"Jika kamu masuk batas, halal darahnya, tembak. Halal darahnya, tembak. Kamu masuk pagar ini, kamu halal darahnya,"
Kala saya sedang menikmati pagi yang indah nan damai, ditemani secangkir kopi hitam, sebuah judul berita sukses menyedot perhatian saya. Bukan kabar yang benar-benar "baru", tetapi sudah cukup bikin saya mengrenyitkan dahi.
Di sela-sela mencecap kopi yang sudah setengah dingin, saya berharap kabar itu bukanlah kejadian aktual sehingga tidak ada lagi insiden yang bernuansa SARA di Republik ini. Namun, asumsi saya salah.
Kabar itu berkaitan dengan saudara kita di ujung paling timur daratan Nusantara yang kini tengah menuntut ilmu di Kota Malang, Jawa Timur.
Seorang polisi diduga telah menyerukan instruksi kepada para personilnya guna menembak sejumlah mahasiswa Papua yang berada di Mapolresta Malang.
Kabar itu berawal dari viralnya sebuah video yang diunggah oleh aktivis HAM Veronica Koman pada akun Twitternya.
Last night: police chief in Malang (Java) to West Papuan students outside the police station demanding their detained #IWD2021 rally friend to be released:
"You are a legitimate target! Shoot! If you enter here, you are a legitimate target!"
("Kamu halal darahnya! Tembak!") pic.twitter.com/3zSXJxomC1--- Veronica Koman (@VeronicaKoman) March 9, 2021
Dalam video berdurasi 23 detik tersebut, ada sebuah instruksi tembak terdengar yang diberikan kepada para personilnya. Mereka pun terlihat sudah mengenakan seragam lengkap dan juga dipersenjatai.
"Jika kamu masuk batas, halal darahnya, tembak. Halal darahnya, tembak. Kamu masuk pagar ini, kamu halal darahnya," begitu suara yang terdengar dalam video yang viral, Selasa (9/3/21).
Sekjen Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Malang, Fhen Suhuniap, membenarkan adanya video itu. Ia mengatakan bahwa polisi yang mengeluarkan perintah itu diduga ialah Kapolresta Malang Kombes Pol Leonardus Simarmata, seperti yang dilansir CNN Indonesia.
Pada awalnya, sejumlah mahasiswa yang tergabung di Aliansi Gerakan Perempuan Bersama Rakyat (Gempur) berniat ingin menjenguk rekannya yang telah ditahan di Mapolresta Malang setelah aksi Hari Perempuan Sedunia, Senin (8/3) malam.
Sebanyak 61 orang serempak menuntut polisi untuk membebaskan demonstran, termasuk seorang bernama Harry Loho (23), yang ditangkap saat menggelar aksi Hari Perempuan Internasional saat itu.
Lantaran ingin menunjukkan solidaritas, mereka ingin memasuki markas. Namun, baru sampai di gerbang, langkah mereka diadang oleh kapolres serta pasukannya yang bersenjata lengkap.
"Kami itu untuk solidaritas, untuk kawan yang masih ditahan di dalam," ucap Fhen.
Di tengah upaya itulah, Fhen menyebut, sang Kapolresta "diduga" melontarkan instruksi yang diarahkan kepada mereka.
Gatot mengklaim, ada perkataan yang sengaja dipotong oleh si pembuat video itu sehingga konteks pada pernyataan menjadi hilang dan tak utuh (kabur).
"Narasinya sebetulnya tidak begitu, itu sebetulnya hanya penggalan kalimat yang dipotong oleh yang membuat video, sengaja," kata Gatot.
Instruksi itu, menurut Gatot, diucapkan karena para mahasiswa Papua memaksa masuk ke dalam area markas. Kapolres ingin mengingatkan kepada mereka agar upaya tersebut tidak dilakukan.
"Itu mereka (Mahasiswa Papua) mau bikin tenda mau masuk ke polres, memaksa. Dibilang jangan masuk ke polres, ini kan ada aturan hukumnya, mereka masih memaksa," pungkas dia.
Veronica turut mengecam peristiwa itu bahwa instruksi Leonardus menunjukkan diskriminasi aparat terhadap masyarakat Papua, khusunya mahasiswa tersebut.
"Coba bayangkan itu mahasiswa non Papua, apakah reaksi polisi akan seperti itu? Saya rasa tidak," ujar Veronica.
Veronica berpendapat bahwa pernyataan Leonardus bukanlah kekhilafan lantaran diucapkan berulang-ulang sebagaimana yang terdengar dalam video tersebut.
Pendekatan yang Salah
Instruksi tembak di tempat oleh aparat yang seharusnya mengayomi seluruh lapisan masyarakat, sangat disesalkan. Terlebih lagi, mahasiswa Papua yang hadir di sana tidak bersenjata.
Mereka disebut-sebut ingin menyerang kantor polisi meski barang yang mereka bawa saat itu hanya berupa nasi bungkus, bukan senjata. Kehadiran mereka seolah bisa mengancam keselamatan polisi dan masyarakat meski tidak begitu adanya.
Yang lantas menjadi pertanyaan adalah, apakah aparat kita ketakutan terhadap nasi bungkus yang mereka bawa?
Setelah instruksi itu dilontarkan, massa tentu saja tidak berani mendekat, apalagi merangsek ke dalam. Daripada meregang nyawa sia-sia, meraka pun lebih memilih untuk menunggu di trotoar.
Dalih aparat yang menyebut video telah dipotong sejatinya tidak menghilangkan sebuah fakta bahwasannya mereka telah menggunakan pendekatan represif. Apa saya salah ketika menilai kata "tembak" bukan pendekatan humanis?
Alibi kekhilafan atau kesleo lidah tentu tidak lagi relevan jika menilik instruksi yang dilontarkan sebanyak "dua kali" kepada para personilnya.
Seharusnya aparat sudah mulai belajar mengenai penanganan aksi massa yang melibatkan publik Papua, bagaimana tindakan represif justru akan menjadi bumerang bagi kerukunan, kesatuan, serta keutuhan NKRI.
Sudah banyak contoh pendekatan yang akhirnya berujung pada hilangnya jiwa serta pelanggaran berat terhadap HAM. Lalu, mengapa aparat di negeri ini tidak belajar dari pengalaman buruk itu?
Alih-alih menggunakan terminologi "tembak" yang sangat ofensif, saya menyarankan kalimat "mari duduk bersama" ataupun "mari saya traktir ngopi sembari berdiskusi".
Sampai di sini, saya memohon kepada sidang pembaca Kompasiana, ucapan mana yg lebih manusiawi, kata tembak atau kalimat yang saya sarankan?
Pendekatan yang saya tawarkan bukan tanpa sebab. Dalam suasana yang santai, ditemani secangkir kopi seperti halnya yang saya nikmati tadi pagi, akan dapat menciptakan sebuah ekosistem dialog yang hangat dan bersahabat.
Ketimbang menggebuk, bukankah lebih baik dan jauh lebih bijak apabila mereka memeluk? Daripada memukul, bukankah lebih humanis kalau mereka merangkul?
Pelukan menihilkan jarak. Rangkulan mengeratkan ruang diskusi. Memeluk serta merangkul mahasiswa Papua di Malang jauh lebih mudah ketimbang harus mengurai benang kusut konflik berkepanjangan di Bumi Cenderawasih.
Pendekatan itu pula yang dulu pernah saya lakukan kepada kawan-kawan saya yang berasal dari negeri timur saat saya masih kuliah di bumi Ongis Nade. Jangan pernah berpikir mereka berbeda dengan kita karena anggapan itu salah besar.
Meski kerap kali dinilai "sangar" oleh masyarakat, kesan itu sama sekali tak tampak saat saya berinteraksi dengan mereka. Justru mereka akhirnya dapat menjadi sosok yang paling setia kawan.
Sejatinya hal yang sama pun mudah saja dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh aparat. Terlebih lagi, Gus Dur sudah pernah memberikan teladan bagaimana sebaiknya menyikapi berbagai isu yang melibatkan masyarakat Papua.
Persoalan mendasar bagi warga Papua hingga saat ini ialah cara pandang yang cenderung diskriminatif. Mereka kerap diasosiasikan dengan ketertinggalan dan separatisme.
Hal itu menyebabkan pendekatan yang dipilih pemerintahan dan aparat tidak berpijak pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Oleh sebab itu, menjadi perlu untuk mengubah pandangan dan sterotip itu. Biar bagaimanapun, mereka adalah saudara sebangsa kita.
Selalu ada jalan dan solusi atas segala permasalahan di Republik ini. Semua bergantung kepada bagaimana negara dan aparat dalam menyikapinya, mau menerapkan pendekatan yang represif atau humanis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H