para pejabat yang masih berharap untuk mendapat guyuran kemewahan, keistimewahan, serta harta kekayaan secara instan.

Para pemimpin tidak boleh lupa, tidak ada kesejahteraan tanpa pengorbanan. Tidak akan ada kemajuan bangsa tanpa jangkar moral yang andal. Mereka harus berani mengorbankan egosentrismenya untuk memuliakan seluruh rakyat yang saat ini tengah dipimpinnya.

Jika mereka mau kaya raya, hendaknya jangan jadi pejabat. Jadilah pengusaha. Bagi yang masih mempunyai keinginan untuk memperkaya diri sendiri, sudah saatnya mereka meletakkan jabatannya. Sebab, memimpin adalah menderita.

"Leiden is lijden!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun