Hal itu yang kemudian dianggap sebagai justifikasi atas kebencian terhadap warga keturunan Asia (xenofobia) di sana. Sikap yang sama akhirnya diterapkan oleh para pendukung eks presiden AS tersebut.
Trump seolah menjadi bahan bakar bagi isu rasialisme yang lantas menyulut api kemarahan dan dendam makin meluas.
"Ada korelasi yang jelas antara komentar panas Trump, dan keyakinannya ketika menggunakan istilah 'virus Cina' dengan lahirnya kebencian yang menyebar pada media sosial dan kekerasan kepada kita," kata Russel Jeung, co-founder AAPI Hate.

Kini, nasi sudah menjadi bubur. Sekeras apapun kita meminta Trump untuk diam serta tidak berkomentar menyangkut isu rasialisme yang menimpa warga beretnis Asia, akan sia-sia. Pasalnya, ia bukanlah pemimpin yang bersedia mendengarkan aspirasi kaum minoritas.
Lantaran semakin runyam, Presiden AS Joe Biden bahkan harus menandatangani "perintah eksekutif" dalam mengakhiri diskriminasi anti-Asia, tak lama setelah menempati kantor presiden pada bulan Januari lalu.
Kini beban berat penghentian kekerasan berbau rasisme berada di pundak Biden. Kedekatannya dengan tokoh-tokoh serta komunitas multi-etnis di AS, termasuk etnis Asia, diharapkan mampu meredam tindakan kekerasan yang mereka alami.
Apalagi, dia juga pernah berjanji bahwa penanganan isu rasisme akan menjadi pilar utama dalam pemerintahannya.
Seluruh sikap dan kebijakan yang akan diambil Biden untuk menyelesaikan isu itu, dapat menjadi cerminan sekaligus teladan bagi seluruh warga negaranya.
#StopAsianHate
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI