Apakah dari bisnis vaksin? Tes PCR? Tes Antigen? Alat-alat kesehatan kah? Atau mungkin dari batu bara dan kelapa sawit yang harganya sedang bagus-bagusnya?
Apalagi, mayoritas pejabat kita meraup keuntungan yang sangat sulit dijangkau nalar rakyatnya. Mereka bisa memanen uang miliaran rupiah dalam tempo satu tahun selama masa pandemi.
Adakah kemungkinan bahwa pejabat itu memanfaatkan pengaruh dan posisinya dalam pemerintahan guna memperkaya diri mereka masing-masing?
Kita tentu tidak menutup mata lantaran kenaikan harta kekayaan adalah sebuah keniscayaan bagi pejabat publik, asalkan ada kejelasan tentang sumber kenaikan kekayaan mereka.
Yang jelas, mereka makin kaya pada saat nasib rakyat makin menderita. Disadari atau tidak, beberapa pejabat kini sedang menari di atas penderitaan masyarakat.
Fenomena naiknya kekayaan pejabat itu akhirnya memberikan kesan di hadapan publik jika jabatan dalam pemerintahan adalah sebuah mekanisme guna meraup kekayaan secara instan. Fakta itu adalah penegas karena pada dasarnya memang banyak kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat.
Hal itu tentu sangat kontradiktif dengan anggapan umum yang menyebut bahwa pejabat negara adalah "pelayan rakyat". Bagaimana mungkin orang-orang yang menyebut dirinya pelayan, mempunyai kekayaan yang jauh melebihi kekayaan rakyatnya sebagai pengupah (tuan)?
Uang negara yang dipergunakan untuk menjamin kehidupan mereka semata-mata dianggarkan dengan harapan para pemimpin kita tidak perlu memikirkan urusan-urusan yang bersifat duniawi.
Terkait apakah uang sekolah anak belum terbayarkan atau besok mau makan apa, seharusnya tidak menjadi permasalahan yang perlu mereka pusingkan. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang berorientasi terhadap kesejahteraan masyarakat bisa segera direalisasikan tanpa retorika.
Memimpin adalah Menderita
"Leiden is lijden!". Memimpin adalah Menderita. Adagium kuno Belanda yang sangat legendaris tersebut dikutip oleh Mohammad Roem dalam karyanya yang berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita".