Jika ada sedikit saja keinginan memperkaya diri dalam benak seorang pejabat negara, maka saat itu lah dia harus berhenti memangku jabatannya. Sebab, memimpin adalah menderita!
Sukses atau tidaknya suatu negara akan amat bergantung pada kualitas dan tata kelola pemerintahannya. Itu lah premis yang kerap kita pahami selama ini. Oleh karena itu, pejabat publik yang amanah adalah kunci keberhasilan negara dalam mencarikan solusi atas segala persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat.
Kalau ada seorang dokter tidak amanah, dampaknya ditanggung pasien. Apabila ada pejabat korporasi yang tak amanah, maka yang akan rugi adalah perusahaan. Namun, jika ada seorang pejabat negara tidak amanah, yang akan menanggung 'dosa' adalah seluruh rakyat yang mana jumlahnya banyak sekali.
Setiap pejabat yang terlibat pada suatu pemerintahan, hendaknya mempunyai keinginan yang kuat guna memberikan sesuatu kepada negara dan rakyat yang dipimpinnya. Bukan malah sebaliknya.
Yang lantas sering muncul di otak saya: jika memang benar rakyat yang selama ini mengupah pejabat, mengapa malah mereka yang rentan melarat? Bukankah logikanya kalau pejabatnya kaya, maka rakyatnya bisa jauh lebih kaya?
Pejabat Kian Kaya, Rakyat Makin Miskin
Sebuah kabar bahagia kali ini datang dari kalangan petinggi di Nusantara. Menurut catatan KPK, kekayaan mayoritas pejabat mengalami lonjakan yang sangat drastis selama pandemi Covid-19. Ya, pagebluk yang bikin masyarakat menderita itu.
Kenaikan harta para pejabat itu diketahui setelah KPK melakukan analisis terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dalam setahun terakhir.
Masyarakat pun dibuat makin terkesima lantaran jumlah pejabat yang mengalami lonjakan nilai kekayaan sudah mencapai angka 70 persen lebih.
Artinya, nyaris semua pejabat kita yang sering mendaku sebagai pelayan publik, semakin tajir melintir dari hari ke hari. Bahkan, pandemi yang selama ini kerap dipandang sudah meruntuhkan kondisi ekonomi masyarakat pun, terbukti tidak mampu menggoyang kekayaan mereka.