Selama ini anosmia acap dikenal sebagai indikasi khas yang lazim dijumpai pada pasien Covid-19. Gejala tersebut ditandai oleh hilangnya fungsi indera penciuman yang bisa bertahan hingga tiga minggu.
Namun, anosmia bukan hanya diderita oleh pasien Covid-19, melainkan juga terjadi dalam kondisi lain. Gejala yang sama, tetapi dalam varian yang sedikit berbeda, belakangan ini juga dapat kita temukan pada sejumlah oknum pejabat.
Mereka diduga kuat tengah menderita "anosmia empati" yang sangat kronis. Bahkan, probabilitas kesembuhannya pun sangat diragukan. Saking akutnya!
Secara fisik, mungkin tak ada yang salah dengan mereka. Para pejabat masih bisa makan kenyang. Mereka juga masih bisa wara-wiri dengan mobil mewahnya. Pun, masih sanggup membelanjakan gajinya. Hanya saja, mereka acap kali kehilangan empatinya pada setiap momen genting. Sensitivitas mereka gugur ketika tengah dibutuhkan oleh publik.
Betapa tidak, banyak wakil rakyat kita terkesan apriori terhadap serangkaian penderitaan yang dialami masyarakat, yang hajat hidupnya mereka wakili.
Sejenak kita mundur ke balakang, saat anggota dewan menggelar sidang pada akhir bulan Maret 2020. Selain banyak menyisakan kursi kosong (yang sudah lama menjadi kebiasaan mereka) alih-alih membahas kebijakan penanganan pandemi Covid-19, mereka justru lebih sibuk mengobral isu-isu yang sejatinya kurang substansial pada masa krisis.
Mereka tak menjadikan perang melawan Covid-19 sebagai prioritas dengan tetap bersikukuh guna membahas RUU, meski saat itu Indonesia sudah memasuki fase krisis kesehatan (dan juga ekonomi).
Setiap keputusan serta kebijakan yang dipilih pada fase krisis, mencerminkan skala prioritas. Artinya, hal itulah yang jadi prioritas wakil rakyat kita. Mereka seakan mengambil kesempatan dalam kesempitan, untuk membahas hal-hal yang tak semestinya didiskusikan pada situasi genting dan mendesak.
Padahal, saat itu pemerintah juga sudah mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 terkait stabilitas keuangan negara, yang bertujuan untuk mengalihkan anggaran APBN khusus penanggulangan pandemi. Sayangnya, para anggota dewan masih tetap melakukan sidang yang tentu saja berpotensi merugikan keuangan negara di tengah situasi krisis.
Anosmia empati yang akut juga diderita oleh salah satu Anggota DPR dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus. Ia menolak untuk menjalani karantina setelah pulang dari luar negeri. Guspardi tetap menghadiri sidang Pansus RUU Otsus Papua secara fisik di Senayan belum lama ini.
Akibat ulahnya itu, banyak kritik yang ia dapati, bahkan dari rekan sejawatnya di gedung parlemen, hingga berujung pada pelaporan ke MKD. Tekanan itu akhirnya memaksa dirinya guna menjalani isolasi.
Ternyata gejala serupa juga diderita oleh rekan sesama partai Guspardi. Wasekjen PAN, Rosaline Irine Rumaseuw, meminta pemerintah untuk membuat rumah sakit Covid-19 khusus pejabat.
Rosaline berkaca pada pengalamannya yang acap kesulitan dalam mencarikan tempat tidur di rumah sakit untuk para pejabat yang terpapar virus asal Wuhan.
"Saya sedih, (dalam) satu, dua bulan ini banyak membantu pejabat negara untuk refer ke rumah sakit yang ada di Jakarta, pemerintah lupa bahwa harus menyediakan fasilitas kesehatan buat pejabat negara," kata Rosaline, seperti yang dilansir dari Kompas, (7/7/2021).
Meski telah diklarifikasi, saran Rosaline terlanjur menuai kritik, lantaran dinilai tidak peka terhadap kondisi masyarakat di tengah pandemi yang juga amat sulit memperoleh ruang inap di rumah sakit.
Keganasan anosmia empati tak berhenti sampai di situ. Indikasi yang identik juga dialami pejabat lain. Nahasnya, gejala itu sekali lagi diderita oleh oknum anggota partai berlogo matahari tersebut.
Anggota Komisi IX DPR sekaligus Ketua Fraksi PAN, Saleh Daulay, meminta agar Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyediakan fasilitas kesehatan dalam menghadapi skenario terburuk Covid-19.
Ia mengatakan, tak mau lagi mendengar kabar adanya anggota DPR, yang sangat mulai, tidak mendapatkan jatah fasilitas ICU di rumah sakit.
"Saya tidak mau lagi misalnya mendengar ada anggota DPR yang tidak mendapat tempat di ICU seperti yang dialami oleh anggota Fraksi PAN saudaraku John Siffy Mirin, anggota DPR dari Papua," kata Saleh, seperti yang dilansir dari Kompas, (13/7/2021).
Selain di DPR pusat, raibnya sensitivitas juga ditemukan pada salah satu anggota DRPD yang masih tetap menggelar acara pribadi (dangdutan) tatkala angka kasus Covid-19 masih tinggi.
Sebetulnya masih banyak nama pejabat lain yang kehilangan sensitivitasnya di tengah kondisi krisis, yang kalau harus dituliskan semua, dapat membuat mata dan nalar kita semakin lelah.
Raibnya Sensitivitas Pejabat
Idealnya, bapak dan ibu wakil rakyat kita yang terhormat bisa memberikan contoh yang baik untuk masyarakat. Sayangnya, hal itu tidak tercermin dari sikap mereka. Sensitivitas sejumlah pejabat raib akibat terlalu tingginya syahwat kekuasaan.
Tentu sangat tidak etis guna membahas isu-isu yang kiranya kurang mendesak, saat masyarakat tengah menderita oleh pandemi. Terlebih, setiap agenda rapat yang digelar DPR, dapat menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit.
Bukanah akan lebih bijak jika anggaran sidang tersebut disalurkan untuk warga yang tengah mengalami kesulitan?
Sementara itu, terkait penolakan isolasi mandiri oleh anggota dewan, bisa selesai hanya dengan permintaan maaf, dan tak mendapat sanksi. Di sisi lain, sejak PPKM diterapkan, banyak warga yang dianggap tak mematuhi peraturan yang kemudian didenda, bahkan sampai harus dipidana.
Begitu halnya desakan agar pemerintah membangun rumah sakit khusus pejabat, nyatanya banyak warga di luar sana yang kesulitan mencari kamar lantaran rumah sakit membludak di berbagai daerah.
Mereka menjadi potret pejabat yang tak sensitif atas kesulitan serta penderitaan rakyat. Saat warga tengah jatuh-bangun, berjibaku melawan keganasan Covid-19, mereka justru menuntut privilese.
Padahal, sudah banyak fasilitas dan hak-hak istimewa yang diberikan kepada para pejabat. Yang terbaru, para anggota DPR dibuatkan pelat nomor khusus anggota dewan. Apalagi, mereka diketahui sudah mendapatkan berbagai tunjangan serta fasilitas kesehatan yang sangat mewah.
Oleh karena itu, usulan tersebut hanya akan memperlebar kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Disparitas akan memburuk. Perilaku mereka juga semakin menegaskan bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja.
Mereka seakan hanya ingin jadi wakil rakyat saat musim kampanye. Namun, jika sudah menjabat, mereka seketika berubah menjadi majikan yang selalu ingin diperlakukan istimewa.
Kiat Memulihkan Sensitivitas Khusus Pejabat yang Terhormat
Salah satu cara yang ampuh mengatasi anosmia adalah melalui teknik olfactory training atau latihan penciuman. Tenaga ahli kesehatan menegaskan, teknik itu tidak untuk mengobati anosmia, tetapi hanya mempercepat penyembuhannya.
Sementara itu, bagi pejabat yang saat ini menderita anosmia empati kronis, saya sarankan terjun secara langsung ke garis depan untuk melatih sensitivitas mereka. Misalnya, dengan cara membantu tenaga medis untuk menangani pasien Covid-19 atau bisa juga dengan memandikan dan menguburkan pasien yang telah gugur.
Mereka juga bisa melatih kepekaannya dengan memberikan bantuan langsung tunai kepada warganya yang terdampak pagebluk dari rekening pribadi. Ingat, rekening pribadi, bukan rekening APBN.
Agar efeknya lebih tokcer, cara itu harus dilakukan sendiri. Tak boleh diwakilkan. Para pejabat harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa warga sudah sangat menderita hanya untuk sekedar bertahan hidup sehari-hari.
Seketika saya teringat seorang pejabat publik yang hidupnya begitu sederhana. Ia tinggal di rumah kontrakan yang jauh dari kata mewah. Ia juga selalu menolak adanya keistimewaan. Nama pejabat itu adalah Haji Agus Salim.
Setiap pejabat di negeri ini dapat belajar dari sosok berjuluk The Grand Old Man tentang prinsip "Leiden is lijden", yang artinya memimpin adalah menderita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H