Gerakan mahasiswa Indonesia masa kini merupakan aksi lanjutan dari pendahulu mereka. Dalam sejarah jatuh-bangunnya perjuangan berdirinya bangsa, kalangan pemuda selalu menjadi tonggak revolusi.
Jaman boleh terus berubah. Namun, tidak dengan semangat serta idealisme dalam diri mahasiswa. Jumlah mereka mungkin tidak banyak, tetapi dinamika bangsa ini tidak pernah terlepas dari peran mereka.
Sejarah mencatatkan, gerakan kalangan muda yang berjuang melawan generasi tua yang mapan dan jauh lebih superior, selalu terlahir dalam sejumlah momen genting nan penting di Republik ini.
Karenanya, terlahirlah dikotomi label perjuangan seperti angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, serta 1998 yang tak kalah fenomenal dan monumental.
Tentu masih sangat segar dalam ingatan, bagaimana peran krusial para mahasiswa dalam "meluruskan" sejarah yang sudah terlanjur bengkok tatkala reformasi 1998 berkobar di jalanan.
Tiada perjuangan yang percuma. Mereka berhasil merebut keadilan dan kebebasan yang sudah terlalu lama direnggut tirani. Saat rakyat tidak dapat lagi menyuarakan aspirasinya, mahasiswalah yang menjadi penyambung lidah mereka.
Sebab, akhir-akhir ini wakil rakyat yang kita percaya, ternyata tidak sepenuhnya memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Runtuhnya rezim Orde Baru merupakan bukti sahih bahwa rezim pemerintahan yang zalim tak akan selamanya mampu membungkam suara kritis para pemuda yang dimotori oleh mahasiswa.
Awalnya, saya pikir, kita sudah tak lagi hidup di sebuah jaman yang setiap kali bersuara lantang, esok harinya dapat dipastikan menghilang, atau minimal mendekam di balik jeruji pesakitan.
Namun sayangnya, anggapan saya keliru karena pembungkaman dalam berbagai varian masih dapat diamati dengan mata telanjang sampai detik ini.
Para pejabat negara yang katanya rindu dikritisi, malah pada akhirnya merepresi. Mereka selalu berlindung di balik jargon penguatan, meskipun sejatinya apa yang mereka lakukan merupakan pelemahan. Pasal-pasal karet UU ITE pun diterbitkan guna melestarikan pembungkaman.
Uniknya, bukan hanya pemerintah yang memainkan drama kolosal yang berjudul pembungkaman itu. Pihak rektorat pun tidak mau ketinggalan. Mereka seolah-olah berperan sebagai babu istana, yang rela menggadaikan idealismenya.
Bisa jadi narasi saya terlalu berlebihan. Namun, kesimpulan itulah yang saya dapatkan saat mengamati sikap pihak rektorat Universitas Indonesia (UI).
Mereka diketahui memanggil pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) akibat mengunggah meme mengenai Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Minggu, 27 Juni 2021.
JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE pic.twitter.com/EVkE1Fp7vz--- BEM UI (@BEMUI_Official) June 26, 2021
Sontak, unggahan bernada satire mereka pun menjadi "trending topic" di Twitter. Lewat akun resminya @BEMUI_Official, mereka menyematakan label "The King of Lip Service" alias Raja Membual pada Presiden Jokowi.
Meme tersebut menyoroti paradoks atas pernyataan dan sikap Presiden RI ketujuh itu selama menjalankan pemerintahan.
Ia dianggap gemar "membual" lantaran ucapannya kerap kali tak selaras dengan realita. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, serta janji-janji manis lainnya.
Sejatinya tidak ada yang salah dengan unggahan tersebut karena mereka juga menyertakan data dan fakta yang akan cukup sulit dibantah oleh siapa pun.
Hanya saja, penyematan mahkota dan label "The King of Lips Service" dinilai kelewatan oleh sejumlah pihak. Sebab, Presiden Jokowi adalah simbol negara yang tak seharusnya dijadikan meme.
Alih-alih memperoleh dukungan moral, pengurus BEM UI justru dipanggil pihak rektorat. Mereka dimintai penjelasan, atau bahkan didesak untuk mencabut meme satire yang mereka populerkan.
Jika pemanggilan itu dimaksudkan guna mengubah "sedikit" desain meme-nya tanpa adanya perubahan konteks dan isu yang diangkat, maka saya setuju. Di luar persoalan tersebut, maka hal itu adalah representasi dari pembungkaman.
Kita semua paham batul bahwa kampus mengajarkan mahasiswanya agar selalu bersikap kritis dalam menjawab seluruh soal ujian serta menyikapi persoalan.
Sehingga, ketika mahasiswa mengkritisi sikap dan ucapan pemimpin negara yang dianggap kontra-produktif, mereka tidak seharusnya dibungkam oleh pihak yang telah mengajarkan metode berpikir kritis itu sendiri.
Kritik terhadap pemimpin negara dengan segala kebijakannya, adalah bentuk nyata pengabdian mahasiswa pada masyarakat. Aksi tersebut merupakan bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang menjadi nafas setiap kampus di antero negeri.
Artinya, aksi mereka dalam mengkritisi sikap presiden juga mewakili keresahan masyarakat. Kalau memang sikap kritis terlarang diterapkan di lapangan, maka sistem pendidikan Indonesia telah gagal dalam fungsinya mencerdaskan bangsa.
Lantas, untuk apa kita kuliah jika pihak kampus meminta mahasiswanya untuk bersikap apriori terhadap kondisi yang terjadi di sekitar mereka?
Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya. pic.twitter.com/WAgeXypxsB— BEM UI (@BEMUI_Official) June 26, 2021
Pihak rektorat universitas justru patut mempertanyakan nalar mahasiswanya jika mereka tak mampu bersikap kritis terhadap sikap serta kebijakan pejabat negara. Bukan malah anti pati terhadap kritik yang mereka suarakan.
Kecuali, kampus memang telah benar-benar menjadi representasi babu istana. Semoga saja anggapan itu tidak benar.
Para pimpinan universitas seharusnya bangga dan mendukung penuh gerakan kritis mahasiswa. Aksi itu adalah bukti bahwa nalar mahasiswa memang masih waras, tidak seperti pejabat negara kita.
Seluruh data yang mereka ungkapkan juga menjadi parameter bahwa Negeri +62 tidak sedang baik-baik saja. Mereka mengangkat isu-isu yang jika dibiarkan akan tenggelam dengan sendirinya tanpa adanya solusi yang memihak rakyat.
Idealisme dan nyali mereka pun sangat layak diacungi dua jempol. Saat negara sedang gencar-gencarnya melakukan pembungkaman dan represi, mereka dengan amat lantang dan gagah berani menyuarakan keresahan masyarakat.
Dalam hal ini, mahasiswa juga adalah fragmen dari masyarakat itu sendiri. Menjadi hal yang lumrah jika mereka menagih janji-janji pemimpin negara.
Apresiasi juga patut diberikan kepada pihak rektorat UI seandainya mereka mendukung perjuangan dan semangat kritis anak-anak didiknya. Kalau perlu fasilitasi dan dampingi mereka untuk mengkaji isu yang mereka suarakan secara lebih terperinci dan mendalam.
Saya pikir, ada batas yang teramat jelas jelas antara penghinaan dan kritik. Hanya saja, negara acap kali mengaburkan batas itu. Kritik terhadap presiden, sering kali dinilai sebagai penghinaan pada simbol negara. Persoalan semakin runyam sejak UU ITE disahkan oleh wakil rakyat kita.
Faktanya, presiden bukan simbol negara, kalau hal itu yang dinilai sebagai sebuah pelanggaran. Pasalnya, dalam UUD 1945 serta UU No. 24 Tahun 2009, ditegaskan bahwa simbol negara terdiri dari bendera Merah Putih, bahasa Indonesia, burung Garuda, dan lagu "Indonesia Raya".
Pandangan umum mengatakan bahwa kritik adalah tanda rasa sayang, lantas mengapa pejabat negara marah tatkala disayangi oleh rakyatnya?
Pemerintah juga perlu berterima kasih kepada para mahasiswa, dalam hal ini BEM UI. Sebab, mereka masih memiliki kepedulian serta sikap kritis terhadap perkembangan situasi politik Tanah Air. Mahasiswa sayang dengan presidennya. Mereka tak ingin pemimpin negaranya salah dalam menentujan arah kebijakan.
Hal itu juga menunjukkan bahwa peran mahasiswa sebagai kontrol sosial (social control) serta agen perubahan (agent of change) masih berjalan dengan baik.
Biar bagaimanapun juga, mahasiswa merupakan calon pemimpin. Mereka adalah generasi penerus bangsa, yang cepat atau lambat akan meneruskan tongkat estafet pembangunan negara.
Pembungkaman terhadap sikap kritis mereka adalah sebuah langkah mundur. Sikap itu sama halnya menyumbat keran demokrasi yang sudah berjalan sejak Indonesia merdeka. Kecuali, jika negara memang menginginkan nuansa Orde Baru kembali menghantui masyarakat.
Kontroversi meme belum juga reda, kini muncul kabar terbaru dari personil BEM UI. Beberapa dari mereka mengaku, akun media sosialnya diretas. Apakah aksi itu varian pembungkaman? Mungkin hanya Tuhan yang tahu.
Kali ini saya akan berbaik sangka kepada Presiden Jokowi. Saya yakin beliau akan merasa senang kalau dikritisi, alih-alih membungkam. Sebab, kritik adalah salah satu tanda rasa sayang. Toh, beliau pun pernah bilang: "sangat rindu didemo".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H