Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa, Kompasiana, dan Kegelisahan Khrisna Pabichara

9 Maret 2021   20:37 Diperbarui: 10 Maret 2021   00:33 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enam puluh tahun silam atau tepatnya pada 30 September 1960 di Gedung PBB, New York, terjadi sebuah peristiwa yang amat berpengaruh dalam sejarah, bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga dunia.

Bung Karno yang diberikan kesempatan untuk mengutarakan semua gagasannya di depan para pemimpin negara anggota PBB, berhasil mengguncang dunia.

Pasalnya, orasi yang dibacakan Presiden Sukarno dengan 'api jang menjala-njala' itu mampu 'menelanjangi' konsep yang sudah dibangun oleh imperalisme Barat selama berabad-abad.

Pidato Sukarno pada tahun 1960 dalam kongres PBB di New York, AS, yang berjudul To Build The World Anew. | Diolah dari viva.com
Pidato Sukarno pada tahun 1960 dalam kongres PBB di New York, AS, yang berjudul To Build The World Anew. | Diolah dari viva.com
Perlu diketahui, dalam teks pidato yang bertajuk "To Build The World Anew" itu, Sukarno memakai bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Sejatinya beliau boleh saja jikapun ingin menggunakan bahasa Indonesia, mengingat ada penerjemah (interpreter) dalam setiap agenda akbar.

Apalagi, beliau ialah pimpinan tertinggi Republik Indonesia ketika itu. Alangkah baiknya apabila beliau menjadi teladan. Pertemuan itu bisa menjadi momentum guna mempromosikan bahasa Indonesia kepada seluruh dunia. Namun, mengapa baliau tidak melakukannya?

Tidak hanya satu kali dua kali saja Sang Proklamator mengadopsi bahasa Inggris. Saat bertemu dengan pemimpin negara-negara asing pun, beliau kerap memakai bahasa asing, alih-alih memaksa lawan bicaranya guna belajar bahasa Indonesia atau menggunakan jasa penerjemah.

Bahkan, dalam beberapa pidatonya yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI), Bung Karno pun tak segan-segan berkomunikasi melalui bahasa asing.

Jika tolok ukur nasionalisme seseorang bisa dinilai dari penggunaan bahasanya, sama halnya kita menuduh beliau tidak nasionalis. Cuman manusia bebal yang mempertanyakan nasionalisme beliau.

Pemakaian bahasa Inggris oleh Sukarno bukan tanpa alasan. Sebagai konseptor dan orator ulung, beliau memanfaatkan kepiawaiannya dalam berbahasa Inggris sebagai medium diplomasi. Bukan untuk menunjukkan bahwa beliau keminggris.

Penuturan dari interpreter tentu sangat berbeda dengan penutur pertama. Akan ada 'pesan' yang hilang andai saja Bung Karno meminjam bantuan interpreter sebagai penyambung lidahnya.

Meski acapkali memakai bahasa asing, kecintaan Bung Karno terhadap bahasa Indonesia tak sedikitpun luntur. Justru kemampuan bahasa Inggris-nya itulah yang berjasa dalam sejumlah diplomasi untuk kebaikan rakyat Indonesia.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah, penggunaan bahasa asing boleh-boleh saja. Tidak satupun entitas di Indonesia yang berhak melarang seseorang untuk menggunakan bahasa asing, baik lisan maupun tulisan.

Menggunakan bahasa asing tak berarti enggan melestarikan bahasa Indonesia, apalagi tidak cinta terhadapnya. Bukan. Terlebih lagi, bahasa Indonesia masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari.

Banyak pendahulu kita yang menguasai serta menggunakan bahasa asing dalam berbagai kepentingan, tapi bahasa dasar mereka tetap bahasa Indonesia. Begitu pula Presiden Sukarno yang menguasai sepuluh bahasa asing.

Dangan kata lain, bahasa Indonesia tidak akan pernah ditinggalkan oleh 270 juta penuturnya. Di samping itu, penggunaan bahasa asing dalam konteks dan takaran tertentu juga tak akan mengurangi kadar nasionalisme seseorang.

#Bahasa dan Kompasiana (K-iana)
Netizen menyebut K-iana sebagai rumah besar. Artinya, selain mempunyai jumlah pengguna yang sangat masif, K-iana juga menjadi habitat dari keberagaman, mulai dari identitas sampai gagasan di dalam batok kepala mereka. Begitu pula dengan jutaan artikel yang telah ditayangkan.

Rumah besar itu adalah milik bersama. Selama kita tidak melanggar aturan, K-ianer bebas menulis apa saja, termasuk dalam bahasa asing, baik hanya sebagai sisipan maupun sebagai bahasa utama.

K-iana bukan KBBI. Kita tidak mungkin mendesak atau menuntut para "civitas kompasianica" supaya selalu memakai bahasa Indonesia secara keseluruhan atau tanpa kandungan bahasa asing.

Saya khawatir, kalau lema-lema asing dinistakan di rumah besar kita ini, bisa menyebabkan para penghuninya takut untuk belajar menulis lantaran mereka merasa dibatasi.

Terlebih lagi, banyak K-ianer yang saat ini masih berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa yang sedang belajar bahasa Indonesia dan asing.

Selain sebagai rumah besar penulis, K-iana juga mempunyai tanggung jawab komersial terhadap induknya. K-iana jelas bukan badan amal. Mereka tidak disuntik mati karena mampu mengais keuntungan finansial bagi Kompas.

Oleh sebab itu, mereka terus berupaya memperbaiki diri supaya K-iana tetap dapat menjadi rumah besar untuk kita semua–penulis dengan keberagaman identitas dan isi kepala.

Menurut saya, pemakaian lema-lema asing oleh admin K-iana adalah wujud upaya mereka guna mempertahankan eksitensinya agar tak punah.

Tren penelusuran Google 2020. | Google.com
Tren penelusuran Google 2020. | Google.com
Sulit dimungkiri bahwa lema asing lebih ramah dan populer pada pencarian lewat peramban. Itu fakta yang agaknya cukup sulit dibantahkan. Sebagai contoh, kata "ghosting" yang menempati peringkat pertama dalam daftar pencarian Google sepanjang 2020 lalu.

"Ghosting" tidak mungkin diwakili oleh lema-lema lain dalam hal mendongkrak keterbacaan dan menarik minat pembaca.

Jadi, untuk mengejar keuntungan serta menutup biaya operasional, mau tidak mau, pengurus K-iana akan mengikuti permintaan pasar. Mereka mengadopsi istilah populer (asing) guna mendulang pembaca dan menggenjot keterbacaan (view, unique view, dll).

Motif yang sama juga dipraktikkan oleh K-ianer untuk mendulang keterbacaan sebab mereka sadar betul bahwa dirinya bukan seorang Khrisna Pabichara–yang setiap menayangkan artikel dibaca oleh jutaan pasang mata. Apakah K-ianer lain tidak berhak meraih banyak pembaca?

Oleh sebab itu, penggunaan istilah asing tidak semerta-merta menandakan kadar nasionalisme admin dan K-ianer rendah. Saya meyakini, sejatinya mereka sangat mencintai bahasa nasional sehingga tak perlu pindah kewarganegaran.

Pada akhirnya, pemakaian istilah asing merupakan konsekuensi logis sebuah platform menulis pada era digital demi mempertahankan eksistensiya.

#Kegelisahan Khrisna Pabichara
Artikel ini saya anggit sebagai reaksi atas kegelisahan dari sosok guru besar bahasa Indonesia pada platform K-iana, Khrisna Pabichara. Beliau menyebut dirinya rewel kala menelisik kadar kebahasaan admin K-iana, tapi saya lebih senang menyebut "gelisah". Ya, beliau sedang geli-sah.

Saya sangat memahami "ke-gelay-an" beliau atas kecendrungan admin K-iana yang gemar memakai bahasa asing dan memberikan label artikel utama kepada artikel yang bertajuk istilah asing.

Mungkin, kegelisahan beliau disebabkan karena kecintaannya yang teramat besar terhadap bahasa Indonesia. Secara moral, ia memiliki tanggung jawab yang begitu masif atas "hidup dan matinya" bahasa Indonesia di Nusantara.

Sejauh pengamatan saya pada artikelnya, beliau ingin menjaga puritanisme dalam berbahasa Indonesia. Mudahnya, jika ada padanan kata dalam bahasa Indonesia, haram baginya untuk memakai lema-lema bahasa asing. Begitu kira-kira.

Saya termasuk K-ianer yang sering kali menggunakan istilah asing dalam artikel saya, baik itu pada judul maupun isinya. Terminologi asing itu saya terjemahkan sebagai kebaruan (novelty) karena belum pernah ditulis pada K-iana sebelumnya. Bahkan, belum banyak dibahas juga pada platform berbahasa Indonesia lain.

Tak sedikitpun niat yang terlintas untuk tidak mencintai atau mendiskreditkan bahasa Indonesia melalui istilah asing yang saya selip-selipkan dalam artikel.

Saya menganggapnya sebagai "bumbu penyedap". Lagipula, bahasa yang saya gunakan dalam artikel tetaplah bahasa Indonesia, bukan bahasa asing. Hanya kata-kata tertentu saja yang tidak saya alih-bahasakan, baik karena belum ada padanan katanya maupun untuk tujuan menarik minat pembaca.

Menurut saya, justru dengan eksistensi istilah asing yang sering wara-wiri pada linimasa K-iana, bisa memudahkan ahli bahasa dalam mendeteksi lema bahasa asing, yang sekiranya belum memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. 

Para pegiat bahasa dapat dengan mudah mengamati lema-lema asing populer apa saja yang tengah menjadi perbincangan netizen pada platform seperti K-iana.

"Sextortion", misalnya, yang tersusun atas kata "sex" (seks) dan "extortion" (pemerasan), artinya pemerasan seksual. Agar lebih singkat dan tak "keminggris", mungkin bisa dibikin sebuah istilah baru, taruhlah "sekstorsi". Itu saran saya.

Saya pikir, istilah ghosting yang sampai detik ini masih ramai dibicarakan oleh para warganet dan K-ianer, juga belum memiliki padanan kata. Hal itu terbukti dari artikel Daeng Khrisna yang masih memakai "ghosting" pada judulnya.

Di luar hal itu, saya mendukung penuh pengutamaan penggunan padanan kata dalam bahasa Indonesia.

#Penutup
Selain sebagai orator yang piawai, Bung Karno juga memiliki nasionalisme tinggi. Meski demikian, beliau masih membuka peluang "kompromi" karena beliau sadar bahwa Indonesia masih butuh bantuan dari negara lain dalam banyak hal untuk kepentingan rakyat.

Dalam konteks kebahasaan, saya menilai, lema-lema asing sebagai manifestasi dari "kompromi", tentu tanpa mengorbankan kecintaan kita terhadap bahasa nasional.

Artikel ini bukan bermaksud menggurui siapapun karena saya bukan siapa-siapa di sini. Menggurui seorang ahli bahasa selevel Khrisna Pabichara sama halnya menggarami samudra. Selain percuma, justru saya yang terlihat dungu.

Selama saya menumpang nulis di K-iana, beliau sudah saya anggap sebagai mentor dan paman saya. Artikel ini adalah wujud rasa sayang saya kepada beliau. Sebagai keponakan yang baik, saya hanya ingin Om Khrisna tidak lagi tenggelam dalam ke-geli-sahannya.

Pemakaian 'bumbu' bahasa asing dalam rumah besar kita ini sejatinya tidak akan bisa membahayakan kelestarian bahasa Indonesia. Mengapa?

Tak lain karena eksistensi beliau. Selama Khrisna Pabichara masih setia kepada K-iana dan selalu memberikan khotbahnya, kita semua tidak perlu cemas berlebihan. Bahasa Indonesia akan tetap dicintai dan dilestarikan. Bukan begitu, Om Khrisna?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun