Di balik sebuah pertemuan, akan selalu ada perpisahan. Ada yang berpisah sebab pemikiran yang tak lagi sama. Ada pula yang berpisah karena jiwa yang terlepas dari raga. Begitulah kehidupan bekerja.
Mau tidak mau. Siap tidak siap. Satu persatu anggota keluarga yang amat kita cintai, akan meninggalkan kita untuk menemui Sang Khalik. Itulah yang beberapa waktu yang lalu kami alami.
Tiga tahun yang lalu, kami kehilangan seorang anggota keluarga, yang bahkan hingga detik ini kedukaannya masih kami ratapi. Sebuah guratan duka yang bahkan menempel begitu kuat di dada.
Kehilangan itu tak ubahnya sebuah "kiamat kecil", mengingat betapa berharganya kehadiran keluarga dalam kehidupan yang fana ini. Ya, memang tiada satupun kehilangan yang tidak menyesakkan hati.
Puluhan air mati bercucuran. Ratusan orang berdatangan untuk menghibur kami yang tengah kehilangan. Beribu doa dilantunkan demi memudahkan jalannya di sana.
Kemarin lusa, menjadi peringatan 1000 harinya ayahanda kami yang telah kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Waktu yang tidak singkat. Hanya saja, kesedihannya masih menempel erat-erat.
Dalam grup WhatsApp keluarga besar kami, ada salah satu kerabat yang membagikan potret mendiang ayahanda kami dalam keadaan terbaring, tak berselang lama setelah kabar duka dikumandangkan dari masjid.
Ada amarah yang tertahan dalam diri saya. Luapan emosi yang betul-betul saya tahan sekuat tenaga. Terlebih lagi, kami masih dalam kondisi berkalang duka kala itu.
Jangankan melihat foto beliau yang sedang terbaring pucat, hanya teringat beliau saja, sudah cukup untuk membuat hati kami perih. Tak sedikitpun terbersit di otak bebal saya untuk mengambil gawai, lantas memotret beliau.
Hemat saya, sesuai dengan keyakinan yang saya percayai, mendokumentasikan fisik jenazah untuk kemudian dipertontonkan di media sosial tidak pantas untuk dilakukan. Sangat tidak pantas!
Sejatinya tindakan itu melukai hati keluarga yang ditinggalkan. Jika janazah masih bisa menjawab, tak satupun yang rela diirinya dipertontonkan dalam kondisi sudah tak bernyawa.
Ironisnya, masih banyak orang yang merasa bahwa kematian keluarga merupakan sesuatu yang layak untuk didokumentasikan sekaligus dipertontonkan di ruang-ruang publik.
Ada batas yang sangat jelas antara suka dan duka. Mencampuradukkan keduanya menjadi sebuah pertanda bahwa nalar kita tengah bermasalah.
Logika saya seketika runtuh, melihat mereka yang tanpa rasa bersalah sedikitpun ketika menjadikan kematian keluarganya sebagai konten. Entah ke mana hilangnya moral mereka saat tengah berduka.
Apakah kedukaan memang membuat moral seseorang hengkang dari tubuh tuannya?
Mendulang traffic dan adsense dari kematian ayah kandung adalah sehina-hinanya konten.--- Mazzini (@mazzini_gsp) June 6, 2021
Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah kabar dari YouTuber berpangaruh di negeri +62, yang sempat membuat sel-sel di otak bagian lobus frontal saya berguguran.
Betapa tidak, dia menjadikan kabar duka tatkala istrinya mengalami keguguran sebagai konten. Siapa lagi kalau bukan Atta Halilintar dan istrinya, Aurel Hermansyah.
Sebagai seorang penonton, saya bingung dalam membedakan mana hiburan dan mana kabar duka. Entah saat itu saya sedang menonton sinetron atau video memorial. Keduanya sama saja.
Para penggemar mereka pun mungkin merasa kebingungan, apakah merasa sedih atau justru terhibur. Pasalnya, tidak ada batas yang jelas di antara keduanya.
Saya jadi ragu-ragu, otak saya yang salah dalam menyikapi sebuah kabar atau nalar para pembuat kontennya yang sedang tidak baik-baik saja.
Tak dinyana, beberapa saat berselang, kita disuguhi pemandangan yang nyaris serupa. Sosok YouTuber wanita, yang tidak kalah bombastisnya, membuat konten yang sama-sama bersumber dari sakralitas momen bersatunya raga dengan tanah.
Jika Anda menebak Ria Ricis, itu tidak salah. Pasalnya, dialah yang belakangan ini sukses membuat ketenangan netizen +62 terusik.
Ucapan belasungkawa tak dapat diraih, kritik dan cemooh tak dapat ditolak. Adagium itulah yang kiranya bisa menggambarkan apa yang dia alami.
Ada sekira lima video yang dia produksi, yang bertemakan kematian sang ayah. Yang lantas membuat penonton geleng-geleng kepala, dia menyisipkan beberapa iklan dalam kontennya.
Sebercanda itukah momen kematian sehingga pantas untuk dijadikan konten guna mendulang traffic dan adsense?
Akan jauh lebih baik untuk mengajak semua kru mereka guna turut berkabung dan fokus mendoakan mendiang keluarga mereka daripada harus sibuk merusak sakralitas kematian dengan urusan monetisasi konten.
Bagi saya, kematian bukanlah suatu hal yang patut untuk dipertontonkan di ruang publik. Setidaknya bukan untuk didokumentasikan secara fisik, apalagi dikomersialkan. Label "anak tidak tahu diri" kiranya layak untuk saya sandang jika saya melakukan hal demikian.
Mendulang uang dari sebuah kabar duka, sama halnya kita menari-nari di atas kematian orang lain. Terlebih lagi, mereka adalah keluarga kita sendiri. Kematian menjadi momen yang terlalu sakral untuk dikotori dengan urusan keduniawian.
Biarlah beliau istirahat dengan tenang. Jangan lagi libatkan mereka yang tiada dalam urusan duniawi, karena yang mereka butuhkan hanyalah doa.
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa apa yang mereka lakukan bukan urusan kita. Meski demikian, sebagai figur publik, mereka memiliki tanggung jawab moral. Pasalnya, apapun yang mereka lakukan (bisa jadi) akan dicontoh oleh masyarakat luas.
Satu-satunya pelajaran berharga yang patut kita ambil dari sebuah kematian adalah, sejatinya kita semua akan mati. Hanya mereka yang moralnya terganggu yang memiliki pemikiran berbeda.
Masih banyak ide-ide lain yang layak untuk dijadikan meteri konten. Kematian keluarga tentu bukanlah pilihan materi yang bisa diterima nalar. Setidaknya bagi orang yang moralnya masih berfungsi dengan baik.
Akhir kata, semoga mereka yang tiada diberikan sebaik-baiknya tempat di akhirat. Semoga juga mereka yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H