Setelah tewasnya Santoso dalam kontak tembak melawan para anggota Operasi Tinombala pada 2016, sejak saat itu Ali mulai resmi didaulat sebagai pemimpin tertinggi kelompok MIT yang tersisa. Ia ditemani sang istri, Tini Susantika alias Umi Fadel. Pada masa kepemimpinanya, MIT tercatat memiliki sekira 16 militan, kebanyakan adalah pengikut Santoso.
Pada awal-awal masa kepemimpinan Ali, MIT sempat tidak terdengar lagi aksinya. Apalagi, pada 11 November 2016, istrinya diciduk aparat keamanan dengan kondisi hamil tua. Sebelumnya ia diketahui kerap menemani aksi gerilya sang suami.
Keberadaan mereka baru terendus pada Minggu (30/12/2018), seorang pria yang bekerja di penambangan emas di Parigi Mountong ditemukan meninggal dunia dengan kepala terpenggal. Lalu, sehari berselang, terjadi aksi serangan kepada anggota Polres Parigi Mountong. Teror itu menyebabkan dua polisi tertembak.
Pihak aparat keamanan segera beraksi dengan kembali mengerahkan Satgas Tinombala untuk mengejar kelompok MIT Ali Kalora setelah insiden kontak senjata di Parigi Mountong tersebut.
Dibandingkan sosok pimpinan yang lain, ia terbilang sangat licin. Beberapa upaya penyergapan yang dilakukan oleh Satgas acap menemui kegagalan, kemungkinan disebabkan karena kepiawaian Ali dalam menjelajah medan alias gerilya.
Pria kelahiran 30 Mei 1981 itu dianggap memiliki kemampuan kamuflase serta propaganda yang sangat mumpuni. Ali mampu menghindar dari kejaran Satgas dengan menyamar menjadi warga lokal.
Setidaknya, Ali berhasil lolos dalam dua operasi besar, Operasi Camar Maleo yang dibentuk pada tahun 2015 serta Operasi Tinombala yang mulai beroperasi sejak 2016 lalu.
Meski demikian, sebagai pemimpin baru MIT, ia dianggap tak memiliki pengaruh yang kuat seperti Santoso. Kelebihan Ali, selain survival, adalah kedekatan dirinya dengan kelompok radikal asal Mindanau (Filipina) dan Bima (NTB). Afiliasi itu lah yang memungkinkan Ali dapat merekrut militan dari luar area Poso dan memasok kebutuhan logistik, taruhlah senjata api.
Kekejaman Ali Kalora
Selain lihai melarikan diri dari serbuan, Ali juga dikenal sangat sadis. Kelompok yang dipimpinnya tak akan segan-segan mengancam, menyandera, atau bahkan membunuh. Lebih gilanya, pembunuhan itu dilakukan dengan memenggal leher.
Lazimnya, Ali dan anggotanya memilih aksi kekerasan itu untuk mendapatkan kebutuhan logistik dan makanan. Selain gemar meneror, mereka juga merampas barang-barang milik korban seperti jam tangan dan ponsel.
Pada 19 November 2020, ia disebut-sebut ikut terlibat dalam aksi pembantaian satu keluarga serta pembakaran rumah di Sigi. Dampak aksi tersebut, empat orang tewas dalam kondisi yang sangat mengenaskan.