Ironisnya, kendati aroma busuk kasus suap sudah menguar ke mana-mana, status daratan pertrodolar itu sebagai penyelenggara Piala Dunia tidak gugur.
Pasalnya, laporan Komite Etik dari FIFA menyebut bahwa aturan yang dilanggar hanya pada level yang terbatas dan tidak terbukti terkait dengan proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia.
FIFA tak mencium adanya benang merah secara langsung antara proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia dengan tindakan suap yang berasal dari Bin Hammam.
Sebelumnya Qatar juga telah diterpa oleh bermacam isu bilateral dengan sejumlah negara tetangga. Arab Saudi, Yaman, serta Uni Emirat Arab, telah memutus relasi diplomatik dengan Qatar.
Mereka kompak melakukan blokade jalur perbatasan negaranya. Jalur transportasi darat, laut, serta udara, dari dan ke Qatar juga turut ditutup. Hal itu lantaram Qatar ditengarai sudah melindungi kelompok yang dinilai prone to terrorism.
Sistem Kafala dan Tumbal 6.500 Pekerja
Ternyata, polemik tidak hanya berhenti sampai di sana. Negeri saudagar minyak itu juga memiliki catatan buruk terhadap hak asasi manusia (HAM), terkait buruh migran yang terlibat pada pembangunan arena World Cup.
Pada Oktober 2017, Konfederasi Serikat Pekerja Internasional mengumumkan kesepakatan Qatar dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) untuk secara substansial mereformasi Kafala.
Sejak saat itu, otoritas Qatar melakukan beberapa reformasi. Namun, perubahan itu tidak cukup efektif. implementasinya pun tidak merata. Dan, faktanya, sistem Kafala masih marak dijumpai.
Kafala ialah sebuah sistem yang dipakai untuk mengawasi para pekerja migran yang lazimnya bekerja sebagai tukang bangunan atau pembantu rumah tangga di negara-negara Arab, termasuk Qatar.
Sistem itu mewajibkan seluruh tenaga kerja tidak terlatih mempunyai sponsor (majikan) yang bertanggung jawab atas dokumen dan status hukum mereka.